Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengatakan pihaknya tengah mewaspadai adanya tren kenaikan kasus COVID-19 di Jawa-Bali dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir.
Nadia mencatat, per 10 April kemarin terdapat peningkatan kasus baru sebanyak 192 kasus di Jawa-Bali. Meski begitu, menurutnya angka ini masih jauh jika dibandingkan pada puncak kasus omicron.
“Ini yang menjadi kewaspadaan kita, kalau kita melihat bahwa kasus baru di Jawa-Bali minggu ini terlihat ada peningkatan. Walaupun tadi secara total kasus konfirmasi nasional terjadi penurunan, kalau minggu lalu sekitar 3.000-an, sekarang itu sekitar 2.500 tetapi kita sedikit harus waspada karena secara harian dalam beberapa hari ini terjadi peningkatan proporsi kasus baru di Jawa-Bali. Kita melihat bahwa walaupun peningkatan itu terjadi, tetapi kalau kita bandingkan dengan puncak masih sangat jauh,” ungkap Nadia dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (12/4).
Kasus Meningkat, Lima Propinsi Jadi Perhatian
Trend peningkatan angka positif dalam pemeriksaan tes PCR, yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bangka Belitung, Kalimantan Utara dan Bali yang kini menjadi perhatian pemerintah.
Nadia juga menambahkan jika dilihat dari kasus aktif COVID-19, angka kematian dan angka keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) bagi pasien COVID-19 di rumah sakit masih didominasi oleh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurutnya, hal ini juga harus diwaspadai mengingat sebelumnya DKI Jakarta selalu menjadi penyumbang tertinggi.
“Tapi secara kumulatif sejak 15 Desember sampai dengan kemarin tanggal 11 April kita melihat Jawa Barat dan Jawa Tengah cukup memberikan angka kasus konfirmasi positif yang cukup siginifikan. Keterisisan tempat perawatan rumah sakit kalau kita lihat, terutama di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan juga Jogjakarta,” jelasnya.
Varian Omicron BA2 Mulai Merebak
Pihaknya juga melihat bahwa sub varian omicron BA2 kini tengah mendominasi kasus COVID-19 dalam skala nasional. Hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan whole genome sequencing (WGS). Dengan risiko potensi kemunculan berbagai varian COVID-19, pihaknya berusaha untuk meningkatkan pemeriksaan WGS tersebut.
Dalam kesempatan ini, Nadia juga mengkonfirmasi bahwa “son of omicron” yakni varian XE, XD dan XF belum terdeteksi di Indonesia sampai dengan saat ini. Pihaknya pun tetap mewaspadai varian-varian ini karena dikatakan lebih cepat menular dibandingkan varian sebelumnya.
Adapun salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19 pada musim mudik lebaran tahun ini adalah dengan menggencarkan vaksinasi COVID-19, khususnya bagi masyarakat yang belum mendapatkan dosis dua dan dosis tiga.
Hingga 12 April tercatat setidaknya sudah ada 387 juta dosis yang sudah disuntikan kepada masyarakat yang terdiri dari 197 juta dosis pertama, dan 161,7 juta untuk pemberian dosis kedua. Meskipun tidak menyebut angka pasti, namun Nadia menyebut bahwa angka vaksinasi booster COVID-19 mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
“Kita berharap dengan upaya percepatan terutama mengantisipasi mudik dan pasca mudik, untuk memberikan perlindungan yang lebih baik lagi kepada seluruh masyarakat terutama yang akan melakukan mudik maka program vaksinasi ini kita lakukan percepatan. Kita tahu bahwa perlindungan vaksinasi ini akan memberikan dampak terhadap tingkat keparahan maupun kematian akibat COVID-19,” jelasnya.
Ancaman Varian Omicron
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan kepada pemerintah, meskipun gelombang omicron sudah bisa terlewati, bukan berarti gelombang omicron ini sudah selesai. Dengan kemunculan berbagai sub varian ini maka gelombang omicron ini dapat bertahan lama, bahkan berpotensi menimbulkan ledakan kasus.
“Kehadiran BA2 sebagai contoh, itu bisa memperburuk situasi diberbagai negara seperti saat ini di China, Hong Kong, Korea Selatan dan sekarang juga beberapa wilayah di Amerika Serikat dan Eropa. Itu artinya bahwa meskipun kita melihat ada tren pelandaian, sekali lagi saya ingatkan bahwa omicron ini membawa ancaman yang berbeda dibanding varian sebelumnya,” ungkapnya kepada VOA.
Maka dari itu, kembali ia mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat agar jangan terlalu bereuforia yang berlebihan, termasuk terlalu terburu-buru dalam menurunkan level kewaspadaan masyarakat seperti kesadaran akan menerapkan protokol kesehatan. Menjelang masa mudik lebaran ini, Dicky kembali mengingatkan akan pentingnya sistem deteksi dini 3T yang sayangnya Dicky nilai masih belum optimal.
“Bahkan sebelumnya arus mudik ini deteksi kita sudah menurun, testing, tracing sudah jauh menurun sangat siginifikan. Bahkan saya melihat bisa sampai mendekati 50 persen penurunannya di beberapa wilayah, itu artinya menurunkan level kewaspadaan kita, menurunkan level kemampuan kita mendeteksi situasi, dan itu berbahaya,” tambahnya.
Hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat cakupan vaksinasi dosis kedua dan ketiga belum sesuai dengan yang ditargetkan hingga saat ini. Maka dari itu, percepatan vaksinasi harus kembali digencarkan. Selain itu, mitigasi lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memperkuat surveillance, apalagi WHO sudah merilis varian omicron baru yakni BA4 dan BA5.
“Kenaikan ini juga adalah puncak gunung es, karena kita ini memiliki sistem yang sifatnya pasif dalam mendeteksi kasus, sehingga ketika ada temuan ini adalah alarm sebetulnya. Artinya bicara covid, bukan hanya bicara orang terinfeksi, tapi ada orang sakit, ada orang yang dirawat di rumah sakit, ada orang yang meninggal, ada yang mengalami long covid. Dan itu sangat serius, bebannya bukan hanya pada saat itu, tapi juga pada masa ke depan,” tuturnya. [gi/em]