Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan di Surabaya, Sabtu (17/10) menyatakan akan membentuk tim percepatan legalitas aset milik perguruan tinggi negeri, isu yang selama ini banyak menjadi sengketa dengan masyarakat maupun pihak swasta.
Tim yang terdiri dari gabungan antara pihak perguruan tinggi dengan Kementerian Agraria dan BPN akan mendata serta mengeluarkan sertifikat tanah dan bangunan milik universitas sehingga dapat dimanfaatkan tanpa terganggu persoalan hukum.
“Kita (lakukan) percepatan, supaya lebih cepat lebih pasti. Karena nantinya dalam audit soal keuangan negara bagi lembaga pemerintahan sampai perguruan tinggi dalam hal tanah dan bangunan, jangan sampai karena faktor kelengahan administratif itu dianggap melakukan tindakan pelanggaran. Itu menurut saya tidak benar," ujarnya.
BPN sebelumnya telah menjalin kerjasama dengan sejumlah univeritas negeri, seperti Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Universitas Sumatera Utara, untuk melakukan percepatan pembuatan sertifikat aset yang dimiliki.
Pembantu Rektor 2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Tri Wirahatmolo mengatakan, hingga kini baru 40 persen aset milik kampus yang telah bersertifikat.
Salah satu kendala legalisasi aset ini, ujarnya, karena beberapa tanah yang dimiliki dibeli dari masyarakat berstatus tidak jelas, menimbulkan kerentanan dugaan penyalahgunaan aset, yang dapat mengakibatkan persoalan hukum bagi para pemimpin perguruan tinggi.
“Karena kepemilikan sebelumnya banyak sekali dari masyarakat yang dijual, yang dibeli Unesa, sehingga itu harus dicari riwayatnya, datanya, dokumennya supaya proses (kepemilikan)-nya tidak menimbulkan masalah (hukum) yang lebih lanjut," kata Tri.
Selain membantu percepatan pengurusan sertifikat tanah milik perguruan tinggi negeri, Ferry Mursyidan Baldan juga memberi jaminan kepemilikan tanah negara oleh masyarakat, yang selama lebih dari 15 tahun tidak diurus atau dibiarkan oleh negara. Langkah ini diambil untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, yang selama ini masih banyak yang belum memiliki rumah, ujarnya.
“Kalau tanah negara ditempati oleh masyarakat, maka sebetulnya sepanjang itu memang sudah untuk permukiman, tidak untuk digunakan pembangunan lain oleh negara, maka menurut saya harus dikeluarkan haknya (kepada rakyat). Kan artinya ada proses pembiaran yang sudah berlangsung, yang menurut saya tidak boleh dibebankan kesalahannya bagi masyarakat," ujarnya.