Hanya berselang empat hari dari peringatan Hari Nakba, hari di mana ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dari wilayah yang kini menjadi Israel, ribuan warga Yahudi hari Kamis (18/5) berpawai melalui jalan raya utama Palestina di Kota Tua Yerusalem. Mereka merayakan “Hari Yerusalem,” yang menandai penaklukan Israel atas Kota Tua 56 tahun lalu.
Aparat keamanan Israel dan Palestina sama-sama berjaga untuk mencegah terjadinya gesekan dan aksi kekerasan, mengingat parade serupa dua tahun lalu ikut mengobarkan perang 11 hari antara Israel dan militan Hamas di Jalur Gaza.
Berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta hari Kamis, Ahmad Murajab dari Direktorat Timur Tengah Kementerian Luar Negeri, menyoroti diskriminasi dan penderitaan yang dialami warga Palestina hingga hari ini. Sekitar 176 orang tewas akibat aksi kekerasan Israel pada tahun 2022 lalu, yang merupakan jumlah korban terbanyak dalam lima tahun terakhir.
Sementara pada tahun ini, sudah lebih dari 150 warga Palestina tewas dalam berbagai aksi kekerasan yang dipicu Israel. Indonesia, ujarnya, akan tetap mendukung perjuangan warga Palestina sesuai amanat konstitusi, dan tidak pernah tergiur untuk membuka hubungan dengan Israel.
"Ini ditegaskan berkali-kali oleh Bapak Presiden (Joko Widodo), juga oleh Ibu Menlu (Retno Marsudi). Kita konsisten mendukung bangsa Palestina dan tidak berpikir untuk membuka hubungan diplomatik dengan israel hingga saat ini. Mudah-mudahan sampai ke depan, sampai Palestina merdeka, itu tidak akan berubah karena itu adalah pesan dari konstitusi kita," tutur Murajab.
Pemerintah Indonesia, tambahnya, sudah melakukan berbagai upaya dalam mendukung Palestina. Dari sisi politik, Indonesia ingin agar isu Palestina tidak hilang dari percakapan di dunia internasional. Di bidang ekonomi, pemerintah sudah membebaskan pajak atas kurma dan minyak zaitun dari Palestina sejak 2019. Guna meningkatkan kapasitas warga Palestina, lebih dari dua ribu warga telah mengikuti pelatihan di Indonesia.
Namun menurut Yon Machmudi, pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia, pemerintah selama ini cenderung hanya menanggapi isu yang sedang berkembang, dan tidak memprioritaskan peran strategis dan antisipasi persoalan yang akan berkembang.
"Upaya Indonesia kalau serius terlibat dalam upaya perdamaian di kawasan ini, antara Israel-Palestina, harus lebih dalam dan terencana juga, dengan secara intensif melakukan dialog-dialog dengan berbagai negara yang punya kepentingan terhadap masalah Israel-Palestina ini, " ujar Yon.
Utusan Khusus Isu Palestina
Indonesia, tambah Yon, sedianya membahas isu Palestina ini dengan para pemimpin negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) – yang kini disibukkan dengan kepentingan masing-masing – dan pada negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB. Untuk itu Indonesia sedianya memiliki utusan khusus yang fokus pada isu Palestina-Israel, ujar Yon.
Utusan khusus ini, lanjutnya, harus menyusun sebuah peta jalan mengenai perdamaian Palestina-Israel dengan beragam negara yang berkepentingan atas masalah tersebut. Dia menekankan keberadaan utusan khusus soal Palestina ini akan meningkatkan intensitas dan kapasitas Indonesia dalam berunding dengan berbagai negara untuk menyelesaikan isu Palestina.
Selama ini isu Palestina hanya dibebankan pada Kementerian Luar Negeri yang tugasnya sudah banyak dan tidak hanya fokus pada masalah Palestina, ujarnya seraya menambahkan sudah saatnya ada utusan khusus yang fokus pada masalah-masalah tertentu, seperti Palestin. Ia merujuk pada Amerika yang memiliki beberapa utusan khusus, misalnya khusus untuk isu Iran, Yaman, Suriah, Korea Utara; atau bahkan untuk isu lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan dan LGBTQ.
Tanggapan Kemlu
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih menilai ide menunjuk seorang utusan khusus Indonesia bagi isu Palestina merupakan gagasan menarik dan bisa saja dibahas secara internal di Kementerian Luar Negeri.
"Indonesia saat ini perhatiannya setahu saya adalah mendukung perjuangan rakyat Palestina, bukan menjadi (mediator) antara Palestina dan Israel. Kita mendukung semua upaya dari masyarakat internasional untuk membantu Palestina mendapatkan kemerdekaan," kata Bagus.
Dia mengakui untuk sampai pada keputusan Indonesia perlu atau tidak memiliki utusan khusus untuk masalah Palestina membutuhkan waktu. Kementerian Luar Negeri perlu mempelajari apa kelebihan dan kekurangan jika Indonesia memiliki utusan khusus soal Palestina, khususnya bagi kepentingan untuk mendukung perjuangan bangsa Palestina ke depan.
Selain itu, lanjut Bagus, sudah banyak utusan khusus tentang isu Palestina, sehingga perlu melihat urgensi dan kepentingannya. Tapi dia menekankan Kementerian Luar Negeri akan mendengarkan dan memperhatikan semua ide mengenai masalah Palestina.
Menurutnya, fokus pemerintah dalam mendukung kemerdekaan akan memberikan dampak yang lebih luas. Saya kira sampai saat ini belum ada pemikiran Indonesia menjadi mediator dalam isu Palestina-Israel. Karena untuk memediasi, berarti Indonesia harus mengakui pula Israel dan hal ini tidak mungkin.
Bagus memastikan pemerintah tidak pernah berkomunikasi dengan Israel dalam upaya membantu Palestina. Dia menekankan kondisi nyata sekarang menjadi dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina sangat penting. [fw/em]
Forum