Vonis bebas yang ditetapkan Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap DP (35) pelaku pemerkosaan terhadap anak di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, baru-baru ini dikecam luas. Mantan Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, adalah salah seorang yang mengkritisi putusan yang didasarkan atas aturan jarimah dalam qanun atau hukum itu.
“Selagi pemerkosaan dan pelecehan seksual masih ada di dalam qanun jinayah, putusan seperti ini berpotensi terulang kembali. (Putusan itu) memperlihatkan bagaimana hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh yang memeriksa berkas ini tidak terlalu memahami hukum acara pidana,” katanya kepada VOA, Selasa (25/5).
Perbuatan jarimah (pemerkosaan dan pelecehan seksual) diatur dalam Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Bahkan di dalam Pasal 72 Qanun Aceh perbuatan jarimah sebagaimana diatur dalam qanun dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun yang berlaku adalah aturan jarimah dalam qanun.
Menurut Azriana, penggunaan qanun jinayah dalam kasus pemerkosaan kerap tidak berpihak kepada korban, seperti yang dialami K. Pemerintah Aceh pun diminta untuk merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang jarimah.
“Sudah saatnya gubernur dan DPR Aceh merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual. Karena hanya dua ini kekerasan seksual yang di dalam qanun jinayah. Dalam daftar jarimah yang dilarang di dalam qanun jinayah itu hanya dua ini yang kekerasan (seksual). Lainnya itu bukan kekerasan seksual,” ujarnya.
Perbuatan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang ada di dalam qanun jinayah sudah seharusnya dikembalikan kepada proses hukum peradilan pidana, dan diselesaikan oleh pengadilan yang memiliki kompetensi untuk mengadili perkara pidana.
“Supaya kita bisa hentikan proses peradilan yang itu merugikan korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan seksual,” ucapnya.
KPPA: Qanun Jinayah Tidak Berpihak pada Anak Korban Kekerasan Seksual
Hal serupa juga dikatakan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin. Vonis bebas Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap DP semakin membuktikan bahwa qanun jinayah sangat tidak berpihak pada anak korban kekerasan seksual.
“Kalau qanun-nya saja nir-perspektif perlindungan anak, bagaimana kita bisa berharap pada sumber daya manusianya yang kemungkinan besar juga nir-perspektif perlindungan anak!. Belum lagi, pengalaman hakim Mahkamah Syar’iyah yang terbiasa menangani perkara perdata besar kemungkinan rendah pengalaman dalam menangani perkara pidana, termasuk kekerasan seksual terhadap anak,” katanya kepada VOA, Selasa (25/5).
KPPA Aceh selalu menolak qanun jinayah dan Mahkamah Syar’iyah untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pasalnya, sejak awal disusunnya qanun jinayah tidak pernah melibatkan para pihak yang memiliki perspektif perlindungan anak.
“Bagi kami qanun jinayah sudah ketinggalan zaman dan gagal memenuhi keadilan bagi anak korban kekerasan seksual,” ucap Firdaus.
Masih kata Firdaus, pihaknya mendesak pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam dan DPR Aceh, agar segera merevisi qanun jinayah terutama pasal terkait anak. Lalu, mencabut semua pasal terkait anak pada qanun jinayah dan mengembalikan penanganannya pada Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Singkatnya, qanun jinayah dan Mahkamah Syar’iyah sebaiknya tak usah mengurus masalah pidana terkait anak yang tak mereka pahami sama sekali,” ujarnya.
“Sekarang upaya perlindungan anak yang sedang diperjuangkan pemerintah Aceh mengalami kemunduran drastis akibat implementasi aturan lokal yang salah kaprah. Melupakan sama sekali aturan hukum nasional dan internasional yang lebih progresif,” Firdaus menambahkan.
Dinilai Kurang Bukti, Terdakwa Dibebaskan
Sebelumnya, pada 30 Maret 2021, DP yang merupakan paman dari K (10), telah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Syar’iyah Jantho dan dijatuhi hukuman penjara selama 200 bulan atau 16,6 tahun kurungan karena bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya.
Mahkamah Syar’iyah Aceh kemudian membatalkan putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho No 22/JN/2020/MS.Jth tentang kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, dengan korban berinisial K dan terdakwa DP. Kemudian, Kamis (20/5) Mahkamah Syar’iyah Aceh menerima permohonan banding dari DP dan membebaskan terdakwa dari segala tuduhan.
“Menyatakan terdakwa DP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya. Sebagaimana dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam Pasal 49 Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Membebaskan terdakwa DP dari segala tuntutan hukum,” ujar ketua majelis hakim, Misharuddin, seperti dikutip VOA dari salinan putusan banding tersebut.
Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim yang memberikan vonis bebas terhadap pelaku pemerkosaan itu yakni bahwa setelah menyaksikan video yang diajukan oleh pembanding/penasihat hukum terdakwa tersebut, terlihat anak korban menyampaikan keterangannya dengan ceria sambil tertawa dan tidak terlihat adanya beban psikologis yang dialaminya.
"Mahkamah Syar’iyah Aceh berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh anak korban melalui alat bukti a quo adalah keterangan yang dapat dipercaya. Oleh karena itu dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti untuk mendukung pertimbangan-pertimbangan sebelumnya bahwa jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaannya,” imbuhnya.
Saat ini jaksa penuntut umum telah mengajukan kasasi atas putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Sedangkan, kuasa hukum dari DP, Tarmizi Yakub, mengatakan juga akan mengajukan upaya hukum dalam bentuk kontra memori kasasi.
“Kita menghormati upaya hukum tersebut,” ucapnya kepada VOA melalui pesan online, Rabu (26/5). [aa/em]