Yogyakarta tidak memiliki lokalisasi resmi, tetapi bukan berarti bebas dari pekerja seks. Tidak ada jumlah yang pasti, namun diperkirakan ada 1.000 wanita yang menjalani profesi ini. Sekitar setengah dari jumlah tersebut,tergabung dalam berbagai komunitas yang tersebar, terutama di Kota Yogyakarta.
SR, seorang anggota senior komunitas menceritakan kepada VOA, dari jumlah yang terdata, sekitar separuhnya memilih untuk mangkal di lokasi tertentu. Separuh sisanya beroperasi independen di berbagai wilayah, dan menyamar sebagai pekerja salon atau, panti pijat, atau profesi lain yang sejenis.
“Mereka ini beroperasi pakai online, atau lewat WA (WhatsApp). Karena nomornya sudah dipegang pelanggannya. Mereka begini karena untuk menaikkan harga,” ujar SR sambil tertawa.
Pengalaman SR bekerja di bidang tersebut, membuat dia paham seluk- beluk pekerjaan. Kini dia menjadi relawan kampanye kesehatan di kalangan Wanita Pekerja Seks (WPS). Selain memantau WPS yang mangkal di lokasi tertentu, seperti Pasar Kembang dan Bong Suwung di Kota Yogya, dia juga aktif berkeliling ke kawan-kawan yang beroperasi secara mandiri tadi. Salah satu fokus dia adalah kesadaran tentang resiko HIV/ AIDS.
“Saya bisa membandingkan antara anggota komunitas yang sebelumnya WPS Langsung (WPSL) dan mereka yang aslinya WPS Tidak Langsung (WPS TL). Kalau awalnya langsung WPSTL, mereka memang kurang paham tentang HIV/AIDS, makanya kita sosialisasi. Tetapi kalau asli WPSL, kemudian keluar menyewa ruko atau buka salon plus, mereka sudah punya kesadaran, kapan mau ada VCT. Mereka langsung menangkap pentingnya ini,”kata SR menjelaskan.
WPSL adalah pekerja seks yang memulai karir di lokalisasi atau kawasan sejenis. Selama berada di kawasan terkontrol seperti itu, pekerja seks menerima informasi yang cukup tentang HIV/AIDS. Tidak mengherankan, Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah hal biasa bagi mereka.
Pekerja seks mandiri yang beroperasi online atau melalui media sosial, tidak memperoleh pemahaman yang sama.
Pemahaman pekerja seks terhadap HIV/ AIDS dengan baik tidak lepas dari peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah.
ND, anggota Komunitas Bong Suwung di Yogyakarta, kepada VOA mengaku aktif mengorganisasi diri karena kesadaran akan kesehatan. Bong Suwung adalah satu kawasan di pusat Kota Yogya, yang tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Tugu.
Dalam komunitas ini, pekerja seks diberi pemahaman mengenai HIV/AIDS oleh lembaga para pendamping. Mereka juga membuat kesepakatan mengenal jadwal VCT setiap tiga bulan, dan sukarela mengikutinya. Untuk mengakses layanan kesehatan dasar komunitas ini juga aktif melakukan advokasi sehingga seluruh anggota terlayani tanpa melihat status domisili yang tertera di Kartu Tanda Penduduk.
“Pelayanan kesehatan di Puskesmas itu sangat baik dari segi layanan untuk kebutuhan apapun, untuk pelayanan kesehatan apa saja. Asal mereka mengikuti semua kegiatan di komunitas, tentu layanan ini bisa diusahakan. Misalnya waktunya VCT, ya harus ikut VCT. Kalau pas jadwalnya pemeriksaan IMS, ya mau ikut,” ujar ND.
Dikatakan ND, komunitas ini bahkan bersikap cukup keras terhadap anggotanya dalam soal kesehatan. Sejauh ini tidak ada penolakan dalam program pemeriksaan seperti VCT, Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Inspeksi Visual Asam asetat (IVA) yang dilakukan untuk mendeteksi kanker leher rahim secara dini.
“Anggota komunitas yang tidak tinggadl di Bong Suwung juga kita wajibkan. Karena ada juga yang datang sore dari Magelang atau Klaten, lalu pulang pagi harinya. Kalau tidak mau, mereka tidak boleh disini,” kata ND menambahkan.
Pembubaran Lokalisasi
Jakarta, Surabaya, dan Jambi adalah sejumlah kota yang membubarkan lokalisasi resmi. Di kota-kota ini sebelumnya ada lokalisasi Kalijodo, Dolly dan Payo Sigadung. Di tengah kritik mengenai lemahnya pengawasan kondisi kesehatan pekerja seks jika lokalisasi dibubarkan, kebijakan itu tetap diterapkan.
Beruntung masih ada lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap hal ini. di Jambi misalnya, Yayasan Kanti Sehati Sejati, memiliki program pendampingan yang menjangkau pekerja seks di banyak lokasi.
Meski lokalisasi dibubarkan, David Chandra dari Yayasan Kanti Sehati Sejati mengaku tidak berarti prostitusi hilang. Para pekerja seks kini justru beraktivitas dibalik usaha jasa dan hidup di rumah-rumah kos. Tidak mudah memantau keberadaan mereka, termasuk dalam memberi pemahaman akan risiko HIV/AIDS.
Yayasan Kanti Sehati Sejati memiliki petugas penjangkau untuk memantau kesehatan para pekerja seks.“
"Jadi, yayasan kami sendiri memiliki program pendampingan baik bagi mereka yang sudah tahu statusnya terkait HIV/AIDS, dan melakukan penjangkauan terhadap anggota komunitas yang memiliki perilaku berisiko. Biasanya kita melakukan pendataan atau mapping bagi mereka yang masih melakukan perilaku berisiko ini," ujar David.
Di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dulu pernah ada lokalisasi, tidak jauh dari kota kecil Muntilan. Karena desakan masyarakat, kawasan ini kemudian ditutup dan pekerja seks dipaksa pergi.
Namun dalam beberapa waktu kemudian, praktik prostitusi justru berpindah ke area pasar kayu, terminal, dan bahkan di bangunan bekas tua bioskop. Dalam pola semacam ini, mobilitas pekerja seks tidak dapat terpantau dan barangkali mereka tidak pernah tersentuh sosialisasi risiko HIV/AIDS.
“Ada beberapa yang kalau malam mangkal, tetapi sekarang katanya lebih banyak pakai handphone. Tinggal janjian lalu dibawa pergi. Kalau kontrakannya sih, ya dekat sini-sini saja,” kata Ardi, seorang pedagang di Muntilan, Jawa Tengah.
Tidak jauh berbeda, lokalisasi Kalitengah di Kebumen, Jawa Tengah juga dibubarkan secara paksa oleh masyarakat. Sempat turun aktivitasnya, para pekerja seks dari berbagai kota kini tetap menyediakan jasa di rumah-rumah penduduk, tidak jauh dari Stasiun Kota Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
“Kalau saya mengantar barang kesana, ya bisa lihat sendiri. Masih banyak kok, mereka tinggal di rumah-rumah warga setempat. Kasihan juga sebenarnya, tapi kasihan lagi anak-anak yang tinggal disitu. Apa tidak pada mikir,” ungkap Sukiyo, warga Gombong yang bekerja sebagai sopir angkutan barang.
Sebagai lokalisasi liar di kota kecil, tentu saja akses terhadap informasi seputar HIV/AIDS secara benar tidak mudah diperoleh. Begitu pula kegiatan VCT, pemeriksaan IMS dan IVA secara teratur. Kondisi ini mengancam upaya menahan laju penyebaran HIV/AIDS.