Naiknya kesadaran itu tercermin lewat munculnya sejumlah komunitas, kampanye, dan perbincangan di media sosial terkait kesehatan mental. Masyarakat pun makin sering menjumpai istilah skizofrenia, bipolar, kecemasan, atau depresi.
Peningkatan kesadaran ini dinilai harus dilanjutkan dengan pendidikan. Menurut Psikiater Andreas Kurniawan, masyarakat perlu dilatih bagaimana merespon orang yang mengalami depresi atau menyatakan ingin bunuh diri.
“Nah kebanyakan kita akan bingung ketika mendengar seperti itu kita harus apa,” ujarnya kepada VOA, Sabtu (12/10).
Masyarakat, jelas Andreas, perlu diajarkan intervensi krisis mental tahap awal. Pengetahuan ini bisa diajarkan di level perguruan tinggi.
“Dengan adanya pelatihan mental crisis intervention di tahap awal, setidaknya teman-teman ini bisa merespon dengan baik, dengan seaman mungkin. Setelah itu dia bisa dibawa ke tahap berikutnya ke rumah sakit atau ke klinik, untuk mendapatkan penanganan yang lebih optimal,” terangnya.
Di samping itu, belakangan muncul orang-orang yang mengklaim punya gangguan jiwa. Menurut Andreas, jika merasa memiliki gangguan, sebaiknya memeriksakan diri ke psikiater.
“Saya kadang-kadang di media sosial juga ada yang bilang ‘dok saya kayaknya bipolar’, ‘dok saya kayaknya depresi’,” cerita Andreas.
“(Saya jawab) ‘Oh OK bagus kalau kamu sudah mencari informasi soal itu. Gimana kalau kamu konsultasi untuk mendapatkan tatalaksana selanjutnya’?,” kisah dokter spesialis kejiwaan lulusan Universitas Indonesia ini.
Stigma Masih Mengganjal Pengobatan
Namun, kesehatan mental di Indonesia masih terganjal masalah stigma. Banyak orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dinilai gila, tidak bisa sembuh, atau kurang pengetahuan agama. Padahal, masih menurut Andreas, gangguan kejiwaan adalah kondisi medis di otak.
“Biasanya saya akan memberikan analogi begini: Orang dengan asthma yang mengalami sesak, kita nggak pernah menstigma dia, ‘kamu kenapa sih sampai sesak begitu? Ini saya nafas biasa-biasa saja’,” ujarnya menirukan label yang biasa dialamatkan kepada ODGJ.
“Nah kita bisa memberikan gambaran yang sama juga orang dengan depresi. Bukannya dia tidak mau merasa senang, bukan dia tidak mau berjuang. Melainkan dia secara biologi otaknya memang kesulitan untuk merasakan kesenangan itu,” tambahnya yang aktif di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia ini.
Karena stigma tersebut, banyak orang enggan mencari pertolongan atau pengobatan. Benny Prawira, koordinator komunitas pencegahan bunuh diri Into The Lights, mengatakan sudah banyak literatur yang meneliti halangan dari stigma itu.
“Stigma gangguan jiwa itu mengganggu untuk mencari bantuan, terus menyebabkan dia terisolasi, terasing, terus merasa tidak ada harapan. Sehingga stigma ini bukan hanya menghalangi pencarian batuannya, tapi juga makin bikin orang suicidal (memikirkan bunuh diri) dalam prosesnya,” ujarnya kepada VOA secara terpisah.
Stigma sendiri, tambah Benny, bisa dikikis dengan pendidikan dan peningkatan kesadaran. Stigma juga bisa diruntuhkan dengan sering mempertemukan ODGJ dengan non-ODGJ.
Indonesia Perlu Sistem yang Lebih Komprehensif
Upaya mengikis stigma dan pendidikan saja belum cukup, ujar Benny, yang menyerukan sistem yang lebih komprehensif.
“Kita harus membentuk suatu sistem yang lebih mendukung itu. Sistem layanan yang lebih berkualitas, sistem layanan yang lebih merata,” tambah lulusan Psikologi Sosial Universitas Atmajaya Jakarta ini.
Benny menekankan, pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah.
“Banyak yang harus diperbaiki ya. Sistem kesehatan jiwanya belum mencakup seluruh area, masih banyak BPJS yang belum meng-cover luka-luka akibat bunuh diri/self-harm, belum adanya suicide hotline, belum ada suicide registry untuk mencatat jumlah kematian bunuh diri,” pungkasnya. (rt/em)