Sistem pembelajaran daring ini memunculkan polemik karena memiliki negatif keuntungan dan kelemahan. Sistem pembelajaran ini menghindarkan pelajar atau mahasiswa dari risiko perebakan virus corona, namun penyampaian materi pelajarannya tidak seefektif sistem pembelajaran tatap muka langsung.
Hal ini dirasakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya, Tasya Fabiola, yang mengalami kendala saat harus belajar dengan menggunakan alat peraga.
“Kalau di kedokteran mungkin susahnya ke praktiknya, praktiknya ya jelas, karena kan kalau di kedokteran banyak praktik yang memakai alat. Jadi kita ada manekin, seperti macam-macamnya begitu. Tapi kalau di rumah kan tidak bisa, jadi cuma lihat video saja,” kata Tasya Fabiola.
Namun Tasya juga mengakui, sistem daring memiliki keunggulan karena dapat dilakukan di tempat dan waktu yang tidak terbatas.
“Sebenarnya kalau saya pribadi, saya merasa praktis sih. Jadi jamnya lebih fleksibel, tempatnya juga fleksibel, jadi lebih nyaman,” imbuh Tasya.
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Virgilius Kasra Tolok, mengaku lebih suka pembelajaran secara tatap muka langsung di kelas karena dirasa lebih efektif dan mudah diterima dibandingkan melalui daring.
“Kalau saya pribadi, saya lebih senang, lebih prefer ke kuliah tatap muka, kuliah di ruang kelas saling interaksi, itu dapat banget ketimbang melalui daring. Kalau dari materi, via daring tidak masalah karena di zoom kan menyediakan aplikasi untuk ada presentasinya dan lain-lain, jadi komunikasi bisa jalan,” kata Virgilius.
Sedangkan, bagi mahasiswa baru Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Dhika Antoni, model pertemuan tatap muka menjadi pilihannya untuk lebih mengenal kampus dan teman-teman barunya.
“Kurang enak aja (daring) soalnya dari SMA ya kebiasaan masuk sekolah, tidak ada daring-daringan. Kalau enak, ya tetap enak datang langsung, kan bisa bertemu teman-teman baru. Kita kan ya belum terlalu mengenal lingkungan kampus juga kan,” ujar Dhika.
Sementara itu, Rektor Universitas Surabaya (Ubaya), Benny Lianto, menyadari sejumlah kendala yang pastinya dihadapi mahasiswa dengan sistem pembelajaran daring ini. Salah satunya kendala koneksi internet yang tidak selalu baik. Untuk itu, perguruan tinggi dan dosen, kata Benny, harus memahami dan mempunyai kebijakan khusus menyikapi situasi yang dihadapi mahasiswa.
“Kasus-kasus khusus seperti ada kasus dimana mahasiswa tidak bisa mengikuti dengan baik karena ada gangguan koneksi dan lain sebagainya, itu tentu harus kita tangani secara khusus. Seperti misalnya, kalau dia mengikuti pembelajaran sinkronus, jadi real time, jadi dosen jam tujuh dia juga harus standby jam tujuh, kemungkinan ada gangguan koneksi, nah kalau dia ada gangguan koneksi dia bisa lapor, kita akan kirimkan materi-materi yang lain dia bisa akses melalui media-media yang lain, yang tidak harus pada saat itu,” terang Benny.
Untuk membantu mahasiswa yang kesulitan mengikuti pembelajaran daring, Benny Lianto mengatakan, telah mengalokasikan sejumlah dana.
“Kita juga sudah memberikan fasilitas pembelajaran daring pada mereka satu juta rupiah per mahasiswa, per semester, untuk mereka gunakan yang tentunya untuk membeli pulsa dan lain sebagainya, kuota pulsa. Kemudian dosen-dosen juga sudah kita persiapkan dengan baik supaya membuat modul-modul pembelajaran daring yang baik, dan penguasaan terhadap teknologi pembelajaran daring,” kata Benny.
Benny berharap, mahasiswa dapat terus belajar di tengah pandemi corona ini, meski melalui sistem daring, yang harus mulai dijadikan kelaziman baru dalam sistem pembelajaran saat ini. [pr/ab]