Ada sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya keterlibatan perempuan dalam industri teknologi. Salah satunya adalah pola pengasuhan dalam keluarga, kata Veni Johanna, Software Engineer di perusahaan Quora di Silicon Valley.
“Misalnya, waktu masih kecil, kalau kamu laki-laki pasti suka main lego. Suka membuat bangunan, atau memainkan semacam game terkait engineering. Kalau perempuan dikasih Barbie. Jadi bermula dari mainan apa yang dikasih waktu masih kecil, dan bidang apa yang didukung orangtua untuk dipelajari. Itu semua mempengaruhi apa yang mau mereka pelajari nanti. Apakah dari kecil anak perempuan didukung mempelajari engineering yang stigmanya untuk laki-laki,” tutur Veni.
Keahlian yang dibutuhkan dalam bidang teknologi sebenarnya tidak hanya terbatas pada coding dan programming. Elsie Mullers, direktur pengembangan bisnis AR Group dan WIR Group, mengatakan kepada VOA peluang perempuan untuk berkarir dalam bidang teknologi sangat besar.
“Bekerja dalam bidang teknologi bukan berarti harus tahu program komputer, meskipun itu merupakan nilai plus. Namun artinya harus mengerti cara mengaplikasikan teknologi, menjadikannya bermanfaat dan relevan dalam kehidupan atau membuat kehidupan lebih baik. Hal itu memerlukan kreativitas, keahlian sosial, keteguhan, keterampilan manajemen, dan yang paling penting harus punya visi. Perempuan sangat mampu melakukan hal-hal itu dan lebih banyak lagi,” ujar Elsie.
Kini, semakin banyak upaya di AS untuk menarik minat perempuan. Diantaranya lewat kelompok-kelompok nirlaba seperti Girls Who Code atau Women in Technology yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan dari segala jenjang karir dalam bidang teknologi lewat kegiatan seperti mentoring dan networking. [vm/jm]