Sepekan setelah China melonggarkan beberapa langkah penanggulangan COVID-19 yang paling ketat di dunia, ketidakpastian mengenai pandemi di negara berpenduduk terbanyak itu masih terasa.
Meskipun tidak ada indikasi mengenai lonjakan kasus besar-besaran seperti yang dikhawatirkan sebagian orang, pemerintah menyatakan sekarang ini pada dasarnya mustahil mendapatkan gambaran akurat mengenai jumlah aktual kasus secara nasional.
Di Beijing dan kota-kota lain, apotek kehabisan obat dan perangkat tes. Banyak staf rumah sakit yang tinggal di rumah.
Pusat kota Beijing sebagian besar kosong pada Kamis (15/12). Bisnis dan restoran yang buka atau tidak mengurangi jam operasinya secara radikal, hanya menerima sedikit pelanggan.
Beberapa antrean terbentuk di luar apotek dan klinik demam, yang jumlahnya meningkatnya lebih dari tiga kali lipat di Beijing menjadi lebih dari 300 meskipun pemerintah mengimbau mereka yang memiliki gejala ringan agar memulihkan diri di rumah tanpa membebani sumber daya kesehatan.
Seorang warga tampak berteriak frustrasi di depan apotek yang tutup sementara selama dua jam di Beijing pada Kamis (15/12) pagi. Ia terdengar meminta penjelasan apakah masih ada obat pilek dan demam di sana.
Kebijakan “nol-COVID” China berupa lockdown, karantina dan wajib tes dipersalahkan karena menghambat ekonomi dan menciptakan tekanan sosial sangat besar. Dampak dari pelonggaran restriksi mulai 7 Desember lalu belum menjadi fokus.
Sementara itu berita mengenai ekonomi masih beragam. Biro Statistik Nasional (NBS) pada Kamis mengatakan output industri bernilai tambah China naik 2,2 persen per tahun.
“Output industri masih stabil pada bulan November meskipun ada dampak pandemi pada jangka pendek,” kata pejabat biro itu, Tang Weiwei, yang dikutip kantor berita resmi Xinhua.
Tingkat pengangguran di perkotaan naik sedikit menjadi 5,7 persen pada bulan November, dari 5,5 persen pada bulan sebelumnya, kata NBS.
China tidak mensurvei pengangguran di luar kota-kota besar. [uh/ab]
Forum