Dr. Syarifuddin terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk periode 2020-2025 dalam pemilihan Senin (6/4). Namun kepemimpinannya akan menghadapi tantangan terkait penanganan korupsi.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyatakan, ada sejumlah masalah di peradilan yang perlu diselesaikan oleh Syarifuddin sebagai pemimpin tertinggi lembaga yudikatif.
Liza Farihah dari KPP mengatakan dua masalah pertama adalah masih banyaknya pungutan liar dan pejabat peradilan yang terlibat suap.
"2017 ada panitera pengganti Jaksel yang di-OTT, kemudian panitera pengganti pengadilan Tipikor di PN Bengkulu, hakim dan panitera PN Tangerang, kemudian pada 2019 ada hakim di PN Balikpapan," terangnya dalam diskusi online, Minggu (26/4) sore.
Mahkamah Agung pada 2016 telah meluncurkan Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS) sebagai platform online bagi masyarakat untuk melakukan pengaduan. Namun, dalam pengamatan KPP, sarana itu belum efektif.
"Karena teman-teman dari koalisi sendiri beberapa kali mencoba untuk melaporkan lewat SIWAS dan hasilnya tidak bisa memuaskan karena jauh dari efektif," jelasnya yang merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP).
Tren Putusan Korupsi Makin Ringan
Kepemimpinan Syarifuddin dimulai ketika lembaga anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tren vonis ringan terhadap koruptor.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan selama 2019 rata-rata hukuman yang dijatuhkan bagi terdakwa korupsi adalah 2 tahun 7 bulan penjara.
“Putusan ringan itu mendominasi, 1019 perkara itu ada 842 yang divonis ringan, sedangkan yang dihukum berat hanya 9 terdakwa dari 1025 terdakwa. Selain itu vonis bebas dan lepas masih jadi persoalan, ada 54 terdakwa,” jelasnya.
Kurnia mengatakan, Ketua MA perlu mendorong pengembalian kekayaan negara dalam vonis-vonis pidana korupsi. Sebab selama ini putusan tersebut sangatlah sedikit.
"Dari total kerugian 12 triliun (pada 2019), hanya dijatuhkan senilai 780 miliar, praktis kurang dari 10 persen kerugian keuangan negara bisa dipulihkan kembali, “ terang Kurnia lagi.
Syarifuddin Dinilai Punya Rekam Jejak Baik
Sementara itu Ketua Komisi Yudisial (KY) 2013-2015 Suparman Marzuki mengatakan Syarifuddin memiliki rekam jejak yang baik selama menjadi Hakim Agung.
“Ini artinya dia punya tiket baik untuk jadi pemimpin di pengadilan, dia punya track record yang baik, dia nggak punya kartu AS,” terangnya.
Suparman menyebut, ia bekerjasama dengan Syarifuddin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas MA. Sementara dia sendiri jadi ketua pengawasan KY.
“Kerjasamanya bisa berjalan sangat baik sangat rapi relatif tidak ada masalah,” imbuh Suparman.
Suparman berharap Syarifuddin dapat meningkatkan kerjasama antara MA dan KY dalam melanjutkan reformasi peradilan. Dia mencatat, dalam masa jabatannya, hanya 10-15 persen rekomendasi KY yang direspon oleh MA.
Syarifuddin terpilih setelah unggul dengan 32 suara dibanding pesaingnya Hakim Agung Andi Samsan Nganro yang meraih 14 suara. Dia menggantikan Prof. Muhammad Hatta Ali yang menjabat posisi tersebut sejak 2012.
Pria berusia 65 tahun tersebut mengawali karirnya sebagai hakim di PN Kutacane, Aceh, pada 1984. Penyandang gelar Doktor Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan ini sempat menjabat sebagai Ketua Kamar Pengawasan dan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial. [rt/ab]