Tautan-tautan Akses

Kiat Pariwisata Bertahan di Tengah Pandemi


Para turis melihat-lihat patung Buddha di Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, 12 Agustus 2019. (Foto: AP/Slamet Riyadi)
Para turis melihat-lihat patung Buddha di Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, 12 Agustus 2019. (Foto: AP/Slamet Riyadi)

Industri pariwisata nasional adalah salah satu sektor yang terdampak wabah corona. Perubahan perilaku dan teknologi menjadi kunci bagi industri pariwisata menghadapi pandemi ini.

Sejak wabah virus corona merebak di seluruh dunia, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia perlahan-lahan anjlok. Secara kumulatif sejak Januari hingga Maret, jumlah wisatawan yang datang hanya mencapai 2,61 juta orang atau turun drastis 30,62 persen; dibanding periode yang sama tahun lalu yaitu 3,76 juta orang.

Jika dibandingkan bulan Februari, maka jumlah kedatangan wisatawan turun 45,50 persen; sementara jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu penurunan tercatat lebih drastis lagi, yaitu 64,11 persen.

Kerugian dari sektor pariwisata diprediksi mencapai Rp 60 triliun.

Tangkapan layar mantan Wakil Menteri Pariwisata, Sapta Nirwandar saat menggelar diskusi daring, Sabtu (9/5). (Foto: VOA/Yudha Satriawan)
Tangkapan layar mantan Wakil Menteri Pariwisata, Sapta Nirwandar saat menggelar diskusi daring, Sabtu (9/5). (Foto: VOA/Yudha Satriawan)

Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar, dalam diskusi daring bertema “Pariwisata di Era New Normal: Install Ulang Pariwisata Indonesia,” Sabtu (9/5) ini mengatakan pandemi Covid-19 ini mengubah tatanan sektor pariwisata.

"Menurut saya sebelum wabah Covid-19, pariwisata Indonesia tidak sehat. Target 20 juta wisatawan, hanya dapat 16,1 juta. Selain itu, saat wabah melanda, tambah terpuruk. Sekarang penggunaan sistem teknologi meningkat, semua pakai online. Gunakan virtual," katanya.

Ikon Pariwisata Solo, Wisata budaya Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tampak lengang, Sabtu (9/5), semua tempat wisata di Solo tutup sementara selama KLB Corona. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)
Ikon Pariwisata Solo, Wisata budaya Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tampak lengang, Sabtu (9/5), semua tempat wisata di Solo tutup sementara selama KLB Corona. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Yang penting pada saat ini, lanjut Sapta, adalah social safety net, kesadaran pengelola dan pengunjung dalam berinteraksi sambil menunggu penemuan vaksin yang tepat. Sanitasi, kesehatan dan kebersihan menjadi prioritas.

"Andalan wisata kita adalah budaya, wisata alam, dan MICE [Meeting, Incentive, Convention, Exhibition-red]. Perlu dilihat yang bisa adaptasi dengan protokol kesehatan yang mana, misal diving diatur dengan mudah, tidak perlu mass atau banyak," katanya.

"Nah kalau MICE, sport events, peserta atau penonton tidak ada, berarti harus dicari modus baru agar tetap bisa dilakukan. Inggris, Italia, dan Spanyol melakukan virtual F1 dan membuka latihan sepakbola. Ini memang peran teknologi tetapi orang tidak puas karena butuh banyak orang bersama dalam jarak berdekatan di lokasi yang sama," papar Sapta.

Bisnis perhotelan, penerbangan, biro perjalanan wisata, dan pengelola tempat wisata kini memilih melakukan penutupan sementara selama wabah corona. Lebih dari 2.000 hotel tutup, juga bandara dan pelabuhan. Total kerugian akibat penghentian operasi bandara dan penerbangan yang berujung kebijakan merumahkan pekerja industri pariwisata, sejauh ini sudah mencapai $113 miliar.

Praktisi perhotelan, Adi Satria, dalam diskusi yang digelar Ikatan Cendekiawan Pariwisata dan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila itu mengungkapkan tiga langkah bisnis perhotelan yang diharapkan dapat bertahan selama pandemi corona.

"Bisnis perhotelan kami, selain di Indonesia juga beroperasi di 95 negara dengan jumlah 5.000 hotel. Impact corona ini luar biasa. Kami harus mengubah bisnis model. Selama belum ada vaksin, sulit bagi pariwisata tumbuh dan bertahan. Pengalaman kami bertahun-tahun dengan beragam keadaan terorisme, wabah flu burung, SARs, MERS, dan saat ini corona, harus beradaptasi," kata Adi.

Kawasan Tugu Yogyakarta, sektor pariwisata kota ini terhempas wabah virus corona. (Foto: VOA/Nurhadi)
Kawasan Tugu Yogyakarta, sektor pariwisata kota ini terhempas wabah virus corona. (Foto: VOA/Nurhadi)

Saat terorisme, kata Adi, pihaknya memperketat protokol keamanan hotel. Peningkatan security, metal detector, dan sebagainya. Ketika wabah SARS dan sejenisnya melanda, pihahknya juga harus memperketat protokol kesehatan di hotel.

Menurutnya, ada tiga cara yang membuat bisnis perhotelannya bertahan. Pertama, membantu 300 ribu pekerja dengan menyiapkan dana sebesar 70 juta euro bagi yang terdampak financial distress. Kedua, bekerjasama dengan rumah sakit menyediakan hotel sebagai tempat karantina mandiri tenaga medis yang menangani corona.

"Pekerja hotel kami tempatkan di bagian yang tidak kontak langsung dengan tenaga medis, misal bagian administrasi, booking online, food and beverages, tentu saja didampingi konsultan medis. Sistem hospitality. Karyawan hotel ada yang kami realokasi job ke supermarket atau resepsionis rumah sakit," tambah Adi.

Sedangkan langkah ketiga yang dilakukannya adalah fokus pada wisatawan domestik karena penerbangan internasional saat ini masih berhenti sementara.

Tangkapan layar Ketua ICPI, Prof Azril, saat menjadi narasumber diskusi daring bertema pariwisata di masa pandemi, Sabtu (9/5). (Foto: VOA/Yudha Satriawan)
Tangkapan layar Ketua ICPI, Prof Azril, saat menjadi narasumber diskusi daring bertema pariwisata di masa pandemi, Sabtu (9/5). (Foto: VOA/Yudha Satriawan)

Sementara itu, akademisi pariwisata dari Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Profesor Azril Azahari, mengatakan pandemi corona ini membuktikan perlunya program studi baru, yang menggabungkan sistem pendidikan perhotelan dan rumah sakit.

"Kebutuhan dasar pariwisata saat ini adalah safety, security dan tambah lagi healthy. Kita juga harus membuat kurikulum pariwisata selangkah lebih maju dengan membuat program studi baru. Amerika, Selandia Baru dan Singapura sudah ada prodi khusus tentang hospital [rumah sakit -red]. Hospital yang dikelola seperti hotel," katanya.

"Di situ ada orang yang paham medis/pengelolaan rumah sakit dan ada yang paham pengelolaan perhotelan. Hospitality. Ini menarik sekali. Indonesia belum memanfaatkan ini, banyak hospital, banyak hotel tapi dua-duanya belum sinergi," lanjut Azril.

Bagaimana Nasib Desa Wisata?

Pemerintah menargetkan jumlah desa wisata di tahun ini mencapai 10 ribu desa. Bagi Sapta Nirwandar, desa wisata menjadi jantung daerah menggerakkan perekonomian masyarakat. Menurut Sapta, social safety dan safety health menjadi kunci desa wisata bertahan di masa pandemi.

"Branding desa wisata bebas dari Covid-19, artinya ada tes medis di desa tersebut menunjukkan tak ada warganya terjangkit corona. Orang ke sana akan nyaman. Orang yang datang ke desa wisata itu juga harus dicek. Jadi, ada trust antara kedua belah pihak, travellers dan pengelola desa wisata. Ada kesadaran keduanya dalam safety, healthy, dan security," katanya.

Sementara bagi praktisi perhotelan, Adi Satria, pengelolaan desa wisata bisa berkaca pada sistem perhotelan dengan melonggarkan sejumlah standar prosedur.

"Pengelola desa wisata bisa melakukan standar operasional seperti hotel tapi tidak semua point bisa dijalankan. Sesuaikan dengan kondisi. Cara menaikkan trust kepercayaan pada publik dan branding kuat,” ujarnya. [ys/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG