Perang Afghanistan merupakan perang paling lama bagi Amerika, berlangsung hampir 20 tahun. Pada tahun 2001, Amerika dengan cepat menggulingkan pemerintah Taliban, yang menyembunyikan teroris al-Qaida dan bertanggung jawab atas serangan teroris 9/11 di AS. Terlepas dari dukungan internasional selama bertahun-tahun atas Afghanistan, pada minggu-minggu terakhir terjadi pengambilalihan oleh Taliban, penarikan pasukan AS yang kacau, dan serangan teror besar-besaran yang menewaskan hampir 200 orang termasuk 13 tentara AS.
Perang Amerika di Afghanistan merupakan yang paling lama, namun kini sudah berakhir. Karena pengaruh al-Qaida telah merosot di Afghanistan, Presiden Joe Biden kepada Pentagon mengatakan sudah waktunya untuk membawa pulang pasukan AS.
John Kirby, juru bicara Pentagon mengemukakan, “Militer sebenarnya telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan di Afghanistan yaitu mencegah wilayah itu menjadi lokasi yang nyaman bagi serangan teroris atau suatu landasan peluncuran serangan teroris di tanah air.”
Militer AS tadinya berharap akan bisa meninggalkan mitra-mitra Afghanistannya dengan sebuah peluang untuk bertempur melawan Taliban.
Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, Taliban dengan cepat memasuki Kabul pada pertengahan Agustus lalu, mengakibatkan kepanikan ketika evakuasi AS dimulai di Bandara Internasional Hamid Karzai.
John Kirby menambahkan, “Banyak kekacauan terjadi dan banyak kebingungan. Maksud saya, Presiden Afghanistan sendiri baru saja naik pesawat dan terbang ke luar negeri. Tidak ada yang menyangka itu akan terjadi.”
Pasukan Afghanistan - dilatih dan dilengkapi oleh koalisi pimpinan AS selama 20 tahun - jatuh dalam waktu kurang dari 20 hari.
Beberapa anggota dari pasukan itu menuduh kekurangan bahan makanan, amunisi, dan dukungan dari udara.
Para pemimpin lokal di daerah-daerah di seluruh negeri dengan cepat membuat kesepakatan dengan Taliban, memaksa yang lainnya untuk menyerah atau melarikan diri.
Thomas Joscelyn dari Foundation for Defense of Democracies’ Long War Journal menguraikan, "Meski berperang selama 20 tahun di Afghanistan, tidak ada yang benar-benar paham dan mengerti - kepemimpinan militer dan politik AS - tidak mengerti siapa yang mereka lawan di Afghanistan, Taliban atau al-Qaida. Mereka tidak memahami hubungan antara keduanya.”
AS berupaya mengevakuasi 124.000 orang hanya dalam beberapa minggu. Namun, upaya itu terganggu oleh serangan teror ISIS yang menewaskan hampir 200 orang, termasuk 13 anggota militer Amerika.
Beberapa hari kemudian, serangan pesawat tak berawak AS yang menurut Pentagon dimaksud untuk menyerang pelaku ISIS, keliru menyerang dan membunuh 10 warga sipil yang tidak bersalah.
Sementara itu evakuasi tidak berhasil menyelamatkan ratusan warga Amerika dan ribuan sekutu Afghanistan.
Kelompok-kelompok hak -hak melaporkan pembunuhan balas dendam terhadap sekutu AS pada bulan-bulan berikutnya, dan pengambilalihan Taliban memicu krisis ekonomi.
Kepala urusan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths menjelaskan, “Keambrukan ekonomi jauh lebih berat, parah dan mendesak daripada yang dikhawatirkan. Kami mengira akan dapat bertahan hidup di musim dingin dengan bantuan kemanusiaan. Sekarang kita tahu itu tidak cukup.”
PBB mengatakan ISIS Khorasan, yang dulu terbatas di wilayah kecil dari Afghanistan, kini meluas ke setiap provinsi.
PBB menambahkan bahwa serangan ISIS Khorasan terhadap Taliban dan warga sipil meningkat lima kali lipat tahun ini.
Para pejabat Amerika telah berulang kali berjanji akan menggunakan apa yang disebut kemampuan jarak jauh untuk meneruskan pengejaran teroris di Afghanistan yang berencana untuk menyerang AS.
Lloyd Austin, Menteri Pertahanan AS mengemukakan, “Hal itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa kita memperhatikan beberapa ancaman ketika berkembang. Kami akan tetap memfokuskan pada hal itu secara cermat.”
Tetapi militer AS kini hanya memiliki sekitar 1-2% dari kemampuan yang pernah dimilikinya untuk memantau situasi di Afghanistan, demikian kata kepala Komando Pusat AS kepada Associated Press, dan membuat misi itu semakin sulit.
Sementara itu, bagi warga Afghanistan, masa depan di bawah pemerintahan Taliban masih dipenuhi ketidak-pastian.
Zalmay Khalilzad, mantan Utusan AS untuk Afghanistan menyatakan, “Berbagai sinyal yang diterima, beberapa positif dan lainnya tidak. Kami berharap semuanya menjadi positif. Alternatifnya adalah pengulangan masa lalu, yang akan mengakibatkan penderitaan rakyat Afghanistan, konflik dan campur tangan oleh pihak luar.
Dunia internasional mengawasi apakah Taliban akan secara efektif memerintah dan menghormati hak asasi manusia... dan apakah kelompok teror akan berkembang lagi di Afghanistan dan merencanakan serangan terhadap negara-negara Barat. [mg/jm]