Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk Ganti Winarno Putro mengatakan pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong Individu (VGR) COVID-19, yang sedianya dimulai Senin (12/7), ditunda sampai pemberitahuan selanjutnya.
Dalam pesan singkat kepada VOA, Ganti mengungkapkan penundaan ini karena banyaknya pertanyaan yang masuk dari masyarakat. Mengingat kondisi ini, Kimia Farma memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi VGR Individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta.
“Kami mohon maaf sekali lagi atas ketidaknyamanan ini. Namun hal ini lakukan demi memberikan “customer journey” yang lebih prima. Terima kasih atas pemahaman para pelanggan serta animo untuk bersama-sama mendorong tercapainya kekebalan komunal (herd immunity) yang lebih cepat di Indonesia,” ujar Ganti di Jakarta, Senin (11/7).
Tak Cari Untung
Sebelumnya, Ganti pada Minggu (11/7), menegaskan pihaknya tidak mencari keuntungan dalam program vaksinasi gotong-royong individu COVID-19.
Dia menerangkan bahwa program ini merupakan perluasan dari program vaksinasi gotong-royong yang sebelumnya diinisiasi oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Dalam program ini, perusahaan membeli vaksin COVID-19 untuk diberikan kepada karyawan dan keluarganya tanpa dipotong gaji.
“Jadi pada prinsipnya kita ini mendukung, tidak ada untuk komersialisasi dan sebagainya. Seperti yang disampaikan, semuanya sudah terbuka baik itu dari sisi komponen harga, dan sudah dilakukan review oleh lembaga independen sehingga kami sebagai salah satu BUMN itu mendukung untuk percepatan dan juga untuk perluasan daripada vaksinasi gotong royong sehingga bukan untuk komersialisasi,” ungkap Ganti dalam telekonferensi pers di Jakarta, Minggu (11/7).
Lanjutnya, langkah ini diambil mengingat terjadinya lonjakan kasus COVID-19 yang signifkan terutama di Jawa dan Bali. Oleh karena itu, program ini dinilai bisa mempercepat kekebalan kelompok dan melindungi masyarakat secara luas.
Ganti mengatakan vaksin yang rencananya digunakan dalam program ini adalah vaksin Sinopharm, berbeda dengan vaksin yang digunakan oleh pemerintah.
Harga dan Pelaksanaan Vaksinasi
Dalam telekonferensi pada Minggu (11/7), Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma (persero) Bambang Heriyanto mengatakan program vaksinasi gotong-royong individu itu ditujukan kepada masyarakat atau individu yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19 sama sekali. Dia menegaskan program ini bukan program pemberian vaksinasi penguat atau booster.
"Saat ini pemerintah belum mengeluarkan ketetapan bahwa masyarakat akan diberikan booster. Jadi tetap programnya adalah masyarakat mendapatkan semua akses vaksin untuk dosis 1 dan 2,” paparnya.
Rencananya, para peserta vaksinasi gotong-royong dikenai biaya Rp 439.570 untuk satu dosis. Harga itu terdiri dari harga vaksin sebesar Rp321.660 dan biaya pelayanan sebesar Rp117.910. Menurut Bambang, harga tersebut sudah dikaji sehingga diharapkan tidak memberatkan masyarakat.
“Harga saya kira sudah ditetapkan dalam keputusan Menkes, sudah dilakukan review dengan BPKP, struktur harganya sudah terbuka, dibuka dengan jelas. Saya kira tidak ada yang ditutupi, termasuk tadi banyak isu marjin berapa, itu sudah ditetapkan dengan seterbuka mungkin,” ungkap Bambang.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostika Agus Chandra mengatakan vaksinasi berbayar ini terbuka untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia.
Pada tahap awal, imbuh Chandra, layanan vaksinasi berbayar ini akan disediakan di delapan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) milik Kimia Farma, yaitu di Senen, Pulo Gadung dan Blok M untuk DKI Jakarta; kemudian di kota Bandung, Solo, Semarang, Surabaya dan Bali.
“Masing-masing titik kita siapkan 5.000 dosis sambil melihat kesiapan maupun demand daripada masyarakat,” jelas Agus.
Selain di klinik Kimia Farma, ujar Agus, pihaknya akan memperluas layanan tersebut di beberapa titik-titik strategis seperti Bandara dan di pusat perbelanjaan ketika masa kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sudah berakhir.
Harus Gratis
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pemberian vaksin oleh pemerintah di tengah situasi pandemi memang harus digratiskan, terutama kepada kelompok rentan seperti tenaga kesehatan dan masyarakat lanjut usia (lansia).
Sejauh yang ia ketahui, belum ada negara di dunia ini yang membuat program vaksinasi COVID-19 berbayar. Bahkan di beberapa negara maju, pemerintahnya justru memberikan insentif kepada masyarakat yang bersedia di vaksin agar bisa segera memenuhi target jumlah orang yang divaksinasi.
“Dalam konteks ini adanya wacana pemberian vaksin dengan berbayar di Indonesia, kalau bicara dari sisi ideal, tentu tidak ideal, jelas. Tidak memperkuat amanat regulasi, bahwa dalam situasi darurat pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan termasuk layanan vaksinasi untuk memproteksi. Juga ini bisa menimbulkan banyak masalah,” ujar Dicky kepada VOA.
Dicky mengerti bahwa kondisi keuangan masing-masing negara dalam menghadapi situasi pandemi yang sulit ini tentu berbeda-beda. Oleh karena itu, jika pemerintah tidak sanggup untuk memvaksinasi dari jumlah target yang ada, pemerintah perlu terbuka kepada masyarakat.
“Sampaikan saja bahwa tidak memungkinkan misalnya untuk memberikan secara gratis kepada 181 juta orang yang ditargetkan karena keterbatasan dana saat ini,” kata Dicky.
Kemudian, jika vaksinasi mandiri individu sudah dilakukan, Dicky menyarankan pemerintah tetap memaparkan strategi yang kepada publik mengenai kelanjutan program vaksinasi.
“Harus ada paparan yang jelas kepada publik sehingga jelas strateginya. Kita jadi tidak ujug-ujug (tiba-tiba -red) karena yang terjadi selalu seperti itu, dan itu yang nantinya akan melahirkan kesimpangsiuran dan kontra-produktif, dengan tujuan-tujuan yang ada,” pungkasnya. [gi/ft]