Tumbuh dan besar di kawasan Kemayoran Jakarta yang beragam membuat Benny Prawira terbiasa berinteraksi dengan siapa saja. Mau itu tetangga Betawi, Jawa, Sunda, atau lainnya.
Meski begitu, tumbuh dengan darah Tionghoa tidaklah mudah. Saat kecil, ia kerap dicemooh karena identitasnya.
"Ada anak kecil—kita tahu lah—sering kali diwajarkan untuk nge-bully orang. Intinya itu merendahkan, dan aku nggak nyaman banget. Apapun artinya, aku tahu itu dimaksudkan dengan cara yang tidak bikin nyaman,” kisahnya.
Lain lagi kisah Anastasia Satriyo, yang berdarah campuran Tionghoa dan Jawa, dan besar di Jakarta. Saat kecil, dia tidak pernah diberitahu bahwa dirinya berdarah campuran. Bahkan dia tidak mengenal apa itu konsep suku, sampai seorang temannya di sekolah menanyakan hal tersebut.
"Aku bilang orang Indonesia. Terus temen aku kayak nggak puas gitu, 'nggak mungkin orang Indonesia tuh ada sukunya, kamu suku apa?'. Jadilah aku pulang ke rumah bertanya dengan mamaku. Mama, Anas itu sukunya apa. Jadi aku baru tahu, orang tuaku beda suku," tutur Anastasia.
Seperti Benny, Anastasia merasakan dirinya berbeda lewat cemoohan dari lingkungan sekitar.
"Sebenarnya kalau nggak mengalami banyak bully dari kecil kita nggak tahu kalau kita beda. Namanya anak kecil nggak memperhatikan."
Sampai tragedi Mei 1998 terjadi, ketika keduanya masih bersekolah. Anas masih ingat bagaimana toko-toko memasang tulisan ‘muslim pribumi.'
"Terus aku tanya ke mamaku, kenapa harus ditulis kayak gitu, kalau bukan muslim pribumi kenapa? 'Oh menjadi muslim dan pribumi tuh jadi privilese (keistimewaan) yah di Indonesia,' ” ia menceritakan refleksinya.
Perjumpaan Sebagai Obat
Anas dan Benny mengatakan, Mei 1998 memang tidak banyak dibicarakan di komunitas Tionghoa dengan sejumlah alasan. Meski begitu, keduanya mencoba berdamai dengan masa lalu lewat beberapa cara. Salah satunya adalah bertemu orang-orang dari beragam etnis.
Hal ini, kata Anas, sangat penting untuk mematahkan prasangka antara komunitas Tionghoa dan suku-suku lain di Indonesia. Dia menekankan, orang Tionghoa juga hidup seperti masyarakat pada umumnya.
"Misalnya, kita suka sushi, bisa makan gudeg, makan soto, tapi kita juga makan bakpao. Itu sama sekali tidak bisa kita pahami kalau kita mindsetnya stereotipe. Apalagi kalau pakai prasangka dan stigma,” jelas Anas.
Dalam pembauran itu, ujarnya, penting untuk saling mengenal ke level individu.
"Dalam psikologi sosial, kalau kita melihat orang sebagai komunitas, mungkin kita benci, tapi kalau diindividualisasi, kita baru melihat orang sebagai person-to-person ya,” tambahnya yang berprofesi sebagai psikolog anak ini.
Dan dia menekankan, relasi lintas-etnis jangan hanya sepintas lalu.
"Bukan bertemu 'say hi' doang. (Harus) dari person ke person bukan karena status, itu penting banget," ia menekankan.
Benny sepakat bahwa bertemu orang-orang beragam etnis adalah ‘juga proses penyembuhan’. Namun dia melihat upaya ini masih terganjal masalah ketimpangan ekonomi.
"Menurutku perlu banget untuk bisa pelan-pelan mengubah struktur ekonomi dan sosial budaya. Karena semakin ia tinggi, stereotipe Chinese orang kaya dan pribumi orang miskin itu semakin dipelihara," ujarnya yang merupakan peneliti dan pegiat isu kesehatan jiwa.
Karena itu, ujar Benny, hubungan lintas-etnis harus terus diperkuat.
"Nggak sekadar 'oh gue punya teman Chinese kok, jadi gue biasa bergaul sama mereka.' Nggak cuy! Lo pernah ngomongin nggak perbedaan budaya antara lo berdua itu maksudnya apa? Lo ngerti nggak, misalnya, pengalaman mereka kayak apa ketika tragedi Mei 1998?" kata Benny.
Perjalanan masih panjang, kata Benny, tapi dia tahu harapan itu makin besar. [rt/em]