Keinginan Wahyu Agung Prasetyo tak muluk ketika mengunggah film pendek besutannya ke YouTube 17 Agustus lalu.
“Biar yang nonton juga semakin luas, semakin masif, dengan harapan ngasih hiburan tontonan yang legal juga,” ujar sutradara itu dalam wawancara melalui Zoom dengan VOA (21/8).
Sambutan masyarakat ternyata jauh melebihi ekspektasinya. Hingga pekan pertama September, “Tilik” sudah disaksikan lebih dari 22 juta kali.
“Fresh, delightful,” tulis sineas Joko Anwar dalam unggahan Twitternya (19/8), “Sederhana tapi gigit. Believable dengan akting yang asyik.”
Sementara komika dan sutradara Ernest Prakasa memuji unsur komedi sekaligus aspek teknis produksi film tersebut lewat Twitternya (19/8), “SALUT!”
Sentimen yang sama pun disampaikan warganet lain yang terkesan dengan karyanya.
“Per hari ini, sudah ada empat lah kira-kira yang mengajak (dan kasih) tawaran (kerja sama),” kata Agung, nama sapaannya, ketika digoda soal berapa banyak pembuat film yang mendekatinya sejak karyanya meledak. Ia bercerita ada yang ingin membuat Tilik jadi drama berseri, ada pula yang tertarik mengangkatnya ke layar lebar.
Agung tak mau gegabah, tetapi tak mau menepis peluang-peluang itu.
“Karena sebenarnya kan kalau di Indonesia, khususnya di anak-anak lokal, anak-anak independen bikin film, film pendek ini sebagai batu loncatan, karena tujuan akhir kita memang pengennya masuk ke industri, pengennya bikin film panjang,” jelasnya.
Agung mengambil ancang-ancang.
Asal Usul “Tilik”
Cerita Bagus Sumartono ketika dirinya dan Bagus nongkrong di sebuah angkringan pada satu malam tahun 2016 menancap dalam di kepala Wahyu.
“Dia cerita, ngomong sama aku, ‘Tadi aku habis lihat ada ibu-ibu rombongan pada tilik (menjenguk, red.) di salah satu rumah sakit di kota. Cuma yang menarik adalah mereka itu sebenarnya nggak pengin tilik, tapi pengin jalan-jalan di Malioboro,’” kisahnya.
Dua tahun kemudian, persis itulah yang tergambar dalam film pendek “Tilik” garapannya bersama Elena Rosmeisara, sang produser, dan Bagus, yang menjadi penulis skenarionya.
Meski demikian, budaya tilik – yang berarti menjenguk – sendiri lantas ‘hanya’ menjadi kendaraan bagi Agung dan rekan-rekannya untuk menyampaikan isu yang lebih besar: merajalelanya berita hoaks menjelang pemilihan presiden 2019 kala itu.
“Apalagi kami merasa di lingkungan kami – kami kan tinggal di perkampungan – banyak tersebar gosip-gosip atau info-info nggak enak seputar apapun, karena yang diincar (untuk) black campaign-black campaign (itu) orang-orang desa,” ujarnya.
Tidak berhenti di situ, Agung, Elena dan Bagus, yang sama-sama dibesarkan oleh sosok ibu tunggal – yang diakui Agung kerap menjadi bahan pergunjingan warga, memasukkan isu independensi perempuan ke dalam alur cerita Tilik.
“Kami merasa kami sangat dekat dengan (fenomena) itu,” kata Agung.
Maka, terciptalah kisah Yu Ning, Bu Tejo dan beberapa perempuan paruh baya lainnya yang tak henti mempersoalkan sosok Dian, gadis desa yang diduga bukan perempuan baik-baik karena tak ada yang tahu soal kehidupan pribadinya, dalam perjalanan menumpang bak truk untuk menjenguk Bu Lurah di rumah sakit.
Pro-Kontra Karakter Bu Tejo dan Ending Tilik
“Dian itu kerjanya apa ya? Kok ada yang bilang kalau kerjaannya nggak benar,” ujar karakter Bu Tejo dengan nada menyindir, membuka kisah “Tilik” pada dua menit pertama film pendek berdurasi 32 menit itu.
“Karakter Bu Tejo ini sudah dibuat bahkan dari draf naskah pertamanya,” tutur Agung yang juga menyutradai beberapa film pendek lainnya, seperti Anak Lanang (2017) dan Singsot (2016).
Baginya, karakter Bu Tejo yang suka bergosip lekat dengan kehidupan nyata.
“Menurutku menarik, ketika aku bisa menghadirkan sesuatu yang amat dekat di kita muncul di film ini untuk – bisa dibilang – jadi sentral di film ini, karena Bu Tejo ini memang yang menggerakkan semua ceritanya,” bebernya.
Untuk alasan yang sama, aktris Siti Fauziah alias Ozie, setuju untuk menghidupkan sosok Bu Tejo.
“Menurutku ini penting buat disuarakan, buat dibikin karyanya,” kata Ozie, yang mengaku selalu tertarik untuk menggarap karya yang kental dengan isu sosial dan budaya, saat berbincang lewat Zoom dengan VOA (26/8).
Ia memandang kebiasaan merumpi yang terpotret dalam Tilik adalah penggambaran realita masyarakat, khususnya di Yogyakarta, yang menjadi latar kisah Bu Tejo dkk, yang memiliki fungsi tersendiri.
“Karena itu sebenarnya salah satu – secara tidak langsung – kontrol sosial yang baik ya buatku, karena bagaimanapun juga di Jogja ini tradisinya kita srawung tonggo, kayak gitu loh, tetap punya koneksi dengan tetangga sekitar,” tuturnya.
Akan tetapi kritik tajam datang dari sejumlah pihak, termasuk jurnalis televisi Rory Asyari yang merasa terganggu dengan penggambaran karakter para perempuan paruh baya dalam film pendek tersebut.
“Stigmatisasi sangat kental. Perempuan pedesaan dianggap bodoh, biang gosip, tong kosong nyaring bunyinya,” ungkapnya dalam unggahan Twitter (21/8).
“Di film ini, yang berisi dan bijak kalah suara. Yang mustinya kita tiru, jadi dikesankan dungu,” tulis Rory.
Ozie tidak sepakat dengan pendapat tersebut. Menurutnya, fragmen yang ditampilkan dalam Tilik adalah refleksi kehidupan di masyarakat.
“Di kenyataan itu ya tetap ada yang kayak gitu. Kita juga nggak bisa denial (menyangkal, red.) kan,” tukas aktris yang pernah membintangi film “Sultan Agung” dan “Bumi Manusia” itu.
Bukan cuma perkara Bu Tejo, sebagian penonton juga menyesalkan akhir cerita Tilik yang dianggap melanggengkan praktik disinformasi. Salah satunya diungkapkan oleh kritikus film Hikmat Darmawan lewat Twitternya (19/8).
“Yeah, oke, Tilik mau menampilkan ironi. “Bagus banget buat meruntuhkan formula antagonis pasti kalah”. Blah blah. Helooo? Dari 2018 juga isu hoax ini udah genting, makan korban, bisa mematikan. Apalagi sekarang. Isu hoax nggak butuh ironi ala ala kayak gitu sih,” tulisnya dalam satu unggahan.
Agung, sang sutradara, mengaku tak punya pembelaan apa-apa terhadap kritikan itu. Ia hanya meminta penonton menelaah lebih jauh akhir filmnya.
“Kalau menurut kami, di cerita tersebeut nggak ada yang benar, nggak ada yang salah. Bu Tejo pun menurutku tidak benar,” tuturnya, “Oke, filmnya memang selesai, tapi masalahnya itu tidak selesai.”
Agung mengaku, justru akhir kisah Tilik itu mengandung pesan besar lainnya yang ingin ia sampaikan terkait isu perempuan.
“Menurutku perempuan itu juga punya hak atas kemerdekaan tubuh dan pikirannya dia. Itu juga berangkat dari pengalaman soal janda tadi,” katanya.
Meski demikian, baik Agung maupun Ozie mengerti bahwa setiap orang berhak menilai film yang mereka ciptakan.
“Ya bebas banget sebenarnya, semua punya latar belakang untuk bicara, semua punya pendapat sendiri-sendiri tentu saja, tapi mohon banget diciptakan diskusi yang sehat,” pungkas Ozie secara terpisah.
Momentum Film Pendek
Sejak pertama tercetus gagasan membuat film “Tilik” tahun 2016, hingga akhirnya diproduksi tahun 2018, terselip masalah klasik pelaku film pendek: bujet.
“Aku tahu teman-teman para pembuat film punya jiwa yang sangat besar ingin membuat film, tetapi selalu terkendala dengan bujet,” ungkap Agung.
Namun, ia dan timnya di Ravacana Films beruntung pada tahun 2018, ketika Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta setuju memberinya dana istimewa – bantuan pemerintah daerah bagi pelaku seni, termasuk pembuat film.
Setelah merampungkan seluruh tahapan produksi, ia memasukkan filmnya ke berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Tilik lantas memperoleh beragam apresiasi, seperti memenangi Film Pendek Terpilih Piala Maya 2018, menjadi Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018, hingga dipilih sebagai Official Selection World Cinema Amsterdam 2019. Semua kemenangan itu bukan tanpa tujuan.
“Di Indonesia sendiri kulturnya kan, kalau kita belum dapat panggung, kita kan benar-benar dianggap ‘Kamu itu siapa?’ Jadi memang kita benar-benar perlu ngebuktiin,” jelasnya, “Itu kenapa kebanyakan teman-teman yang bergerak di film pendek, selalu tujuan utamanya pasti festival, karena ketika kita menang festival, kita dapat label, secara nggak langsung kita punya value buat jual filmnya, buat jual kita sendiri.”
Dua tahun kemudian, pada peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-75 tahun, timnya merilis Tilik di platform berbagi video gratis, YouTube, dan sukses disaksikan jutaan pasang mata.
Agung berharap momentum Tilik bisa mengekspose film pendek Indonesia lainnya ke khalayak.
“Mungkin dengan momentum Tilik ini akhirnya orang jadi melek, ‘Oh ternyata ada ya film pendek Indonesia dan itu bagus-bagus,’ dan aku berharap semoga eksposur ini tuh kebagi ke banyak pihak teman-teman para pembuat film yang lain,” pungkasnya. [rd/em]