Empat hari di perjalanan. Dari Kyiv ke Zhitomyr, kemudian dari Rivne menuju perbatasan Polandia, bergabung dengan antrean mobil dan orang-orang bersama koper mereka yang berjalan mengular hingga 100 kilometer.
Itulah yang dialami Snizhana ketika dirinya meninggalkan Kyiv 25 Februari lalu saat menuju Jerman, di mana saudaranya tinggal. “Kami harus beralih ke perbatasan yang berbeda, yang berbatasan dengan Slovakia. Ada antrean mobil sepanjang enam kilometer di sana, setidaknya bukan 100 kilometer,” ungkapnya.
Setelah mendaratkan kecupan perpisahan kepada sang suami, ia lantas menumpangi bus untuk menyebrangi perbatasan Slovakia, sementara suaminya kembali ke Kyiv.
“Kami bertemu di perbatasan, lalu di bawa ke sebuah gedung sekolah di mana kami bisa menghangatkan diri, menikmati makan dan minum. Kemudian teman dari saudara kami menjemput kami di sana untuk membawa kami ke tempat menginap. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Jerman,” imbuh Snizhana.
Sementara itu, Olga Sheremet juga meninggalkan Ukraina pada hari kedua invasi Rusia, bersama dengan bayi laki-lakinya yang berusia satu tahun, yang bernama Taras. Kini mereka sudah berada di Polandia dengan selamat.
“Saya tinggal dengan saudara suami saya sekarang. Kami meninggalkan kota Irpin. Kami mendengar suara bom dan pertempuran di Hostomel. Dan persis dua jam setelah kami pergi, tank-tank Rusia memasuki kota Irpin, Bucha dan Vorzel,” ujarnya.
Lain halnya dengan Katerina Ilchenko. Suaminya, yang orang Amerika, dan keluarganya telah berminggu-minggu meminta ia meninggalkan Ukraina. “Saya bilang kepada mereka saya tidak akan pergi. Kenapa? Karena saya belum selesai merenovasi apartemen saya! Saya sudah menyelesaikan area dapur, tapi kamar kami belum (selesai).”
Setelah Kementerian Luar Negeri AS mendesak warga negara Amerika untuk meninggalkan Ukraina, Katerina separuh menyerah. Ia dan keluarganya meninggalkan Kyiv menuju sisi barat negara itu seminggu sebelum invasi Rusia. Kini mereka berencana meninggalkan negara tersebut.
“Kami belum pergi jauh sebisa mungkin karena saya tidak ingin meninggalkan Ukraina. Tapi ini lebih baik daripada di apartemen, karena salah satu rudal pertama yang diluncurkan mengenai daerah tempat tinggal kami,” tukas Katerina.
Lebih dari setengah juta orang seperti Katerina, Olga dan Snizhana telah meninggalkan Ukraina, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan jumlahnya terus bertambah.
Bahkan lebih banyak lagi warga Ukraina yang terlantar di negerinya sendiri, kata para ahli.
Franck Düvell dari International Migration Institute mengatakan, “660.000 orang terlantar di level internasional, di negara-negara lain. Sementara 1,5 juta orang terlantar di Ukraina. Jadi totalnya 2,2 juta orang atau empat persen populasi – itu jumlah yang sudah signifikan, dan itu baru setelah lima hari invasi.”
Yang sedang terjadi adalah krisis pengungsi di Eropa.
Cynthia Buckley, dosen sosiologi University of Illinois, mengatakan, “Tanpa perlindungan udara apa pun, tanpa keterlibatan apa pun oleh pendukung Ukraina atau militer Ukraina, yang memiliki kapasitas untuk mencegah rudal-rudal itu mengenai sasaran, menurut saya, skenario terburuknya adalah mungkin akan ada 2,5 juta pengungsi dari 44,1 juta warga Ukraina.”
Sementara itu, pada hari Rabu (2/3), Komisi Eropa mengajukan proposalnya kepada negara-negara Uni Eropa untuk mengizinkan warga Ukraina yang melarikan diri dari invasi Rusia tinggal dan bekerja di blok itu selama dua tahun pertama.
Rencana mendesak tersebut diluncurkan karena ratusan ribu warga Ukraina telah tiba di beberapa negara Uni Eropa tetangganya, termasuk Polandia, Slovakia, Hungaria, dan Rumania.
“Eropa mendukung mereka yang membutuhkan perlindungan. Semua yang melarikan diri dari bom Putin diterima di Eropa,” kata ketua Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dalam sebuah pernyataan.
Komisi Eropa mengatakan, dalam proposal tersebut, pihaknya dapat setiap saat meminta negara-negara anggota untuk memperpanjang perlindungan pengungsi satu tahun lagi atau justru mengakhiri perlindungan tersebut jika situasi di Ukraina stabil.
Proposal itu juga mencakup pelonggaran kontrol perbatasan untuk sementara waktu, agar memungkinkan orang-orang dari Ukraina memasuki Uni Eropa meski tidak memiliki paspor atau visa yang valid.
Di bawah aturan yang ada, warga Ukraina dengan paspor yang memuat data biometrik diizinkan memasuki wilayah Uni Eropa tanpa visa dan tinggal hingga tiga bulan.
Negara-negara di Eropa telah menyatakan dukungan luas untuk langkah tersebut, di tengah upaya mengatasi dampak invasi Rusia.
Akan tetapi, dari wawancara VOA dengan warga Ukraina, mereka tidak menginginkan status pengungsi, karena mereka berencana kembali ke negara mereka.
Kembali, Katerina Ilchenko. “Salah satu ketakutan terbesar saya adalah tidak lagi mengenali Kyiv saat saya kembali ke sana. Dari yang saya amati – dan saya mencoba untuk tidak melihat terlalu banyak, hanya sedikit di sana-sini – saya bisa melihat apa yang mereka perbuat terhadap kota ini. Tapi saya akan selalu mencintai kota ini bagaimana pun kondisinya. Saya akan pulang ke Kyiv, saya akan membuka pintu apartemen dengan kunci saya sendiri, saya akan masuk dan menyelesaikan renovasi kamar tidur kami. Apapun yang terjadi,” pungkasnya. [rd/jm]