NEW YORK —
Benny YP Siahaan, Koordinator Fungsi Konsuler Sosial Budaya dan Protokol, KJRI New York, dalam wawancara dengan VOA, Senin pagi (3/2), membantah jika pihaknya pada tahun 2001 dinilai tidak membantu Shandra Woworuntu, korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil melarikan diri dan melaporkan kasusnya ke KJRI.
KJRI New York mengatakan justru staf konsulat yang membantu Shandra memperoleh dokumen perjalanan baru setelah yang lama dirampas oleh sindikat tersebut.
“Kadang-kadang kita menghadapi kasus WNI yang minta paspor lagi dan kita harus menelitinya terlebih dahulu. Mungkin staf yang ditemui Ibu Shandra ketika tahun 2001 itu agak kaku, tetapi ia tidak menyebut bahwa kemudian justru ia ditolong oleh staf KJRI lainnya yang bernama Ferry Kurniadi. Ferry inilah yang kemudian membantu Shandra dan bahkan ikut mengunjungi Ibu Shandra di Brooklyn. Kebetulan Ferry Kurniadi kini sudah tidak bekerja lagi di KJRI New York lagi per 2012,” ujar Benny.
Benny menambahkan bahwa jika paspor hilang dan ada keterangan polisi yang menyertainya, pengurusan paspor baru lebih gampang. KJRI bias mengeluarkan SPLP atau Surat Perjalanan Laksanan Paspor.
Shandra Woworuntu, mantan analis keuangan warga negara Indonesia yang semula hendak mengadu nasib ke Amerika, malah terjebak menjadi korban perdagangan manusia.
Niatnya mencari pekerjaan yang lebih baik di Chicago musnah setibanya di bandara John F. Kennedy New York awal Juni 2001 tempat ia justru dibawa, disekap dan diperjualbelikan dari sindikat ke sindikat lainnya.
Shandra akhirnya berhasil melarikan diri dan membantu aparat keamanan setempat menggulung sindikat yang menjerumuskannya. Tiga dari lima kepala sindikat itu ditangkap FBI dan puluhan perempuan korban perdagangan manusia, termasuk dua warga negara Indonesia lainnya berhasil dibebaskan.
Dalam wawancara dengan VOA hari Minggu (2/2), Shandra Woworuntu sempat menyesalkan sikap KJRI New York yang dinilai tidak membantunya ketika ia mengurus dokumen perjalanan.
“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. Sulit meyakinkan orang di KJRI bahwa paspor saya diambil orang jahat karena mereka menganggap saya datang ke Amerika sebagai pelacur untuk mencari keuntungan. Mungkin karena saat itu polisi dan orang di KJRI tidak tahu apa itu kejahatan perdagangan manusia,” kata Shandra.
Lepas dari kasus tersebut, Benny YP Siahaan yang baru bertugas sebagai Koordinator Fungsi Konsuler Sosial Budaya dan Protokol KJRI New York sejak bulan Mei 2013 lalu, kini siap memberi bantuan kepada WNI yang memerlukan layanan. Secara terang-terangan ia juga menyatakan mendukung upaya reformasi UU Imigrasi secara menyeluruh yang di dalamnya mencakup perlindungan bagi tenaga kerja asing di Amerika.
“Kami mendukung sekali reformasi itu karena berarti melindungi WNI kita di luar negeri. Upaya mengatasi perdagangan manusia tidak bisa dilakukan oleh hanya satu pihak saja, negara sumber pemasok tenaga kerja dan negara penerima. Jika sistem di negara penerima ini tidak kuat, kita juga susah,” ujar Benny.
Tanggal 27 Januari lalu, Shandra Woworuntu bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan LSM-LSM penggiat isu ini berbicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika. Senator fraksi Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana Comprehensive Immigration Reform Plan yang diusulkannya.
Usul serupa sebenarnya telah diajukan oleh senator fraksi Republik lainnya, Ed Royce, dan masih menunggu persetujuan di tingkat DPR.
Dalam laporan Global Trafficking in Persons tahun 2013, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan bahwa Amerika adalah “sumber, tempat transit, dan negara tujuan bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak, baik warga Amerika maupun warga asing, terkait kerja paksa, jeratan hutang, perbudakan terpaksa, dan perdagangan seks” di mana para korban terutama berasal dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras dan Indonesia.
KJRI New York mengatakan justru staf konsulat yang membantu Shandra memperoleh dokumen perjalanan baru setelah yang lama dirampas oleh sindikat tersebut.
“Kadang-kadang kita menghadapi kasus WNI yang minta paspor lagi dan kita harus menelitinya terlebih dahulu. Mungkin staf yang ditemui Ibu Shandra ketika tahun 2001 itu agak kaku, tetapi ia tidak menyebut bahwa kemudian justru ia ditolong oleh staf KJRI lainnya yang bernama Ferry Kurniadi. Ferry inilah yang kemudian membantu Shandra dan bahkan ikut mengunjungi Ibu Shandra di Brooklyn. Kebetulan Ferry Kurniadi kini sudah tidak bekerja lagi di KJRI New York lagi per 2012,” ujar Benny.
Benny menambahkan bahwa jika paspor hilang dan ada keterangan polisi yang menyertainya, pengurusan paspor baru lebih gampang. KJRI bias mengeluarkan SPLP atau Surat Perjalanan Laksanan Paspor.
Shandra Woworuntu, mantan analis keuangan warga negara Indonesia yang semula hendak mengadu nasib ke Amerika, malah terjebak menjadi korban perdagangan manusia.
Niatnya mencari pekerjaan yang lebih baik di Chicago musnah setibanya di bandara John F. Kennedy New York awal Juni 2001 tempat ia justru dibawa, disekap dan diperjualbelikan dari sindikat ke sindikat lainnya.
Shandra akhirnya berhasil melarikan diri dan membantu aparat keamanan setempat menggulung sindikat yang menjerumuskannya. Tiga dari lima kepala sindikat itu ditangkap FBI dan puluhan perempuan korban perdagangan manusia, termasuk dua warga negara Indonesia lainnya berhasil dibebaskan.
Dalam wawancara dengan VOA hari Minggu (2/2), Shandra Woworuntu sempat menyesalkan sikap KJRI New York yang dinilai tidak membantunya ketika ia mengurus dokumen perjalanan.
“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. Sulit meyakinkan orang di KJRI bahwa paspor saya diambil orang jahat karena mereka menganggap saya datang ke Amerika sebagai pelacur untuk mencari keuntungan. Mungkin karena saat itu polisi dan orang di KJRI tidak tahu apa itu kejahatan perdagangan manusia,” kata Shandra.
Lepas dari kasus tersebut, Benny YP Siahaan yang baru bertugas sebagai Koordinator Fungsi Konsuler Sosial Budaya dan Protokol KJRI New York sejak bulan Mei 2013 lalu, kini siap memberi bantuan kepada WNI yang memerlukan layanan. Secara terang-terangan ia juga menyatakan mendukung upaya reformasi UU Imigrasi secara menyeluruh yang di dalamnya mencakup perlindungan bagi tenaga kerja asing di Amerika.
“Kami mendukung sekali reformasi itu karena berarti melindungi WNI kita di luar negeri. Upaya mengatasi perdagangan manusia tidak bisa dilakukan oleh hanya satu pihak saja, negara sumber pemasok tenaga kerja dan negara penerima. Jika sistem di negara penerima ini tidak kuat, kita juga susah,” ujar Benny.
Tanggal 27 Januari lalu, Shandra Woworuntu bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan LSM-LSM penggiat isu ini berbicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika. Senator fraksi Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana Comprehensive Immigration Reform Plan yang diusulkannya.
Usul serupa sebenarnya telah diajukan oleh senator fraksi Republik lainnya, Ed Royce, dan masih menunggu persetujuan di tingkat DPR.
Dalam laporan Global Trafficking in Persons tahun 2013, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan bahwa Amerika adalah “sumber, tempat transit, dan negara tujuan bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak, baik warga Amerika maupun warga asing, terkait kerja paksa, jeratan hutang, perbudakan terpaksa, dan perdagangan seks” di mana para korban terutama berasal dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras dan Indonesia.