WASHINGTON, DC —
Dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu berbicara pada VOA tentang kisah kelam yang dialaminya ketika menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.
“Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2).
Shandra mengatakan ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998.
Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp 30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta.
“Agensi ini menawarkan pekerjaan di Amerika, Jepang dan beberapa negara lain. Saya coba telepon dan setelah melalui sekian banyak tes dan interview, saya diminta membayar Rp 30 juta, katanya biaya itu untuk administrasi, tiket dan lain-lain. Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?” ujarnya.
Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat.
“Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi,” ujar ibu dua anak itu.
Tetapi keadaan ternyata tidak semulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di bandar udara John F. Kennedy di New York buru-buru mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.
“Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian. Saya….dipindah-pindah beberapa kali,” ujarnya.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods adalah beberapa tempat di kota New York yang diingat Shandra menjadi lokasi operasi sindikat perdagangan manusia tersebut.
Shandra mencatatnya dengan lengkap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat berwenang di Amerika untuk menggulung komplotan itu.
Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama.
Ia menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan cantik yang dikenalnya dalam lingkungan sindikat itu, yang secara tak terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain. Ironisnya, pimpinan sindikat berikutnya ini justru warga Indonesia sendiri.
“Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.
“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.”
Biro Investigasi Federal pun bergerak cepat. Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat – termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut Shandra – ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama-sama Shandra menjadi korban perdagangan manusia.
“Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya. Jadi semacam kebetulan. Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan, yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya – yang juga warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur,” ujarnya.
“Waktu kami berpisah – sewaktu saya kabur dulu – saya janji sama mereka saya akan kembali untuk mereka. Janji itu terngiang-ngiang terus waktu saya di polisi. Target saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan kawan-kawan ini.”
Shandra menyesalkan sikap pasif Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ketika ia melaporkan apa yang dialaminya.
“Orang di KJRI bilang ‘jika bebas boleh jalan-jalan ke mana saja tanpa paspor’. Saya sudah sampaikan paspor sudah diambil orang jahat dan sebagainya tetapi mereka tidak percaya. Sulit meyakinkan orang di KJRI karena sudah dianggap bahwa pekerjaan saya memang untuk mendapat keuntungan. Maksudnya, saya memang dianggap sebagai pelacur yang datang ke sini untuk mencari keuntungan. Jadi susah meyakinkan siapa saja,” ujarnya.
Pihak KJRI, menurut Shandra, hanya mengatakan akan memberi dokumen jika akan pulang.
“Tapi (KJRI) tidak tanya apakah saya ini homeless dan lain-lain. Tidak sampai sejauh yang saya bayangkan. Maksud saya, dulu saya bayangkan jika ada kesulitan kita bisa ke polisi atau perwakilan kita di Amerika. Tetapi faktanya sulit sekali meminta bantuan,” ujarnya.
Sampai berita ini dinaikkan, VOA masih berupaya memperoleh keterangan dari KJRI New York terkait hal ini. Sejauh ini, lewat telepon dan SMS, pihak KJRI hanya mengatakan bahwa "itu kasus lama, kasus tahun 2001."
Senat Amerika
Pada 27 Januari 2014, Shandra bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat penggiat isu ini, berbicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana digariskan dalam “Comprehensive Immigration Reform Plan” (Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif) yang diusulkannya.
Usul serupa sebenarnya telah diajukan oleh senator fraksi Republik lainnya, Ed Royce, dan masih menunggu persetujuan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam laporan “Global Trafficking in Persons" 2013, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan bahwa negara itu adalah “sumber, tempat transit dan negara tujuan bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak, baik warga Amerika maupun warga asing, terkait kerja paksa, jeratan utang, perbudakan terpaksa, dan perdagangan seks”, dimana para korban terutama berasal dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras dan Indonesia.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan membuka usaha katering kecil-kecilan, berharap bisa bekerja sama dengan badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban. “Voice of Hope”, salah satu unit lembaga “Safe Horizon” yang dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang – termasuk perwakilan-perwakilan negara yang ada di suatu negara – lebih mendengar suara korban.
“Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2).
Shandra mengatakan ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998.
Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp 30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta.
“Agensi ini menawarkan pekerjaan di Amerika, Jepang dan beberapa negara lain. Saya coba telepon dan setelah melalui sekian banyak tes dan interview, saya diminta membayar Rp 30 juta, katanya biaya itu untuk administrasi, tiket dan lain-lain. Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?” ujarnya.
Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat.
“Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi,” ujar ibu dua anak itu.
Tetapi keadaan ternyata tidak semulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di bandar udara John F. Kennedy di New York buru-buru mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.
“Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian. Saya….dipindah-pindah beberapa kali,” ujarnya.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods adalah beberapa tempat di kota New York yang diingat Shandra menjadi lokasi operasi sindikat perdagangan manusia tersebut.
Shandra mencatatnya dengan lengkap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat berwenang di Amerika untuk menggulung komplotan itu.
Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama.
Ia menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan cantik yang dikenalnya dalam lingkungan sindikat itu, yang secara tak terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain. Ironisnya, pimpinan sindikat berikutnya ini justru warga Indonesia sendiri.
“Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.
“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.”
Biro Investigasi Federal pun bergerak cepat. Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat – termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut Shandra – ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama-sama Shandra menjadi korban perdagangan manusia.
“Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya. Jadi semacam kebetulan. Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan, yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya – yang juga warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur,” ujarnya.
“Waktu kami berpisah – sewaktu saya kabur dulu – saya janji sama mereka saya akan kembali untuk mereka. Janji itu terngiang-ngiang terus waktu saya di polisi. Target saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan kawan-kawan ini.”
Shandra menyesalkan sikap pasif Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ketika ia melaporkan apa yang dialaminya.
“Orang di KJRI bilang ‘jika bebas boleh jalan-jalan ke mana saja tanpa paspor’. Saya sudah sampaikan paspor sudah diambil orang jahat dan sebagainya tetapi mereka tidak percaya. Sulit meyakinkan orang di KJRI karena sudah dianggap bahwa pekerjaan saya memang untuk mendapat keuntungan. Maksudnya, saya memang dianggap sebagai pelacur yang datang ke sini untuk mencari keuntungan. Jadi susah meyakinkan siapa saja,” ujarnya.
Pihak KJRI, menurut Shandra, hanya mengatakan akan memberi dokumen jika akan pulang.
“Tapi (KJRI) tidak tanya apakah saya ini homeless dan lain-lain. Tidak sampai sejauh yang saya bayangkan. Maksud saya, dulu saya bayangkan jika ada kesulitan kita bisa ke polisi atau perwakilan kita di Amerika. Tetapi faktanya sulit sekali meminta bantuan,” ujarnya.
Sampai berita ini dinaikkan, VOA masih berupaya memperoleh keterangan dari KJRI New York terkait hal ini. Sejauh ini, lewat telepon dan SMS, pihak KJRI hanya mengatakan bahwa "itu kasus lama, kasus tahun 2001."
Senat Amerika
Pada 27 Januari 2014, Shandra bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil menyelamatkan diri dan para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat penggiat isu ini, berbicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana digariskan dalam “Comprehensive Immigration Reform Plan” (Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif) yang diusulkannya.
Usul serupa sebenarnya telah diajukan oleh senator fraksi Republik lainnya, Ed Royce, dan masih menunggu persetujuan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam laporan “Global Trafficking in Persons" 2013, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan bahwa negara itu adalah “sumber, tempat transit dan negara tujuan bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak, baik warga Amerika maupun warga asing, terkait kerja paksa, jeratan utang, perbudakan terpaksa, dan perdagangan seks”, dimana para korban terutama berasal dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras dan Indonesia.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan membuka usaha katering kecil-kecilan, berharap bisa bekerja sama dengan badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban. “Voice of Hope”, salah satu unit lembaga “Safe Horizon” yang dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang – termasuk perwakilan-perwakilan negara yang ada di suatu negara – lebih mendengar suara korban.