Sebuah koalisi dari kubu sayap kiri Prancis meraih jumlah kursi parlemen terbanyak dalam pemilu pada Minggu (7/7), mengalahkan kubu sayap kanan yang tengah bangkit. Namun, koalisi sayap kiri itu masih belum berhasil meraih suara mayoritas. Kondisi tersebut membuat Prancis, yang merupakan pilar Uni Eropa dan tuan rumah Olimpade musim panas mendatang, kemungkinan menghadapi situasi parlemen gantung dan kelumpuhan politik.
Gejolak politik yang terjadi dapat menggangu kondisi pasar dan perekonomian Prancis, yang merupakan perekonomian terbesar kedua di Uni Eropa. Situasi tersebut juga berimplikasi terhadap perang di Ukraina, diplomasi global dan stabilitas ekonomi Eropa.
Ketika memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan pemilu pada bulan lalu, menyusul kemenangan kubu sayap kanan ekstrem dalam pemilu Parlemen Eropa, Presiden Emmanuel Macron mengatakan menyerahkan keputusan kembali kepada warga akan menghasilkan sebuah "klarifikasi."
Namun nyatanya, di setiap level, perjudian tersebut malah menjadi bumerang. Menurut hasil resmi yang terbit pada Senin (8/7) dini hari, tiga blok koalisi utama gagal meraih 289 kursi yang dibutuhkan untuk mengontrol parlemen Majelis Nasional, yang total beranggotakan 577 anggota.
Hasil menunjukkan bahwa koalisi sayap kiri New Popular Front meraih sedikit di atas 180 kursi, menempatkan mereka di posisi puncak mengungguli aliansi sentris pimpinan Macron, yang meraih 160 kursi. Kubu sayap kanan ekstrem pimpinan Marine Le Pen, National Rally, dan sekutunya berada di posisi ketiga dengan raihan 140 kursi, sebuah peningkatan dari pencapaian yang mereka raih di 2022 dengan 89 kursi.
Prancis di era modern sendiri tidak terlalu familiar dengan kondisi parlemen gantung.
"Negara kita menghadapi situasi politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bersiap untuk menyambut dunia dalama beberapa minggu ke depan," ujar Perdana Menteri Gabriel Attal, yang berencana untuk mengirimkan surat pengunduran dirinya segera.
Dengan Olimpiade Paris yang semakin dekat, Attal mengatakan ia siap untuk tetap menjabat "selama dibutuhkan." Macron sendiri masih memiliki sisa waktu tiga tahun di masa jabatannya sebagai presiden.
Banyak warga Prancis yang menyambut baik hasil pemilu tersebut. di alun-alun Stalingrad, pendukung kubu sayap kiri merayakan kemenangan mereka.
Marielle Castry, seorang warga prancis, tengah berada di Metro di Paris ketika hasil proyeksi pemilu diumumkan.
"Setiap orang sibuk dengan smartphones mereka dan tampak menunggu hasil [pemilu] dan lalu semua orang tampak senang [ketika hasilnya diumumkan]," ujar warga berusia 55 tahun itu. "Saya telah merasa stres sejak 9 Juni lalu dan sejak pemilu Parlemen Eropa. ... Dan sekarang, saya merasa senang. Lega."
Gejolak politik
Prancis kini menghadapi prospek intrik politik selama berminggu-minggu untuk menentukan siapa yang akan menjadi perdana menteri dan memimpin Majelis Nasional. Dan Macron menghadapi kemungkinan memimpin negara bersama seorang perdana menteri yang menentang sebagian besar kebijakan domestiknya.
Bagi Macron, 46, yang beraliran tengah, pemilu legislatif itu telah berubah menjadi bencana. Ia mengejutkan Prancis dan banyak kalangan dari pemerintahannya, dengan membubarkan majelis rendah parlemen, setelah kemenangan besar kelompok ekstrem kanan pada pemungutan suara Prancis untuk pemilu Eropa.
Macron berpendapat dengan mengirim kembali para pemilih ke TPS dan kotak suara akan memberi Prancis kejelasan. Presiden itu bertaruh bahwa dengan ditentukannya nasib Prancis di tangan mereka, para pemilih mungkin akan beralih dari ekstrem kanan dan kiri, dan kembali ke partai-partai utama yang lebih dekat ke kelompok tengah. Macron banyak mendapat dukungan dari kelompok beraliran tengah yang memberinya kemenangan dalam pemilu presiden tahun 2017 dan 2022.
Namun, alih-alih bersatu di belakangnya, jutaan pemilih di sisi kiri dan kanan pada peta politik Prancis yang semakin terpolarisasi memanfaatkan keputusannya yang mengejutkan itu sebagai kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka dan mungkin menyisihkan Macron. Para pemilih ini membebaninya dengan parlemen yang sebagian besarnya sekarang ini dapat diisi oleh anggota parlemen yang memusuhinya dan, khususnya, kebijakan Macron yang probisnis.
Tidak seperti negara-negara lain di Eropa yang lebih terbiasa dengan pemerintahan koalisi, Prancis tidak memiliki tradisi di mana anggota parlemen dari kubu-kubu politik yang saling berlawanan bersatu untuk membentuk mayoritas yang berfungsi.
Polarisasi politik Prancis yang tajam - terutama dalam kampanye yang panas dan cepat ini - pasti akan menyulitkan upaya membentuk koalisi. Rasisme dan antisemitisme menodai kampanye pemilu, bersama dengan kampanye disinformasi Rusia. Lebih dari 50 kandidat dilaporkan mengalami serangan fisik - hal yang tidak biasa terjadi di Prancis.
Pemerintah mengatakan mengerahkan 30 ribu polisi pada pemungutan suara putaran kedua pada Minggu, sebuah indikasi bahwa tingginya risiko maupun kekhawatiran akan kemenangan kelompok ekstrem kanan, atau bahkan tidak ada kemenangan jelas bagi blok manapun, dapat memicu protes-protes.
Mayoritas yang dibentuk secara terburu-buru berisiko rapuh, rentan terhadap mosi tidak percaya yang bisa menyebabkannya ambruk.
Ketidakstabilan yang berkepanjangan bisa memperkuat gagasan lawan-lawannya agar Macron mempersingkat masa jabatannya yang kedua dan terakhir. Konstitusi Prancis menghalanginya untuk membubarkan parlemen lagi dalam 12 bulan ke depan, untuk memberikan kejelasan yang lebih baik bagi Prancis. [rs/my/uh]
Forum