Koalisi masyarakat sipil baru-baru ini menggelar Konferensi Nasional 20 Tahun Reformasi: Kejahatan dan Penghukuman di Indonesia. Acara ini digelar oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Imparsial serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari konferensi tersebut adalah meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menjadikan penghapusan hukuman mati menjadi prioritas.
Pada acara jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (9/5), Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Puteri Kanisia menjelaskan ada sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dalam konferensi nasional itu. Rekomendasi pertama adalah meminta kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium hukuman mati sebagai langkah awal untuk menghapus hukuman mati.
Puteri menambahkan pemberlakukan hukuman mati di Indonesia berbertentangan dengan konstitusi, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik.
Rekomendasi kedua adalah adanya sejumlah pelanggaran prosedur hukum dan dugaan pengadilan tidak adil harus dijadikan koreksi dan evaluasi secara menyeluruh bagi pemerintah Indonesia. Secara khusus, pemerintah diminta mengevaluasi Kejaksaan Agung sebagai pelaksana hukuman mati di Indonesia.
Puteri mengingatkan dalam beberapa eksekusi tahap ketiga tahun lalu terjadi pelanggaran prosedur, yakni pemberitahuan soal jadwal pelaksanaan eksekusi kepada narapidana mati dan keluarganya dilakukan kurang dari waktu ditetapkan 3x24 jam, sehingga ada hak-hak narapidana hukuman mati yang dilanggar.
Lebih lanjut Puteri mengungkapkan rekomendasi ketiga yaitu pemerintah harus melakukan pembenahan secara serius dan pengawasan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia agar memenuhi standar peradilan yang adil, tidak memihak, dan imparsial, serta mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal.
Puteri menyebutkan ada banyak kasus terjadinya kesalahan sistem peradilan pidana, seperti kasus yang melibatkan Yusman Telbanua, anak di bawah umur tapi disidang dengan mekanisme terdakwa dewasa.
"(Rekomendasi) yang keempat, pemerintah Indonesia harus mampu memberikan akses bantuan hukum yang layak bagi terpidana mati. Seringkali para terpidana mati di Indonesia baru mendapatkan penerjemah atau bantuan hukum pada saat kasusnya masuk ke pengadilan. Jadi seringkali dalam proses dari mulai kepolisian, tidak banyak yang mendapatkan penasihat hukum yang layak," ujar Puteri.
Puteri mengatakan penting bagi pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dan komunikasi berbagai pemangku kepentingan, terutama dengan kedutaan-kedutaan besar asing. Karena banyak warga negara asing menjadi terpidana mati di Indonesia.
Juga kerjasama dengan organisasi advokat untuk mengatasi kekurangan penerjemah yang layak.
Peneliti dari LBH Masyarakat Albert Wirya mengakui ada pelanggaran hukum dalam kasus-kasus hukuman mati di Indonesia. Dia mencontohkan pelanggaran dialami narapidana Humphrey Jefferson. Dia eksekusi mati pada 2016 padahal permohonan grasi yang dia ajukan masih belum mendapat jawaban dari Presiden Joko Widodo, apakah diterima atau ditolak.
Menurut Albert, pelanggaran hukum lainnya adalah pemberitahuan waktu eksekusi terhadap kliennya kurang dari 72 jam. Dia menambahkan LBH Masyarakat juga mempertanyakan kepada pemerintah dan Kejaksaan Agung mengenai alasan pemilihan narapidana mati yang akan dieksekusi. Apakah waktunya, jenis kelamin, atau kewarganegaraanya.
"Karena kami melihat sendiri dari kasus Jeff (Humphrey Jefferson), bagaimana sejak diputus di pengadilan negeri, dia sudah mendapatkan stigma sebagai pengedar narkotika semata-mata karena warna kulitnya, semata-mata karena dia orang Afrika. Itu tertulis jelas di poin pertimbangannya, orang kulit hitam dari Nigeria pasti pengedar narkotika dan ini menunjukkan hakim sedari awal telah memiliki prasangka buruk terhadap klien kami," papar Albert.
Albert juga mempertanyakan pelanggaran hukum yang juga dialami oleh Merry Utami, narapidana mati kasus kepemilikan heroin yang ditangkap di Tangerang. Setelah dinyatakan bakal dieksekusi di gelombang ketiga namun akhirnya dihapus dalam daftar, dia dipindah ke penjara di Nusakambangan dari Lembaga Pemasyarakatan khusus perempuan di Tangerang. Tapi sampai sekarang Merry belum dikembalikan ke LP Tangerang.
Praktik hukuman mati di Indonesia masih menjadi polemik dan preseden buruk di dunia internasional karena ketika semakin banyak negara yang melakukan moratorium terhadap hukuman mati. Indonesia terus melanjutkan eksekusi terhadap narapidana mati.
Selama 2015-2016 terdapat 18 narapidana dieksekusi mati walau mendapat kecaman dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri.
Perang terhadap narkotika yang digencarkan pemerintah juga berdampak pada ditolaknya grasi 18 narapidana kasus narkoba yang diajukan kepada presiden.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir memastikan hukuman mati tidak bertentangan dengan rezim hukum internasional. Dia menambahkan hukuman mati merupakan bagian dari penegakan hukum di Indonesia.
"Kita perlu tegaskan hukuman mati itu tidak bertentangan dengan rezim hukum internasional. Di Indonesia hukuman mati masih merupakan bagian dari hukum positif berlaku di Indonesia dan tidak bertentangan dengan hak hidup diatur dalam Undang-undang Dasar 1945," jelas Arrmanatha. [fw/em]