Ketika penguasa Mesir mendeklarasikan mantan Presiden Hosni Mubarak “meninggal secara klinis”, kartunis politik Islam Gawish menggunakannya sebagai lelucon.
“Ketika berita tersebut muncul, banyak orang yang tidak mengerti apa makna pernyataan tersebut. Beberapa orang mungkin tahu arti kematian klinis, tapi tidak mengerti istilah ‘ranjang kematian’, jadi saya mencoba memakai hal-hal tersebut dalam kartun-kartun saya, yang ternyata memancing banyak reaksi,” ujarnya.
Dulu Gawish sering memasang kartun-kartun anti Mubarak di dinding atau di gedung-gedung daripada mendapat risiko ditahan karena bergabung dengan demonstrasi di jalanan. Dengan tumbuhnya media sosial, gambar-gambarnya yang dianggap subversif sering dipasang di jaringan media sosial, dan penggemar-penggemarnya yang setia menyebarkannya lewat Facebook, Twitter dan Google Plus.
“Jika saya kirim kartun bernuansa politik ini ke koran-koran pemerintah, tentu saja akan disensor atau tidak akan dimuat,” kata Gawish. “Tidak ada sensor di Facebook, jadi jika saya memasangnya di sana, banyak orang yang bisa melihatnya.”
Aktivisme Tawa
Gawish merupakan bagian dari gerakan global yang menggunakan humor untuk membahas hal-hal yang sangat serius.
Humor sebagai alat politik disebut “laughtivism,” atau aktivisme tawa, sebuah frase yang diciptakan oleh Srdja Popovic, pendiri dan pemimpin gerakan mahasiswa yang menurunkan diktator Serbia Slobodan Milosevic pada 2000.
“Kekuatan laughtivism terletak pada kemampuan untuk mencairkan rasa takut -- yang merupakan darah kehidupan para diktator, membangun gerakan moral, dan menusuk para pemimpin yang tidak lagi bersentuhan dengan rakyat,” ujar Popovic.
Lembaga yang dimiliki Popovic, Pusat Aplikasi Aksi dan Strategi Tanpa Kekerasan (Center for Applied NonViolent Action and Strategies) telah mengajarkan para aktivis dari Mesir dan 49 negara lainnya mengenai aktivisme tawa dan beberapa teknik lainnya yang digunakan selama revolusi Serbia pada 2000.
Aktivisme tawa merupakan “suatu aktivitas yang dirancang untuk meletakkan penguasa dalam posisi di mana mereka tidak akan pernah menang, meski dengan respon apapun,” kata Popovic. Ia mengingat masa ketika para pemrotes Serbia meletakkan tong minyak bergambar wajah Milosevic di sebuah jalan yang padat, dan disediakan tongkat yang supaya orang-orang yang lewat dapat memukul tong tersebut.
”Foto lucu dua orang polisi yang berusaha keras mengangkat tong bergambar presiden ke atas mobil mereka dimuat semua koran esok harinya,” kenangnya.
Popovic mengatakan bahwa gerakan-gerakan massa saat ini, seperti Arab Spring di Mesir, mau menggunakan teknik-teknik yang tidak dapat dikatakan revolusioner pada periode 1970an dan 1980an yang menganggap gerakan mereka lebih serius.
“Seiring berjalannya waktu, gerakan-gerakan ini tidak boleh luput dari sorotan media dan perhatian publik, sehingga jika ingin terus mendapat perhatian, mereka harus kreatif,” tambah Popovic.
Masyarakat Mesir nampaknya tidak memiliki masalah dengan hal itu. Mereka telah menggunakan humor untuk menghindari sensor sejak kudeta militer 1952 menggulingkan kerajaan dan menekan kebebasan berbicara.
Revolusi tahun lalu telah melahirkan beragam bentuk proses yang kreatif. Di antara yang paling sukses adalah program parodi berita TV “Al Bernameg” dan “El Koshari”, koran satir daring [online] yang mirip dengan “The Onion” yang populer di Amerika Serikat, yang menertawakan kehidupan nyata dengan judul-judul dan cerita yang ironis.
Pembawa acara ”Al Bernameg”, Bassem Youssef, sering dibandingkan dengan Jon Stewart, komedian pembawa acara “The Daily Show”, program televisi satir di Amerika yang mengundang tawa karena berita-berita yang dilebih-lebihkan yang mencela situasi politik dan sosial yang menggelikan.
Youssef mengatakan bahwa ia menulis materinya berdasarkan peristiwa-peristiwa politik di Mesir, sebuah proses kreatif yang diinspirasikan oleh Arab Spring ketika gerakan itu menyapu negara tersebut tahun lalu.
“Cara terbaik untuk melucuti seorang disaster dan rejimnya yang fasis adalah dengan mencemoohnya, dan ketika Anda melakukannya, batas-batas ketakutan mulai luluh. Jadi lelucon dan humor politik merupakan garis pertahanan pertama untuk melawan kediktatoran,” ujar Youssef.
Mengejek SCAF
Meski Mubarak sudah tidak berkuasa lagi, Samer Shehata, profesor bidang politik Arab di Georgetown University di Washington, mengatakan bahwa masih ada tempat untuk komedi.
“Humor, lelucon politik dan grafiti masih efektif digunakan, terutama grafiti yang digunakan oleh kaum revolusioner untuk melawan Mahkamah Angkatan Bersenjata (SCAF),” ujar Sheta. “Sindirannya pedas, pahit dan efektif dalam mengekspos beberapa kebohongan SCAF dan sekutunya, dan mempersembahkan perspektif yang lebih kritis mengenai peristiwa-peristiwa politik terakhir.”
Shehata mengatakan bahwa tiadanya Mubarak membuat media pemerintah memiliki majikan baru, yaitu SCAF, yang membatasi kekuasaan presiden baru Mesir.
Gawish menyatakan bahwa sulit bagi seniman sepertinya, yang senang mengejek siapapun, untuk bekerja di media tradisional.
“Koran yang dikelola pemerintah tidak suka kartun yang menyentuh politik. Koran milik pihak oposisi ingin kartun yang mengkritik pemerintah setiap saat. Koran politik Islam membolehkan apa saja kecuali mengkritik Islam politis. Mereka ingin Anda menggambar kartun yang menunjukkan bahwa mereka orang yang paling benar,” ujarnya.
Media sosial menawarkan ruang baru untuk komentator seperti Gawish. Sebuah bidang yang dulu didominasi satiris dan artis profesional sekarang dipenuhi kelompok amatir bersenjatakan komputer, program Photoshop dan humor yang cerdas.
Salah satu gambar yang sering muncul di Internet adalah gambar hitam putih pemain basket Cina Yao Ming, yang sudah populer di negara Barat untuk digunakan untuk mengabaikan komentar seseorang dalam diskusi daring. Para pembanyol yang kreatif mengadaptasi gambar tersebut untuk merepresentasikan masyarakat Mesir, menempatkannya pada situasi yang humoris, dan seringkali memasangkannya dengan teks yang menusuk penguasa Mesir.
“Yang menarik kaum muda Mesir untuk sering memakai [gambar tersebut] adalah karena ekspresi wajahnya sama persis dengan ekpresi normal anak muda di Mesir,” jelas Gawish. “Gambar ini mengilustrasikan seruan dan sarkasme, sehingga mudah bagi kaum muda di Mesir untuk menggunakannya guna mengekspresikan perasaan-perasaan mereka.”
Banyak orang Mesir, baik tua maupun muda, bingung dengan situasi politik. Dengan misteri yang terus menyelimuti kematian Mubarak, parlemen ada dalam kekalutan, dan militer serta presiden memperebutkan kekuasaan, seniman humor politik seperti Gawish tidak akan kekurangan materi dalam waktu dekat. (Kate Woodsome, Mohamed Elshinnawi)
“Ketika berita tersebut muncul, banyak orang yang tidak mengerti apa makna pernyataan tersebut. Beberapa orang mungkin tahu arti kematian klinis, tapi tidak mengerti istilah ‘ranjang kematian’, jadi saya mencoba memakai hal-hal tersebut dalam kartun-kartun saya, yang ternyata memancing banyak reaksi,” ujarnya.
Dulu Gawish sering memasang kartun-kartun anti Mubarak di dinding atau di gedung-gedung daripada mendapat risiko ditahan karena bergabung dengan demonstrasi di jalanan. Dengan tumbuhnya media sosial, gambar-gambarnya yang dianggap subversif sering dipasang di jaringan media sosial, dan penggemar-penggemarnya yang setia menyebarkannya lewat Facebook, Twitter dan Google Plus.
“Jika saya kirim kartun bernuansa politik ini ke koran-koran pemerintah, tentu saja akan disensor atau tidak akan dimuat,” kata Gawish. “Tidak ada sensor di Facebook, jadi jika saya memasangnya di sana, banyak orang yang bisa melihatnya.”
Aktivisme Tawa
Gawish merupakan bagian dari gerakan global yang menggunakan humor untuk membahas hal-hal yang sangat serius.
Humor sebagai alat politik disebut “laughtivism,” atau aktivisme tawa, sebuah frase yang diciptakan oleh Srdja Popovic, pendiri dan pemimpin gerakan mahasiswa yang menurunkan diktator Serbia Slobodan Milosevic pada 2000.
“Kekuatan laughtivism terletak pada kemampuan untuk mencairkan rasa takut -- yang merupakan darah kehidupan para diktator, membangun gerakan moral, dan menusuk para pemimpin yang tidak lagi bersentuhan dengan rakyat,” ujar Popovic.
Lembaga yang dimiliki Popovic, Pusat Aplikasi Aksi dan Strategi Tanpa Kekerasan (Center for Applied NonViolent Action and Strategies) telah mengajarkan para aktivis dari Mesir dan 49 negara lainnya mengenai aktivisme tawa dan beberapa teknik lainnya yang digunakan selama revolusi Serbia pada 2000.
Aktivisme tawa merupakan “suatu aktivitas yang dirancang untuk meletakkan penguasa dalam posisi di mana mereka tidak akan pernah menang, meski dengan respon apapun,” kata Popovic. Ia mengingat masa ketika para pemrotes Serbia meletakkan tong minyak bergambar wajah Milosevic di sebuah jalan yang padat, dan disediakan tongkat yang supaya orang-orang yang lewat dapat memukul tong tersebut.
”Foto lucu dua orang polisi yang berusaha keras mengangkat tong bergambar presiden ke atas mobil mereka dimuat semua koran esok harinya,” kenangnya.
Popovic mengatakan bahwa gerakan-gerakan massa saat ini, seperti Arab Spring di Mesir, mau menggunakan teknik-teknik yang tidak dapat dikatakan revolusioner pada periode 1970an dan 1980an yang menganggap gerakan mereka lebih serius.
“Seiring berjalannya waktu, gerakan-gerakan ini tidak boleh luput dari sorotan media dan perhatian publik, sehingga jika ingin terus mendapat perhatian, mereka harus kreatif,” tambah Popovic.
Masyarakat Mesir nampaknya tidak memiliki masalah dengan hal itu. Mereka telah menggunakan humor untuk menghindari sensor sejak kudeta militer 1952 menggulingkan kerajaan dan menekan kebebasan berbicara.
Revolusi tahun lalu telah melahirkan beragam bentuk proses yang kreatif. Di antara yang paling sukses adalah program parodi berita TV “Al Bernameg” dan “El Koshari”, koran satir daring [online] yang mirip dengan “The Onion” yang populer di Amerika Serikat, yang menertawakan kehidupan nyata dengan judul-judul dan cerita yang ironis.
Pembawa acara ”Al Bernameg”, Bassem Youssef, sering dibandingkan dengan Jon Stewart, komedian pembawa acara “The Daily Show”, program televisi satir di Amerika yang mengundang tawa karena berita-berita yang dilebih-lebihkan yang mencela situasi politik dan sosial yang menggelikan.
Youssef mengatakan bahwa ia menulis materinya berdasarkan peristiwa-peristiwa politik di Mesir, sebuah proses kreatif yang diinspirasikan oleh Arab Spring ketika gerakan itu menyapu negara tersebut tahun lalu.
“Cara terbaik untuk melucuti seorang disaster dan rejimnya yang fasis adalah dengan mencemoohnya, dan ketika Anda melakukannya, batas-batas ketakutan mulai luluh. Jadi lelucon dan humor politik merupakan garis pertahanan pertama untuk melawan kediktatoran,” ujar Youssef.
Mengejek SCAF
Meski Mubarak sudah tidak berkuasa lagi, Samer Shehata, profesor bidang politik Arab di Georgetown University di Washington, mengatakan bahwa masih ada tempat untuk komedi.
“Humor, lelucon politik dan grafiti masih efektif digunakan, terutama grafiti yang digunakan oleh kaum revolusioner untuk melawan Mahkamah Angkatan Bersenjata (SCAF),” ujar Sheta. “Sindirannya pedas, pahit dan efektif dalam mengekspos beberapa kebohongan SCAF dan sekutunya, dan mempersembahkan perspektif yang lebih kritis mengenai peristiwa-peristiwa politik terakhir.”
Shehata mengatakan bahwa tiadanya Mubarak membuat media pemerintah memiliki majikan baru, yaitu SCAF, yang membatasi kekuasaan presiden baru Mesir.
Gawish menyatakan bahwa sulit bagi seniman sepertinya, yang senang mengejek siapapun, untuk bekerja di media tradisional.
“Koran yang dikelola pemerintah tidak suka kartun yang menyentuh politik. Koran milik pihak oposisi ingin kartun yang mengkritik pemerintah setiap saat. Koran politik Islam membolehkan apa saja kecuali mengkritik Islam politis. Mereka ingin Anda menggambar kartun yang menunjukkan bahwa mereka orang yang paling benar,” ujarnya.
Media sosial menawarkan ruang baru untuk komentator seperti Gawish. Sebuah bidang yang dulu didominasi satiris dan artis profesional sekarang dipenuhi kelompok amatir bersenjatakan komputer, program Photoshop dan humor yang cerdas.
Salah satu gambar yang sering muncul di Internet adalah gambar hitam putih pemain basket Cina Yao Ming, yang sudah populer di negara Barat untuk digunakan untuk mengabaikan komentar seseorang dalam diskusi daring. Para pembanyol yang kreatif mengadaptasi gambar tersebut untuk merepresentasikan masyarakat Mesir, menempatkannya pada situasi yang humoris, dan seringkali memasangkannya dengan teks yang menusuk penguasa Mesir.
“Yang menarik kaum muda Mesir untuk sering memakai [gambar tersebut] adalah karena ekspresi wajahnya sama persis dengan ekpresi normal anak muda di Mesir,” jelas Gawish. “Gambar ini mengilustrasikan seruan dan sarkasme, sehingga mudah bagi kaum muda di Mesir untuk menggunakannya guna mengekspresikan perasaan-perasaan mereka.”
Banyak orang Mesir, baik tua maupun muda, bingung dengan situasi politik. Dengan misteri yang terus menyelimuti kematian Mubarak, parlemen ada dalam kekalutan, dan militer serta presiden memperebutkan kekuasaan, seniman humor politik seperti Gawish tidak akan kekurangan materi dalam waktu dekat. (Kate Woodsome, Mohamed Elshinnawi)