Indonesia harus mengambil langkah konkrit untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, demikian ujar Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein dalam konferensi pers di Jakarta, mengakhiri kunjungan kerja selama tiga hari pada 5-7 Februari. Ia mengakui bahwa hal ini sulit dilakukan, tetapi tetap penting diupayakan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyoroti sembilan kasus utama pelanggaran HAM yang harus diselesaikan, di antaranya kasus 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa (1997-1998), peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999).
"Saya mendesak Jaksa Agung untuk menangani kasus ini khususnya dengan membawa pelaku ke pengadilan dan memprioritaskan pemberian ganti rugi yang sudah lama tertunda kepada korban," ujar Zeid.
Ia juga menyoroti sejumlah isu lain seperti pembahasan rancangan KUHP, Papua, diskriminasi kelompok minoritas; serta persekusi LGBT dan kelompok keagamaan minoritas, seperti GKI Yasmin, Ahmadiyah, dan Syiah.
Menurutnya, pandangan ekstremis yang dimainkan di arena politik dan semakin meningkatnya hasutan dengan menggunakan isu diskriminasi, kebencian atau kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia – termasuk di Aceh – sangat mengkhawatirkan.
Zeid mengatakan kelompok LGBT – lesbian, gay, biseksual dan transgender – di Indonesia menghadapi stigma, ancaman dan intimidasi yang terus meningkat. Retorika kebencian terhadap kelompok ini tambahnya sering dimanfaatkan untuk tujuan politik.
Zeid juga menyayangkan penerapan undang-undang penistaan agama yang menurutnya tidak jelas, karena kerap digunakan untuk menghukum kelompok minoritas. Ia berharap tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan kepercayaan, warna kulit, rasa atau jenis kelamin.
Lebih jauh komisaris tinggi ini menyampaikan keprihatinan atas semakin banyaknya laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh petugas keamanan, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan di Papua.
"Kami mendesak masyarakat Indonesia untuk maju bukan mundur dalam hal hak asasi manusia, dan menolak upaya untuk mengizinkan bentuk diskriminasi baru dalam undang-undang," tandas Zeid.
Selama kunjungannya, Zeid menemui berbagai pihak, mulai dari aktivis HAM, korban pelanggaran HAM, pemerintah, dan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Korban yang ditemui Zeid antara lain seorang ibu petani yang berbicara tentang hak atas tanah dan kekhawatiran atas kehilangan tanahnya karena industri ekstraktif, seorang laki-laki di Papua yang putranya tewas ditembak, seorang ibu yang kehilangan putranya dalam aksi kekerasan tahun 1998 di Yogyakarta, seorang ibu sepuh yang telah 53 tahun memperjuangkan keadilan setelah dipenjarakan dan dicap komunis, dan beberapa penganut agama minoritas yang menginginkan tempat untuk ibadah. Istri mendiang aktivis HAM Munir – Suciwati – juga ikut menemuinya.
Zeid mengatakan ia juga telah mendapat informasi soal perusahaan pertambangan dan kayu yang kerap menjadi sumber masalah pelanggaran HAM akhir-akhir ini. Ia mendorong dilakukannya dialog dengan masyarakat adat lokal dan warga setempat yang terkena dampak proyek tersebut.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan sedianya pemerintah tidak menjadikan kedatangan Komisaris Tinggi HAM PBB sebagai ajang diplomasi HAM semata, tetapi justru untuk mengambil langkah yang signifikan guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Ini pemerintah sudah dianggap positif memberikan ruang kepada komisi HAM PBB untuk datang, tetapi kita perlu pertanyakan motivasi apa, kalau motivasinya untuk pencitraan dan sebagai alat diplomasi kita sangat menyayangkan. Ini seharusnya lebih, caranya komisi HAM PBB ini mengeluarkan yang spesifik dan mengambil tindakan-tindakan untuk memastikan pemerintah Indonesia menjalankan kewajibannya dalam penyelelesaian pelanggaran HAM berat. Indonesia sendiri juga harus mengambil langkah aktif dengan menindaklanjuti sejumlah desakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM yang telah disampaikan kepada komisi HAM PBB," ungkap Yati.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menambahkan tidak ada satu negara pun memiliki sebuah sistem yang sempurna dalam memajukan dan menjamin perlindungan HAM. Karena itu, penguatan kerja sama antar negara dan badan-badan HAM regional amat penting.
"Perlindungan dan pemajuan HAM dalam tingkat nasional harus berlangsung secara sistematis dan mengalami kemajuan. Tindakan konkret di tingkat nasional mesti dilakukan dalam kerangka legislatif dan konstitusional harus didorong, Agenda-agenda HAM harus menjadi arus utama dan menjadi sentral di pemerintahan lokal, lembaga HAM nasional harus diperkuat, kampanye dan pendidikan HAM mesti diintensifkan," kata Retno.
Kunjungan Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein ke Indonesia ini bersamaan dengan peringatan 70 tahun deklarasi universal HAM PBB, sekaligus 25 tahun peringatan Deklarasi Wina dan Program Aksi. Setelah Indonesia, Zeid akan ke Papua Nugini dan Fiji.
Pemerintah Indonesia juga mengundang Zeid untuk mengunjungi Papua, meskipun belum ada rincian lain tentang tawaran ini. [fw/em]