JAKARTA —
Sepuluh orang anggota jemaat Syiah Sampang, Madura, mendatangi kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Selasa (18/6), untuk meminta organisasi itu memperjuangkan nasib anak mereka agar dapat terus mengenyam pendidikan.
Ahmad Rosyid, salah satu jemaat Syiah tersebut, mengatakan kondisi anak-anak mereka sangat memprihatinkan karena tidak dapat mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi haknya karena masih berada di pengungsian, ujarnya.
Selama 10 bulan berada di pengungsian, lanjutnya, pemerintah daerah memang sempat mendirikan tenda dan mendatangkan guru untuk mengajar anak-anak yang tinggal di pengungsian tetapi kondisi tersebut hanya berlangsung tiga bulan.
Saat ini terdapat 42 anak dari 158 orang yang tinggal di pengungsian. Selain itu lanjutnya, bantuan dari pemerintah daerah seperti makanan, minuman dan air telah dihentikan dan itu menjadi penderitaan tersendiri khususnya bagi anak-anak.
“Anak-anak dan orangtua meminta kembali ke kampung halaman karena di GOR (tempat mengunsi) itu nganggur katanya, tidak berpendidikan, jadi rugi. Jadi manusia tidak berpendidikan kan rugi. Ke KPAI, meminta perlindungan untuk anak-anak itu yang apa yang dibutuhkan anak-anak yang ada di pengungsian, termasuk pendidikan,” ujar Rosyid.
Ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak–anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. Mengabaikan hak-hak mereka merupakan pelanggaran, ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, wajib menjamin pemenuhan hak anak-anak muslim Syiah Sampang baik untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan serta jaminan sosial lainnya. Konstitusi menjamin bahwa pemenuhan hak anak adalah kewajiban negara apapun keyakinannya, ujar Badriyah.
KPAI yang merupakan lembaga negara, tambah Badriyah, juga akan melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah setempat terkait masalah ini.
“Anak-anak dari kelompok minoritas harus mendapatkan perlindungan khusus. Nah perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan saranan dan prasaranan untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri,” ujarnya.
Salah satu pendamping warga Syiah Sampang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Universalia Hertasning Ichlas, mengatakan pemerintah daerah setempat baru menyediakan sarana dan prasarana yang memadai jika ada pejabat yang datang.
Jika para pejabat itu pulang, maka tambahnya, sarana dan prasarana tersebut juga langsung tidak ada. Warga Syiah Sampang, kata Hertasning, berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan menyelesaikan masalah ini karena hingga kini tidak ada solusi yang baik yang diberikan pemerintah daerah kepada warga Syiah Sampang.
Mereka berharap pemerintah segera memulangkan kembali mereka ke kampung halaman mereka, ujarnya.
Presiden Yudhoyono, kata Hertasning, harus membuktikan pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa tidak akan ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
“Semenjak dia pulang dari mendapatkan award (Negarawan Dunia di Amerika), dia mengatakan tidak akan ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Dan ini momentum presiden SBY, istilahnya mengambil kredit dari masalah ini. Apakah presiden itu sungguh-sungguh? Pantaskan dia menerima award itu? Ataukan itu sebenarnya lagi-lagi adalah suatu yang kita bisa katakan permainan citra presiden SBY,” ujarnya.
Ahmad Rosyid, salah satu jemaat Syiah tersebut, mengatakan kondisi anak-anak mereka sangat memprihatinkan karena tidak dapat mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi haknya karena masih berada di pengungsian, ujarnya.
Selama 10 bulan berada di pengungsian, lanjutnya, pemerintah daerah memang sempat mendirikan tenda dan mendatangkan guru untuk mengajar anak-anak yang tinggal di pengungsian tetapi kondisi tersebut hanya berlangsung tiga bulan.
Saat ini terdapat 42 anak dari 158 orang yang tinggal di pengungsian. Selain itu lanjutnya, bantuan dari pemerintah daerah seperti makanan, minuman dan air telah dihentikan dan itu menjadi penderitaan tersendiri khususnya bagi anak-anak.
“Anak-anak dan orangtua meminta kembali ke kampung halaman karena di GOR (tempat mengunsi) itu nganggur katanya, tidak berpendidikan, jadi rugi. Jadi manusia tidak berpendidikan kan rugi. Ke KPAI, meminta perlindungan untuk anak-anak itu yang apa yang dibutuhkan anak-anak yang ada di pengungsian, termasuk pendidikan,” ujar Rosyid.
Ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak–anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. Mengabaikan hak-hak mereka merupakan pelanggaran, ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, wajib menjamin pemenuhan hak anak-anak muslim Syiah Sampang baik untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan serta jaminan sosial lainnya. Konstitusi menjamin bahwa pemenuhan hak anak adalah kewajiban negara apapun keyakinannya, ujar Badriyah.
KPAI yang merupakan lembaga negara, tambah Badriyah, juga akan melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah setempat terkait masalah ini.
“Anak-anak dari kelompok minoritas harus mendapatkan perlindungan khusus. Nah perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan saranan dan prasaranan untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri,” ujarnya.
Salah satu pendamping warga Syiah Sampang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Universalia Hertasning Ichlas, mengatakan pemerintah daerah setempat baru menyediakan sarana dan prasarana yang memadai jika ada pejabat yang datang.
Jika para pejabat itu pulang, maka tambahnya, sarana dan prasarana tersebut juga langsung tidak ada. Warga Syiah Sampang, kata Hertasning, berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan menyelesaikan masalah ini karena hingga kini tidak ada solusi yang baik yang diberikan pemerintah daerah kepada warga Syiah Sampang.
Mereka berharap pemerintah segera memulangkan kembali mereka ke kampung halaman mereka, ujarnya.
Presiden Yudhoyono, kata Hertasning, harus membuktikan pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa tidak akan ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
“Semenjak dia pulang dari mendapatkan award (Negarawan Dunia di Amerika), dia mengatakan tidak akan ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Dan ini momentum presiden SBY, istilahnya mengambil kredit dari masalah ini. Apakah presiden itu sungguh-sungguh? Pantaskan dia menerima award itu? Ataukan itu sebenarnya lagi-lagi adalah suatu yang kita bisa katakan permainan citra presiden SBY,” ujarnya.