JAKARTA —
Setelah menempuh perjalanan selama 15 hari bersepeda dari Surabaya, beberapa orang pengungsi korban penyerangan bulan Agustus 2012 di Sampang Madura akhirnya tiba di seberang Istana Merdeka, jalan Medan Merdeka Utara Jakarta, Minggu (16/6).
Muhamad Rosid (24) salah seorang warga Syiah Sampang menjelaskan, dirinya bersama 10 orang rekannya mewakili ratusan pengungsi Sampang, bersepeda ke Jakarta untuk menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mereka segera dikembalikan ke kampung halaman mereka.
"Kita ke Jakarta, tuntutan kami mewakili ratusan pengungsi Sampang menuntut kepulangan kami ke Sampang. Di pengungsian itu tidak enak. Kalo di kampung 'kan bisa kerja, bisa tanam singkong, kacang panjang dan padi. Kebebasan beragama harus dilindungi oleh pemerintah. Agama apapun boleh hidup di dunia, dan dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Masing-masing mempuyai hak untuk meyakini keyakinannya," kata Rosid.
Muhamad Rosid menambahkan kondisi memprihatinkan ratusan pengungsi yang sementara ini tinggal di Gelanggang Olahraga di Sampang mulai terlihat, sejak pemerintah kabupaten Sampang Jawa Timur menghentikan bantuan pangan kepada para pengungsi sejak 1 Mei lalu.
"(Pemerintah) Stop bantuan sejak 1 Mei lalu. Lalu pada 20 Mei, pemerintah provinsi memberikan uang Rp 750 ribu perkepala untuk membeli beras lauk-pauk. Kalo anak-anak sekarang tidak sekolah tiga bulan belakangan ini, karena tidak ada guru. Ditambah, tidak adanya sekolah-sekolah umum yang mau menerima anak keluarga Syiah Sampang," tambahnya.
Kepala Divisi Advokasi Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sinung Karto menegaskan, negara harus bertanggung jawab atas warga Syiah Sampang yang masih mengungsi. Sinung menambahkan, para aktivis kemanusiaan terus membantu para pengungsi saat pemerintah daerah setempat menghentikan pasokan makanan.
"Menempatkan para korban di tempat pengungsian semestinya hak-hak di tempat pengungsian dijamin oleh pemerintah, tidak seperti sekarang ini. Pasokan makanan buat para pengungsi ini sempat terhenti, sehingga teman-teman di Jakarta dan Surabaya bersolidaritas memberikan makanan," kata Sinung.
Komisioner Komnas Perempuan Andi Yentriyani berpandangan negara justru melakukan pendekatan yang malah memecah belah masyarakat dengan solusi relokasi yang ditawarkan kepada para pengungsi.
"Indikasi bahwa dalam proses pencegahan penanganan maupun tindak lanjutnya ketika di pengungsian ini, pemerintah daerah tidak melakukan proses yang pro aktif untuk menuju sebuah kedamaian yang hakiki dan juga pembelajaran warga negara untuk saling menghormati kemerdekaan beragama," jelas ANdi Yentriyani. "Kami sebetulnya berharap, pemerintah daerah untuk tidak mengedepankan relokasi sebagai sebuah jawaban. Karena kita tau, di seluruh penanganan konflik di Indonesia, tidak pernah ada proses relokasi yang menyelesaikan masalah. Yang ada, orang-orang yang dianggap bermasalah ini dipingpong saja ke seluruh Indonesia. Seolah-olah mereka bukan warga negara Indonesia. Ini adalah bertata negara yang salah ya, yang akan meletakan Indonesia lebih terpecah belah," tambahnya.
Nasib ratusan orang pengungsi warga Syiah asal Dusun Nangkernang Desa Karang Gayam Kecamatan Omben, dan warga Desa Bluuran Kecamatan Karang Penang Kabupaten Sampang Jawa Timur, masih tidak jelas.
Mereka diusir dari desanya pada Agustus 2012 lalu oleh kelompok masyarakat yang tidak menghendaki keberadaan mereka. Para warga Syiah Sampang ini mengaku banyak kehilangan harta kekayaannya. Rumah mereka dibakar, dan kebebasan mereka dikekang. Hingga saat ini mereka belum dapat kembali ke rumahnya masing-masing dan terpaksa tinggal di pengungsian.
Muhamad Rosid (24) salah seorang warga Syiah Sampang menjelaskan, dirinya bersama 10 orang rekannya mewakili ratusan pengungsi Sampang, bersepeda ke Jakarta untuk menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mereka segera dikembalikan ke kampung halaman mereka.
"Kita ke Jakarta, tuntutan kami mewakili ratusan pengungsi Sampang menuntut kepulangan kami ke Sampang. Di pengungsian itu tidak enak. Kalo di kampung 'kan bisa kerja, bisa tanam singkong, kacang panjang dan padi. Kebebasan beragama harus dilindungi oleh pemerintah. Agama apapun boleh hidup di dunia, dan dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Masing-masing mempuyai hak untuk meyakini keyakinannya," kata Rosid.
Muhamad Rosid menambahkan kondisi memprihatinkan ratusan pengungsi yang sementara ini tinggal di Gelanggang Olahraga di Sampang mulai terlihat, sejak pemerintah kabupaten Sampang Jawa Timur menghentikan bantuan pangan kepada para pengungsi sejak 1 Mei lalu.
"(Pemerintah) Stop bantuan sejak 1 Mei lalu. Lalu pada 20 Mei, pemerintah provinsi memberikan uang Rp 750 ribu perkepala untuk membeli beras lauk-pauk. Kalo anak-anak sekarang tidak sekolah tiga bulan belakangan ini, karena tidak ada guru. Ditambah, tidak adanya sekolah-sekolah umum yang mau menerima anak keluarga Syiah Sampang," tambahnya.
Kepala Divisi Advokasi Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sinung Karto menegaskan, negara harus bertanggung jawab atas warga Syiah Sampang yang masih mengungsi. Sinung menambahkan, para aktivis kemanusiaan terus membantu para pengungsi saat pemerintah daerah setempat menghentikan pasokan makanan.
"Menempatkan para korban di tempat pengungsian semestinya hak-hak di tempat pengungsian dijamin oleh pemerintah, tidak seperti sekarang ini. Pasokan makanan buat para pengungsi ini sempat terhenti, sehingga teman-teman di Jakarta dan Surabaya bersolidaritas memberikan makanan," kata Sinung.
Komisioner Komnas Perempuan Andi Yentriyani berpandangan negara justru melakukan pendekatan yang malah memecah belah masyarakat dengan solusi relokasi yang ditawarkan kepada para pengungsi.
"Indikasi bahwa dalam proses pencegahan penanganan maupun tindak lanjutnya ketika di pengungsian ini, pemerintah daerah tidak melakukan proses yang pro aktif untuk menuju sebuah kedamaian yang hakiki dan juga pembelajaran warga negara untuk saling menghormati kemerdekaan beragama," jelas ANdi Yentriyani. "Kami sebetulnya berharap, pemerintah daerah untuk tidak mengedepankan relokasi sebagai sebuah jawaban. Karena kita tau, di seluruh penanganan konflik di Indonesia, tidak pernah ada proses relokasi yang menyelesaikan masalah. Yang ada, orang-orang yang dianggap bermasalah ini dipingpong saja ke seluruh Indonesia. Seolah-olah mereka bukan warga negara Indonesia. Ini adalah bertata negara yang salah ya, yang akan meletakan Indonesia lebih terpecah belah," tambahnya.
Nasib ratusan orang pengungsi warga Syiah asal Dusun Nangkernang Desa Karang Gayam Kecamatan Omben, dan warga Desa Bluuran Kecamatan Karang Penang Kabupaten Sampang Jawa Timur, masih tidak jelas.
Mereka diusir dari desanya pada Agustus 2012 lalu oleh kelompok masyarakat yang tidak menghendaki keberadaan mereka. Para warga Syiah Sampang ini mengaku banyak kehilangan harta kekayaannya. Rumah mereka dibakar, dan kebebasan mereka dikekang. Hingga saat ini mereka belum dapat kembali ke rumahnya masing-masing dan terpaksa tinggal di pengungsian.