Pasukan keamanan Iran melepaskan rentetan tembakan ke arah para pengunjuk rasa anti-pemerintah di Javanrud, kota Kurdi di barat Iran, hari Senin (22/11) saat pemakaman dua orang yang terbunuh sehari sebelumnya. Insiden hari Senin itu menewaskan sedikitnya lima orang.
Dalam video yang beredar di dunia maya, puluhan pengunjuk rasa berlindung di gang-gang dari rentetan tembakan yang menggema di jalanan.
Beberapa orang tampak terkapar tak bergerak dan berlumuran darah di jalanan, sementara yang lain berkumpul di rumah sakit setempat untuk mendonorkan darah.
Dalam video berbeda, para pelayat meneriakkan nama remaja laki-laki berusia 16 tahun, Bahaedin, yang ditembak mati sehari sebelumnya. Mereka menyebut Bahaedin “martir Kurdistan.”
Komisioner Tinggi HAM PBB pada Selasa (22/11) mengatakan kenaikan jumlah kematian akibat aksi unjuk rasa di Iran, yang ditanggapi dengan mengerasnya tindakan aparat keamanan, menggarisbawahi kritisnya situasi di negara itu.
Juru Bicara Jeremy Laurence, yang menyampaikan pernyataan komisioner tinggi Volker Türk, menambahkan, dua remaja pria berusia 16 tahun termasuk di antara enam orang yang tewas selama akhir pekan.
Dalam konferensi pers di Jenewa, Laurence mengatakan bahwa para pengunjuk rasa tewas di 25 dari 31 provinsi yang ada di Iran, termasuk lebih dari 100 orang di Sistan dan Baluchistan.
“Sumber resmi Iran juga telah melaporkan bahwa beberapa anggota pasukan keamanan tewas sejak dimulainya gelombang unjuk rasa,” tambahnya.
Laurence mengatakan, lebih dari 40 orang tewas di kota-kota yang sebagian besarnya berpenduduk Kurdi selama seminggu terakhir, menurut sumber yang tidak disebutkan.
Laurence menuturkan, “Yang menjadi keprihatinan khusus adalah pihak berwenang yang secara terang-terangan menolak mengembalikan jenazah para korban tewas kepada keluarga mereka, atau mengizinkan pengembalian jenazah dengan syarat pihak keluarga tidak berbicara kepada media, atau setuju untuk menyampaikan narasi yang keliru mengenai penyebab kematian [mereka].”
Laurence mendesak pihak berwenang Iran untuk membebaskan pengunjuk rasa yang ditahan, mencabut hukuman mati dan memberlakukan moratorium hukuman mati.
Gelombang unjuk rasa di Iran, yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan setelah ditangkap polisi moral Iran karena dinilai berpakaian “tidak pantas”, pada 16 September lalu, berkembang menjadi salah satu tantangan terbesar dan berkelanjutan yang dihadapi negara teokrasi itu semenjak bulan-bulan penuh kekacauan pascarevolusi Islam tahun 1979.
Sedikitnya 328 orang tewas dan 14.825 lainnya ditangkap selama unjuk rasa, menurut Human Rights Activists in Iran (HRAI), kelompok yang memantau unjuk rasa yang sudah berlangsung selama 54 hari itu.
Selama berminggu-minggu pemerintah Iran tetap bungkam soal jumlah korban jiwa, sementara media pemerintah secara kontrafaktual mengklaim bahwa pasukan keamanan tidak membunuh satu orang pun dalam gelombang protes itu.
Teheran menyalahkan negara-negara asing yang memusuhinya dan agen-agen mereka karena mendalangi gelombang unjuk rasa tersebut. [rd/em]
Forum