Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Purn. Kivlan Zein tidak memenuhi panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) baru-baru ini sebagai saksi terkait dengan keberadaan 13 aktivis yang diculik tahun 1997/1998 dan masih hilang hingga saat ini.
Dia hanya mengutus kuasa hukumnya datang ke Komnas HAM, meski sebelumnya mengaku mengetahui di mana para korban yang diculik, dieksekusi dan dibuang itu.
Juru Bicara Tim Pencarian 13 aktivis 97/98 Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, keterangan Kivlan sangat penting untuk mengungkap keberadaan 13 orang tersebut. Untuk itu, lembaganya akan kembali memanggil Kivlan Zein minggu depan, ujarnya.
Apabila Kivlan tetap tidak datang, tambahnya, Komnas HAM akan meminta penetapan dari ketua pengadilan untuk permintaan pemanggilan paksa.
“Bahwa yang bersangkutan hari ini belum datang, Komnas HAM kemudian akan melakukan upaya sesuai prosedur yang berlaku untuk melakukan pemanggilan kedua. Apabila tidak datang lagi, Komnas akan melakukan atau melaksanakan pasal 95 Undang-undang Hak asasi manusia dimana kemudian Komnas HAM akan meminta penetapan dari ketua pengadilan untuk permintaan pemanggilan paksa,” ujarnya.
Pengacara Kivlan, Abdurrahman Yaqub menyatakan Kivlan sengaja tidak mau hadir lantaran merasa sudah pernah dimintai keterangan saat penyelidikan Komnas HAM pada 2006. Dia baru mau hadir untuk memberikan keterangan bila di pengadilan, ujarnya.
“Persoalannya sekarang ini mau nggak pemerintahan ini menjalankan dulu berkas yang sudah ada menjadi sebuah proses peradilan. Berkasnya kan sudah ada semua. Memang ada kejadian yang tidak beres ini. Dia siap kalau di pengadilan. Untuk sebuah kebenaran dan keadilan dia siap untuk negara ini,” ujar Abdurrahman.
Komnas HAM telah menyerahkan kepada Kejaksaan Agung 10 berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan hanya hanya tiga yang ditindaklanjuti yaitu kasus Tanjung Priok, Abepura dan Kasus kekerasan Referendum Timor Timur.
Dari tujuh berkas yang belum ditindaklanjuti Kejaksaan diantaranya kasus penghilangan orang secara paksa dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
Wakil Ketua Tim Komnas HAM Nur Kholis mengungkapkan pemanggilan Komnas HAM terhadap Kivlan karena dia mengaku mengetahui keberadaan 13 korban yang masih hilang.
Dewan Perwakilan Rakyat pernah mengeluarkan rekomendasi soal kasus penghilangan orang secara paksa ini diantaranya meminta Presiden untuk segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) soal pengadilan HAM Ad Hoc dan mencari keberadaan 13 korban yang hilang pada 97/98.
Komnas HAM menilai pemerintah tidak mempunyai kemauan politik yang kuat untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk kasus penghilangan orang secara paksa.
“Pemerintah ini terlalu lambat, coba diselesaikan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kalau semuanya jelas dan terang masa lalu itu kita jelas kok siapa yang pahlawan siapa yang tidak. Menurut saya kita memang menghadapi situasi yang tidak maju dalam sisi penegakan apalagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengungkapkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc belum bisa dilakukan saat ini karena hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum lengkap.
Menanggapi hal itu, Komnas HAM menyatakan hasil penyelidikan Komnas HAM telah lengkap dan sekarang giliran Kejaksaan Agung yang menindaklanjutinya.
Dia hanya mengutus kuasa hukumnya datang ke Komnas HAM, meski sebelumnya mengaku mengetahui di mana para korban yang diculik, dieksekusi dan dibuang itu.
Juru Bicara Tim Pencarian 13 aktivis 97/98 Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, keterangan Kivlan sangat penting untuk mengungkap keberadaan 13 orang tersebut. Untuk itu, lembaganya akan kembali memanggil Kivlan Zein minggu depan, ujarnya.
Apabila Kivlan tetap tidak datang, tambahnya, Komnas HAM akan meminta penetapan dari ketua pengadilan untuk permintaan pemanggilan paksa.
“Bahwa yang bersangkutan hari ini belum datang, Komnas HAM kemudian akan melakukan upaya sesuai prosedur yang berlaku untuk melakukan pemanggilan kedua. Apabila tidak datang lagi, Komnas akan melakukan atau melaksanakan pasal 95 Undang-undang Hak asasi manusia dimana kemudian Komnas HAM akan meminta penetapan dari ketua pengadilan untuk permintaan pemanggilan paksa,” ujarnya.
Pengacara Kivlan, Abdurrahman Yaqub menyatakan Kivlan sengaja tidak mau hadir lantaran merasa sudah pernah dimintai keterangan saat penyelidikan Komnas HAM pada 2006. Dia baru mau hadir untuk memberikan keterangan bila di pengadilan, ujarnya.
“Persoalannya sekarang ini mau nggak pemerintahan ini menjalankan dulu berkas yang sudah ada menjadi sebuah proses peradilan. Berkasnya kan sudah ada semua. Memang ada kejadian yang tidak beres ini. Dia siap kalau di pengadilan. Untuk sebuah kebenaran dan keadilan dia siap untuk negara ini,” ujar Abdurrahman.
Komnas HAM telah menyerahkan kepada Kejaksaan Agung 10 berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan hanya hanya tiga yang ditindaklanjuti yaitu kasus Tanjung Priok, Abepura dan Kasus kekerasan Referendum Timor Timur.
Dari tujuh berkas yang belum ditindaklanjuti Kejaksaan diantaranya kasus penghilangan orang secara paksa dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
Wakil Ketua Tim Komnas HAM Nur Kholis mengungkapkan pemanggilan Komnas HAM terhadap Kivlan karena dia mengaku mengetahui keberadaan 13 korban yang masih hilang.
Dewan Perwakilan Rakyat pernah mengeluarkan rekomendasi soal kasus penghilangan orang secara paksa ini diantaranya meminta Presiden untuk segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) soal pengadilan HAM Ad Hoc dan mencari keberadaan 13 korban yang hilang pada 97/98.
Komnas HAM menilai pemerintah tidak mempunyai kemauan politik yang kuat untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk kasus penghilangan orang secara paksa.
“Pemerintah ini terlalu lambat, coba diselesaikan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kalau semuanya jelas dan terang masa lalu itu kita jelas kok siapa yang pahlawan siapa yang tidak. Menurut saya kita memang menghadapi situasi yang tidak maju dalam sisi penegakan apalagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengungkapkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc belum bisa dilakukan saat ini karena hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum lengkap.
Menanggapi hal itu, Komnas HAM menyatakan hasil penyelidikan Komnas HAM telah lengkap dan sekarang giliran Kejaksaan Agung yang menindaklanjutinya.