Media-media di Indonesia jarang sekali memberi ruang kepada kelompok minoritas gender LGBT. Sekalinya muncul di media, hampir dapat dipastikan berita-berita yang muncul bernada negatif. LGBT baru muncul ketika jadi korban tindakan kriminal.
Ryan Korbarri dari Arus Pelangi menyatakan, pihaknya sangat hati-hati ketika ingin mengangkat sebuah peristiwa ke media massa. Sebab kemunculan di media belum tentu berdampak positif.
“Pemberitaan media itu bisa jadi pisau bermata dua, itu bisa jadi membantu proses penanganan (kasus) kami, atau justru malah tidak membantu penanganan kami,” jelasnya dalam sebuah diskusi online, Senin (11/5) sore.
Dia memberi contoh, ketika seorang transpuan di Cilincing, Jakarta, menjadi korban kejahatan dibakar hidup-hidup dan tewas, banyak pemberitaan yang keliru. Karena itu, Ryan mengatakan, pihaknya harus mengklarifikasi ke banyak pihak.
“Ternyata pemberitaan di media itu tidak sesuai dengan pendampingan yang kami lakukan. Sehingga pemberitaan di media bilangnya apa, lalu sebenarnya kasus itu berjalan dengan baik, begitu-begitu—itu sebenarnya sangat menyulitkan tim penanganan kasus. Sehingga kami harus klarifikasi ke banyak pihak sebenarnya kasus ini berjalan dengan baik itu kami harus klarifikasi,” jelasnya.
Survei Tunjukkan Media Cenderung Tidak Berimbang
Survei AJI Indonesia pada 2015 tentang pemberitaan LGBT di Indonesia menemukan bahwa media memberitakan LGBT "dengan mengedepankan unsur sensasional dan judul bombastis". Media pun dinilai masih "mengaburkan antara orientasi gender dan identitas gender".
Survei atas 20 media cetak dan online pada Juli-Agustus 2015 itu mengungkap kemunculan berita-berita yang tidak berimbang dan melakukan pelabelan. Hal ini diduga terjadi karena kurangnya pemahaman penulis tentang keberagaman gender.
Oleh karena itu pada 2016, AJI Indonesia mengeluarkan imbauan kepada jurnalis untuk mematuhi asas keberimbangan ketika memberitakan kelompok minoritas seksual. AJI mengimbau insan pers tunduk pada pasal-pasal yang diatur UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, maupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012.
Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengatur bahwa : “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Situasi tersebut diamini oleh Lolita dari Rombongan Jaman Milenial, organisasi minoritas gender. Menurutnya, pemberitaan media yang bias telah melanggengkan stigma di masyarakat. Apalagi, tambah dia, ada sebagian individu LGBT yang mengekspresikan dirinya dengan cara yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial.
“Hal itu menggiring opini publik untuk bisa mengeneralisir bahwa ternyata LGBT itu identik dengan perilaku seksual yang buas,” tambahnya.
Sementara Ino Daanoe dari Komunitas Sehati Makassar (KSM) menilai hal itu berakar dari belum belum dipahaminya hak asasi manusia dan juga SOGIE (orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender) oleh masyarakat luas. Hal itu tercermin dalam pemberitaan media yang kerap menyudutkan.
Harapan Komunitas LGBT pada Insan Pers
Dia mengakui sebagian media alternatif telah memberitakan isu LGBT dengan perspektif yang baik. Hal itu, harus diperluas supaya semakin banyak media arus utama yang menerbitkan pemberitaan berkualitas. Dia mendorong jurnalis untuk memegang teguh prinsip-prinsip kerjanya.
“Bahwa media itu harusnya mempertahankan kaidah-kaidah jurnalismenya. Misalkan cover both sides, membawa perdamaian, membawa kesejukan kepada orang, dan membawa informasi yang produktif ke masyarakat,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama Citra Farera dari Jaringan Transgender Indonesia (JTID) mendorong media untuk juga mengutamakan pemberitaan yang humanis. Media juga jangan hanya berfokus pada individu LGBT yang sudah memiliki prestasi.
“Sehingga masyarakat saat membaca hasil dari penulisan media itu akan beranggapan bahwa waria dan LGBT juga bagian dari warga negara. Bukan artinya dia punya privilese dan harus punya prestasi yang cukup tinggi sehingga dia bisa di-publish,” harapnya.
Namun dia menyadari, melawan stigma di media massa tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Dan itu perlu kerjasama yang cukup baik, koordinasi, dan butuh proses yang cukup panjang. Sehingga ini akan kita bekerja bersama-sama,” tutupnya.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) pada 2013 mengeluarkan pedoman jurnalisme keberagaman yang bisa diterapkan ketika memberitakan kelompok minoritas.
Prinsip jurnalisme keberagaman adalah berpihak pada keberagaman dan perbedaan; berpihak pada korban; berpihak pada minoritas; sensitif gender; menjunjung HAM; dan berperspektif jurnalisme damai. Lembaga ini rutin melakukan pelatihan terhadap wartawan di berbagai daerah dalam pemberitaan isu gender dan minoritas. [rt/em]