BANDUNG —
Komunitas musik underground kota Bandung memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap 28 Oktober dengan berbagai aktivitas, termasuk diskusi, pertunjukan musik dan lokakarya untuk membuat gaya rambut mohawk yang merupakan ciri khas komunitas tersebut.
Acara peringatan itu diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) di kampus Jl. Dipati Ukur, Bandung, dan melibatkan sekitar 300 anggota komunitas underground – komunitas pencinta aliran musik cadas death metal, punk dan hardcore.
Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, universitas itu sengaja memilih memperingati momentum Sumpah Pemuda bersama komunitas underground karena ingin mengubah pandangan tentang komunitas tersebut, yang mungkin dianggap ugal-ugalan.
Menurutnya, selama ini selalu ada jarak sosial terhadap komunitas tersebut, padahal komunitas underground di Bandung merupakan komunitas terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jerman, ujarnya.
“Kita ingin banyak belajar, oleh karena itu kita mengajak juga beberapa teman dari berbagai unsur. Ternyata menarik juga. Misalnya mereka punya prinsip ‘DIY’, ‘Do It Yourself’. Artinya mereka adalah suatu kelompok yang lebih mementingkan keswadayaan, kemandirian. Nah, hal-hal yang semacam itu kan orang-orang tidak tahu. Dan ternyata bahwa baju dan segala macam itu hanya sebetulnya mode saja, sebagai bagian dari itu. Kita lihat di luarnya saja, mungkin di dalamnya kita perlu mengetahui lebih banyak,” ujarnya Senin (28/10).
Komunitas underground memang mengedepankan kemandirian, menghasilkan karya secara swadaya, karena ingin mempertahankan kontrol terhadap kepemilikan karya. Mereka mengusahakan sendiri sistem dan berbagai sarana untuk mendukung penciptaan karyanya, seperti memproduksi rekaman sendiri, mendistribusikan, dan membangun jaringan distribusi sendiri.
Kimung, seorang sejarawan muda yang khusus meneliti tentang perkembangan komunitas underground di Bandung mengatakan, komunitas ini sudah berdiri di kota itu sejak 1960. Komunitas itu terus berkembang dan bertambah anggotanya hingga kini, ujarnya.
“Pertama kali muncul di Bandung ketika musik pop direfleksi oleh Orde Lama. Kemudian terus bertransformasi. Sedangkan yang identik dengan underground-nya sendiri muncul sekitar awal 1990-an melalui komunitas pecinta musik metal, pecinta musik punk, hardcore, dan musik ekstrem lainnya,” ujarnya.
Anggota komunitas underground di Bandung saat ini telah mencapai 40 ribu orang. Namun demikian, pengakuan terhadap identitas komunitas ini dari masyarakat dalam negeri masih minim. Pengakuan justru banyak muncul dari luar negeri, sehingga beberapa kelompok musik underground asal Bandung kini telah mendunia dan lebih dikenal oleh pecintanya di luar negeri, menurut Budi Dalton, seorang musisi yang juga anggota komunitas underground.
“Identitas nampak karena adanya pengakuan. Nah, pengakuan ini yang sangat disayangkan, dari kitanya (orang Indonesia) malah lemah. Dari luar negeri bahkan pengakuan ini sangat didapatkan oleh teman-teman (underground) ini. Sehingga tidak asing lagi beberapa kelompok dari teman-teman ini yang memang sudah mendunia,” ujarnya.
Acara peringatan itu diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) di kampus Jl. Dipati Ukur, Bandung, dan melibatkan sekitar 300 anggota komunitas underground – komunitas pencinta aliran musik cadas death metal, punk dan hardcore.
Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, universitas itu sengaja memilih memperingati momentum Sumpah Pemuda bersama komunitas underground karena ingin mengubah pandangan tentang komunitas tersebut, yang mungkin dianggap ugal-ugalan.
Menurutnya, selama ini selalu ada jarak sosial terhadap komunitas tersebut, padahal komunitas underground di Bandung merupakan komunitas terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jerman, ujarnya.
“Kita ingin banyak belajar, oleh karena itu kita mengajak juga beberapa teman dari berbagai unsur. Ternyata menarik juga. Misalnya mereka punya prinsip ‘DIY’, ‘Do It Yourself’. Artinya mereka adalah suatu kelompok yang lebih mementingkan keswadayaan, kemandirian. Nah, hal-hal yang semacam itu kan orang-orang tidak tahu. Dan ternyata bahwa baju dan segala macam itu hanya sebetulnya mode saja, sebagai bagian dari itu. Kita lihat di luarnya saja, mungkin di dalamnya kita perlu mengetahui lebih banyak,” ujarnya Senin (28/10).
Komunitas underground memang mengedepankan kemandirian, menghasilkan karya secara swadaya, karena ingin mempertahankan kontrol terhadap kepemilikan karya. Mereka mengusahakan sendiri sistem dan berbagai sarana untuk mendukung penciptaan karyanya, seperti memproduksi rekaman sendiri, mendistribusikan, dan membangun jaringan distribusi sendiri.
Kimung, seorang sejarawan muda yang khusus meneliti tentang perkembangan komunitas underground di Bandung mengatakan, komunitas ini sudah berdiri di kota itu sejak 1960. Komunitas itu terus berkembang dan bertambah anggotanya hingga kini, ujarnya.
“Pertama kali muncul di Bandung ketika musik pop direfleksi oleh Orde Lama. Kemudian terus bertransformasi. Sedangkan yang identik dengan underground-nya sendiri muncul sekitar awal 1990-an melalui komunitas pecinta musik metal, pecinta musik punk, hardcore, dan musik ekstrem lainnya,” ujarnya.
Anggota komunitas underground di Bandung saat ini telah mencapai 40 ribu orang. Namun demikian, pengakuan terhadap identitas komunitas ini dari masyarakat dalam negeri masih minim. Pengakuan justru banyak muncul dari luar negeri, sehingga beberapa kelompok musik underground asal Bandung kini telah mendunia dan lebih dikenal oleh pecintanya di luar negeri, menurut Budi Dalton, seorang musisi yang juga anggota komunitas underground.
“Identitas nampak karena adanya pengakuan. Nah, pengakuan ini yang sangat disayangkan, dari kitanya (orang Indonesia) malah lemah. Dari luar negeri bahkan pengakuan ini sangat didapatkan oleh teman-teman (underground) ini. Sehingga tidak asing lagi beberapa kelompok dari teman-teman ini yang memang sudah mendunia,” ujarnya.