Islamofobia memang bukan hal baru di Amerika Serikat. Tapi isunya semakin besar pasca pemilihan Donald Trump, yang kerap menyuarakan retorika anti-Muslim selama kampanye pemilihan presiden.
Hal ini menjadi kekhawatiran bagi banyak Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Amerika.
"Di kota yang sangat kecil itu, (Islamofobia) sering terjadi, mereka melihat kita sebagai imigran, bukan orang sini, mereka tabrak aja kita di supermarket, itu sudah biasa," kata Syntia Hadiningtyas, peserta dari Midland, Texas.
Insiden semacam itu tidak hanya terjadi sekali dua kali.
Data terbaru FBI menunjukkan aksi kekerasan bermotif kebencian terhadap Muslim, naik pesat, bahkan mencapai tingkat tertinggi sejak peristiwa 11 September.
Namun Sheikh Eiad Soudan, yang mengisi talk show bertajuk "Muslim Situation in US, Indonesia, and Malaysia: Past, Present and Future," mengatakan kepada VOA hari Minggu dia optimistis keadaan akan membaik. Imam Masjid Bilal North Houston ini juga mengajak komunitas Muslim untuk lebih berani menyuarakan pendapat.
"Banyak orang yang mulai sadar, mereka semakin berpendidikan, mereka ingin tahu lebih banyak tentang agama mereka, ingin melakukan perubahan. Kalau dulu mungkin banyak yang kurang peduli dan mementingkan diri sendiri, alhamdulillah sekarang sudah berubah dan banyak yang lebih aktif dalam masyarakat," kata Sheikh Dr. Eiad Soudan.
Seorang pembicara lain, Imam Shamsi Ali dari New York mengatakan kepada VOA, Muslim turut berperan penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama, baik sebagai minoritas seperti di Amerika maupun sebagai mayoritas seperti di Indonesia.
"Kita harus memberikan contoh yang baik. Sebagai mayoritas, saya kira masanya untuk memperlihatkan bahwa Muslim Indonesia itu memang memiliki karakter yang khas, yang damai, yang toleran, yang merangkul semua pihak. Kita jangan membenci orang hanya karena agamanya, atau rasnya, karena itu bertentangan dengan agama dan bertentangan dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan kita," kata Shamsi Ali.
Muktamar tahunan ini diadakan oleh Perhimpunan Muslim Indonesia di Amerika atau IMSA dan Kelompok Mahasiswa Islam Malaysia atau MISG.
Selain seminar, perhelatan empat hari ini juga diisi dengan berbagai aktivitas bagi anak-anak dan remaja, serta bazaar. Bagi sebagian peserta, ini juga kesempatan untuk bersilaturahmi.
"Saya sangat gembira, memang ini adalah program yang saya nantikan setiap tahun, karena inilah masanya untuk berjumpa dengan orang Malaysia dan Indonesia, kita serumpun 'kan?," kata Nazirah Mohd Khairi, peserta dari Nashville, Tennessee.
Muktamar IMSA-MISG diikuti lebih dari 800 orang dan akan berlangsung hingga 29 Desember. [aw/vm]