Jumat, 27 Juli waktu Amerika adalah hari ke-enam dan terakhir Konferensi AIDS ke-19 di Gedung Konvensi Walter E. Washington di Washington, DC.
Lebih dari 20.000 delegasi, termasuk artis hiburan, tokoh-tokoh politik tingkat tinggi , dan orang-orang yang bertugas dalam riset AIDS menghadiri konferensi tersebut. Konferensi AIDS ini diselenggarakan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam 22 tahun, setelah Presiden Amerika Barack Obama mencabut larangan bagi orang yang mengidap HIV AIDS positif masuk ke Amerika..
Pendanaan riset merupakan salah satu agenda utama, pada saat Amerika dan negara-negara donor lainnya yang telah mengeluarkan milyaran dolar untuk memberantas AIDS, menghadapi krisis ekonomi di dalam negeri.
Para peserta konferensi memahami bahwa di samping vaksin atau obat, upaya meningkatkan sumber daya dan sarana yang kini tersedia berpotensi menyelamatkan jutaan nyawa. Mereka sepakat bahwa komunitas internasional akan mampu menghentikan epidemi AIDS hanya dengan upaya terkoordinasi untuk memperluas pencegahan infeksi HIV, mengintegrasikan program HIV ke dalam layanan kesehatan yang lebih luas, menyediakan dana, dan meningkatkan HAM bagi seluruh populasi yang rentan.
Sebanyak 194 sesi besar dan kecil diadakan untuk mengkaji pencapaian dan upaya ilmiah dalam riset pencarian vaksin HIV, serta untuk membahas berbagai solusi dalam pencegahan, penyediaan akses pada perawatan dan kampanye penyuluhan serta dukungan bagi orang yang telah terinfeksi.
Berbagai sesi juga diadakan untuk membahas kebijakan pemerintah-pemerintah dalam berbagai upaya pencegahan dan penyediaan akses pada pengobatan. Peserta konferensi yang terdiri dari ilmuwan, pembuat kebijakan pemerintah, aktivis berbagai lembaga nirlaba, dan orang dengan HIV/AIDS sepakat dengan tujuan mengubah pesimisme menjadi optimisme dalam mengakhiri epidemi AIDS secara global.
Konferensi akbar ini diikuti oleh sekitar 24 ribu peserta dari hampir 183 negara di dunia, termasuk dari Indonesia. VOA sempat menemui beberapa peserta dari Indonesia. Mereka umumnya mengatakan bahwa wacana pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan dengan negara-negara lain, tetapi mereka juga menekankan agar praktek dan penanganan pada tataran masyarakat ditingkatkan.
Berbicara dengan VOA di sela-sela konferensi, Contant Karma, ketua delegasi dari Papua yang berjumlah 26 orang memberikan kesan bahwa konferensi ini sangat penting untuk berbagi pengalaman dalam pencegahan serta pemberian dukungan pengobatan dan perawatan bagi orang dengan HIV/AIDS.
“Kami belajar dari negara-negara lain, karena bagaimanapun informasi-informasi baru, cara-cara baru, pengalaman-pengalaman negara lain kami bisa dapat di sini. Dengan demikian kami juga bisa berkembang lebih kuat dan kami harus bekerja keras,” kata Contant Karma.
Dede Oetomo, salah seorang peserta konferensi, adalah Ketua Dewan Pembina Gaya Nusantara. Kepada VOA dia mengatakan yang diperlukan di Indonesia adalah pemberian hak-hak yang sama kepada orang dengan HIV/AIDS.
Pemerintah, katanya, harus lebih berani menjadi pelopor dalam hal ini, terutama dalam mengenyahkan diskriminasi dan menjamin hak-hak mereka untuk mencapai kesejahteraan, misalnya untuk mendapat pekerjaan, pengobatan dan perawatan.
“Kita memang sudah dekat dengan akhir dari penyakit AIDS, tapi harus diingat juga bahwa AIDS berkaitan dengan kemiskinan dan pengucilan orang. Hal-hal seperti itulah yang mesti diselesaikan,” ujar Dede Utomo.
Senada dengan Dede, Kristiyanto, dari organisasi ISIAN HIVOS mengatakan banyak yang dipelajari dari konferensi ini, tapi praktek di lapangan di Indonesia mungkin masih merupakan tantangan. Namun, secara umum dia merasa konferensi ini memberinya kesempatan berjejaring dengan orang dan organisasi dari seluruh dunia, yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi upaya advokasi di Indonesia.
Kristiyanto mengatakan, “Kita tidak bisa bekerja sendiri, harus kolaboratif, bersama-sama terutama untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perjuangan melawan HIV/AIDS. Yang kedua diperlukan lebih banyak keterlibatan masyarakat, selain riset yang perlu terus ditingkatkan.”
Adi Nugroho, dari GWL-INA berpendapat bahwa pembahasan-pembahasan topik dalam berbagai sesi seharusnya lebih mendalam, tapi dia juga maklum dengan banyaknya materi yang harus dibahas. Dia mengatakan masalah di Indonesia sama dengan di negara-negara lain, bahkan di Amerika, yakni mereka yang rentan masih terpinggirkan.
“PR-nya sebenarnya sama. Kerja itu belum selesai dan mungkin tidak pernah selesai karena komunitas yang rentan akan selalu ada. Jadi pesan penting dari konferensi untuk membalikkan gelombang pasang ini, bahwa HIV/AIDS tidak lagi menjadi isu yang menyeramkan, justru kita perlu memberikan perhatian lebih besar kepada komunitas yang rentan,” kata Adi Nugroho.
Mantan Presiden Amerika Bill Clinton berbicara dalam sesi terakhir konferensi itu hari Jumat. Ia mengatakan, ia telah berbicara kepada para petugas perawatan kesehatan yang mengatakan ada cukup pendanaan bagi perempuan dan ibu-ibu hamil.
Para aktivis AIDS berdemonstrasi dan mengganggu pidato itu, memrotes perjanjian NAFTA yang ditandatanganinya ketika ia menjabat presiden. Menurut para aktivis, perjanjian dagang blok Amerika Utara itu telah secara dramatis mengurangi akses pada obat generik bagi penderita di Amerika Latin.
Amerika akan memberikan dana tambahan 80 juta dolar lagi untuk membantu melenyapkan penularan dari ibu ke anak menjelang tahun 2015.
Lebih dari 20.000 delegasi, termasuk artis hiburan, tokoh-tokoh politik tingkat tinggi , dan orang-orang yang bertugas dalam riset AIDS menghadiri konferensi tersebut. Konferensi AIDS ini diselenggarakan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam 22 tahun, setelah Presiden Amerika Barack Obama mencabut larangan bagi orang yang mengidap HIV AIDS positif masuk ke Amerika..
Pendanaan riset merupakan salah satu agenda utama, pada saat Amerika dan negara-negara donor lainnya yang telah mengeluarkan milyaran dolar untuk memberantas AIDS, menghadapi krisis ekonomi di dalam negeri.
Para peserta konferensi memahami bahwa di samping vaksin atau obat, upaya meningkatkan sumber daya dan sarana yang kini tersedia berpotensi menyelamatkan jutaan nyawa. Mereka sepakat bahwa komunitas internasional akan mampu menghentikan epidemi AIDS hanya dengan upaya terkoordinasi untuk memperluas pencegahan infeksi HIV, mengintegrasikan program HIV ke dalam layanan kesehatan yang lebih luas, menyediakan dana, dan meningkatkan HAM bagi seluruh populasi yang rentan.
Sebanyak 194 sesi besar dan kecil diadakan untuk mengkaji pencapaian dan upaya ilmiah dalam riset pencarian vaksin HIV, serta untuk membahas berbagai solusi dalam pencegahan, penyediaan akses pada perawatan dan kampanye penyuluhan serta dukungan bagi orang yang telah terinfeksi.
Berbagai sesi juga diadakan untuk membahas kebijakan pemerintah-pemerintah dalam berbagai upaya pencegahan dan penyediaan akses pada pengobatan. Peserta konferensi yang terdiri dari ilmuwan, pembuat kebijakan pemerintah, aktivis berbagai lembaga nirlaba, dan orang dengan HIV/AIDS sepakat dengan tujuan mengubah pesimisme menjadi optimisme dalam mengakhiri epidemi AIDS secara global.
Konferensi akbar ini diikuti oleh sekitar 24 ribu peserta dari hampir 183 negara di dunia, termasuk dari Indonesia. VOA sempat menemui beberapa peserta dari Indonesia. Mereka umumnya mengatakan bahwa wacana pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan dengan negara-negara lain, tetapi mereka juga menekankan agar praktek dan penanganan pada tataran masyarakat ditingkatkan.
Berbicara dengan VOA di sela-sela konferensi, Contant Karma, ketua delegasi dari Papua yang berjumlah 26 orang memberikan kesan bahwa konferensi ini sangat penting untuk berbagi pengalaman dalam pencegahan serta pemberian dukungan pengobatan dan perawatan bagi orang dengan HIV/AIDS.
“Kami belajar dari negara-negara lain, karena bagaimanapun informasi-informasi baru, cara-cara baru, pengalaman-pengalaman negara lain kami bisa dapat di sini. Dengan demikian kami juga bisa berkembang lebih kuat dan kami harus bekerja keras,” kata Contant Karma.
Dede Oetomo, salah seorang peserta konferensi, adalah Ketua Dewan Pembina Gaya Nusantara. Kepada VOA dia mengatakan yang diperlukan di Indonesia adalah pemberian hak-hak yang sama kepada orang dengan HIV/AIDS.
Pemerintah, katanya, harus lebih berani menjadi pelopor dalam hal ini, terutama dalam mengenyahkan diskriminasi dan menjamin hak-hak mereka untuk mencapai kesejahteraan, misalnya untuk mendapat pekerjaan, pengobatan dan perawatan.
“Kita memang sudah dekat dengan akhir dari penyakit AIDS, tapi harus diingat juga bahwa AIDS berkaitan dengan kemiskinan dan pengucilan orang. Hal-hal seperti itulah yang mesti diselesaikan,” ujar Dede Utomo.
Senada dengan Dede, Kristiyanto, dari organisasi ISIAN HIVOS mengatakan banyak yang dipelajari dari konferensi ini, tapi praktek di lapangan di Indonesia mungkin masih merupakan tantangan. Namun, secara umum dia merasa konferensi ini memberinya kesempatan berjejaring dengan orang dan organisasi dari seluruh dunia, yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi upaya advokasi di Indonesia.
Kristiyanto mengatakan, “Kita tidak bisa bekerja sendiri, harus kolaboratif, bersama-sama terutama untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perjuangan melawan HIV/AIDS. Yang kedua diperlukan lebih banyak keterlibatan masyarakat, selain riset yang perlu terus ditingkatkan.”
Adi Nugroho, dari GWL-INA berpendapat bahwa pembahasan-pembahasan topik dalam berbagai sesi seharusnya lebih mendalam, tapi dia juga maklum dengan banyaknya materi yang harus dibahas. Dia mengatakan masalah di Indonesia sama dengan di negara-negara lain, bahkan di Amerika, yakni mereka yang rentan masih terpinggirkan.
“PR-nya sebenarnya sama. Kerja itu belum selesai dan mungkin tidak pernah selesai karena komunitas yang rentan akan selalu ada. Jadi pesan penting dari konferensi untuk membalikkan gelombang pasang ini, bahwa HIV/AIDS tidak lagi menjadi isu yang menyeramkan, justru kita perlu memberikan perhatian lebih besar kepada komunitas yang rentan,” kata Adi Nugroho.
Mantan Presiden Amerika Bill Clinton berbicara dalam sesi terakhir konferensi itu hari Jumat. Ia mengatakan, ia telah berbicara kepada para petugas perawatan kesehatan yang mengatakan ada cukup pendanaan bagi perempuan dan ibu-ibu hamil.
Para aktivis AIDS berdemonstrasi dan mengganggu pidato itu, memrotes perjanjian NAFTA yang ditandatanganinya ketika ia menjabat presiden. Menurut para aktivis, perjanjian dagang blok Amerika Utara itu telah secara dramatis mengurangi akses pada obat generik bagi penderita di Amerika Latin.
Amerika akan memberikan dana tambahan 80 juta dolar lagi untuk membantu melenyapkan penularan dari ibu ke anak menjelang tahun 2015.