KABUL —
Di sebuah rumah sakit di Kabul, seorang remaja putri yang menderita depresi berbaring di tempat tidur dan meringkuk di bawah selimut. Di kamar tak jauh darinya, ada pasien-pasien pria yang mengidap skizofrenia, delusi akan hukuman dan kekuasaan, gelisah dan gangguan kepanikan.
Beberapa di antara mereka adalah korban-korban kasat mata dari perang di Afghanistan: Generasi manusia yang rusak mentalnya karena paparan pada konflik tak berkesudahan.
Akumulasi masalah psikologi dapat menghambat rekonstruksi nasional dan pembangunan, ujar para pekerja kesehatan di sebuah rumah sakit jiwa satu-satunya di negara tersebut.
Ghazia Sadid, seorang ibu berusia 26 tahun, menderita depresi selama bertahun-tahun setelah seorang anggota keluarga tewas dalam serangan bom, dan ia mengungsi karena takut kekerasan meningkat.
“Saya masih suka mendengar suara ledakan. Saya masih ingat pertempuran yang terjadi, namun setelah saya berobat di sini, perilaku saya telah berubah,” ujarnya saat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Kabul, sebuah gedung berdinding hijau di pinggiran kota.
“Setelah dua tahun perawatan, sekarang saya mencintai anak-anak saya. Dari dulu saya mencintai mereka, namun dalam pikiran saya, saya telah melakukan suatu kesalahan.”
Konsep penyakit jiwa merupakan sesuatu yang asing bagi banyak orang Afghanistan, di mana sistem kesehatan publik, seperti juga banyak infrastruktur lainnya, telah hancur karena perang puluhan tahun.
Seringkali orang-orang yang menderita penyakit psikologis dikira kemasukan setan oleh keluarga mereka, atau menunjukkan gejala-gejala sakit fisik.
Rumah Sakit Kabul, yang memiliki 60 tempat tidur untuk pasien opname dan 40 untuk fasilitas ketagihan narkoba, dikelola oleh pemerintah yang bermitra dengan lembaga nirlaba asal AS, International Medical Corps. Dana didapatkan dari Uni Eropa.
Para psikologis yang bekerja di sana mengatakan anak-anak yang tidak tahu apa-apa namun ikut beperang sejak AS menggulingkan pemerintahan Taliban lebih dari 10 tahun yang lalu merupakan pihak yang paling rentan.
“Generasi yang lahir setelah 2001 ketika komunitas internasional masuk ke Afghanistan memperlihatkan begitu banyak masalah kejiwaan: Mimpi buruk, depresi, kegelisahan dan inkontinensia (penyakit tak bisa menahan buang air),” ujar Mohammad Zaman Rajabi, penasihat psikolog klinis di rumah sakit tersebut.
Generasi yang Terkena Trauma
Ketakutan akan serangan bom bunuh diri, bom di pinggir jalan, dan semua tingkat kekerasan di Afghanistan – di mana warga sipil menanggung deritanya, dengan jumlah orang tewas pada 2011 meningkat dibandingkan lima tahun sebelumnya menjadi lebih dari 3.000 orang, menurut PBB, dapat mengarah pada kegelisahan, panik dan obsesi.
“Aspek fisik suatu perang berakhir dalam waktu tertentu, namun aspek psikologis dapat berlangsung bertahun-tahun lamanya. Setiap hari, masalah kesehatan jiwa yang disebabkan karena perang meningkat,” ujar psikiater Said Najib Jawed.
Yang sama merusaknya secara sosial adalah risiko suatu generasi yang menganggap kekerasan adalah norma.
“Jika Anda berbicara dengan bocah laki-laki Afghan, hal itu dapat berubah menjadi perkelahian dengan cepat karena mereka memang menantikannya. Mereka tidak tahu cara lain untuk mengatasi persoalan selain berkelahi,” ujar Rajabi.
“Semua hal ini akan mengarah pada sebuah generasi yang tidak sehat secara mental, dan hal ini akan berdampak pada semua hal di negara ini: Pendidikan, hubungan, keluarga, dan pembangunan secara umum.” (Reuters/Daniel Magnowski and Mirwais Harooni)
Beberapa di antara mereka adalah korban-korban kasat mata dari perang di Afghanistan: Generasi manusia yang rusak mentalnya karena paparan pada konflik tak berkesudahan.
Akumulasi masalah psikologi dapat menghambat rekonstruksi nasional dan pembangunan, ujar para pekerja kesehatan di sebuah rumah sakit jiwa satu-satunya di negara tersebut.
Ghazia Sadid, seorang ibu berusia 26 tahun, menderita depresi selama bertahun-tahun setelah seorang anggota keluarga tewas dalam serangan bom, dan ia mengungsi karena takut kekerasan meningkat.
“Saya masih suka mendengar suara ledakan. Saya masih ingat pertempuran yang terjadi, namun setelah saya berobat di sini, perilaku saya telah berubah,” ujarnya saat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Kabul, sebuah gedung berdinding hijau di pinggiran kota.
“Setelah dua tahun perawatan, sekarang saya mencintai anak-anak saya. Dari dulu saya mencintai mereka, namun dalam pikiran saya, saya telah melakukan suatu kesalahan.”
Konsep penyakit jiwa merupakan sesuatu yang asing bagi banyak orang Afghanistan, di mana sistem kesehatan publik, seperti juga banyak infrastruktur lainnya, telah hancur karena perang puluhan tahun.
Seringkali orang-orang yang menderita penyakit psikologis dikira kemasukan setan oleh keluarga mereka, atau menunjukkan gejala-gejala sakit fisik.
Rumah Sakit Kabul, yang memiliki 60 tempat tidur untuk pasien opname dan 40 untuk fasilitas ketagihan narkoba, dikelola oleh pemerintah yang bermitra dengan lembaga nirlaba asal AS, International Medical Corps. Dana didapatkan dari Uni Eropa.
Para psikologis yang bekerja di sana mengatakan anak-anak yang tidak tahu apa-apa namun ikut beperang sejak AS menggulingkan pemerintahan Taliban lebih dari 10 tahun yang lalu merupakan pihak yang paling rentan.
“Generasi yang lahir setelah 2001 ketika komunitas internasional masuk ke Afghanistan memperlihatkan begitu banyak masalah kejiwaan: Mimpi buruk, depresi, kegelisahan dan inkontinensia (penyakit tak bisa menahan buang air),” ujar Mohammad Zaman Rajabi, penasihat psikolog klinis di rumah sakit tersebut.
Generasi yang Terkena Trauma
Ketakutan akan serangan bom bunuh diri, bom di pinggir jalan, dan semua tingkat kekerasan di Afghanistan – di mana warga sipil menanggung deritanya, dengan jumlah orang tewas pada 2011 meningkat dibandingkan lima tahun sebelumnya menjadi lebih dari 3.000 orang, menurut PBB, dapat mengarah pada kegelisahan, panik dan obsesi.
“Aspek fisik suatu perang berakhir dalam waktu tertentu, namun aspek psikologis dapat berlangsung bertahun-tahun lamanya. Setiap hari, masalah kesehatan jiwa yang disebabkan karena perang meningkat,” ujar psikiater Said Najib Jawed.
Yang sama merusaknya secara sosial adalah risiko suatu generasi yang menganggap kekerasan adalah norma.
“Jika Anda berbicara dengan bocah laki-laki Afghan, hal itu dapat berubah menjadi perkelahian dengan cepat karena mereka memang menantikannya. Mereka tidak tahu cara lain untuk mengatasi persoalan selain berkelahi,” ujar Rajabi.
“Semua hal ini akan mengarah pada sebuah generasi yang tidak sehat secara mental, dan hal ini akan berdampak pada semua hal di negara ini: Pendidikan, hubungan, keluarga, dan pembangunan secara umum.” (Reuters/Daniel Magnowski and Mirwais Harooni)