Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyayangkan pidato presiden pada 16 Agustus 2019 di DPR tidak menyinggung penegakan hak asasi manusia dan pembangunan negara hukum.
Dalam pidatonya, kata Yati, Presiden Joko Widodo hanya membahas soal masa depan ekonomi nasional. Selebihnya, tambah Yati, pidato tersebut lebih mengesankan untuk membangun citra tentang hubungan yang positif antara pemerintah dengan lembaga-lembaga negara.
Presiden, lanjut Yati, tidak menjelaskan langkah negara dalam penyelesaian persoalan HAM yang berkaitan dengan kewenangan presiden, DPR dan Kejaksaan Agung. Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mandek karena Kejaksaan Agung juga tidak melakukan penyidikan, DPR tidak memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan Presiden juga tidak mengeluarkan keppres pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000.
Persoalan ini, kata Yati, jelas adalah mandat undang-undang termasuk ketetapan MPR yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, namun pidato presiden tidak menyampaikan sejauh mana dan langkah apa yang telah dan akan dilakukan negara.
"Misalkan saja untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak disebutkan secara spesifik apa yang telah dan akan dilakukan negara. Padahal, penyelesaian kasus pelanggaran berat masa lalu jelas salah satu PR dan beban bangsa ini utk diselesaikan," ujar Yati.
Lebih lanjut Yati menjelaskan keberhasilan legislasi yang diungkapkan dalam pidato presiden tidak menyinggung kemajuan dan langkah apa yang diambil untuk legislasi di bidang HAM, apa parameter dan dampak keberhasilan tersebut.
Sampai saat ini lanjutnya pemerintah dan DPR masih bersikeras untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU KUHP yang masih menyisakan sejumlah masalah seperti pasal penghinaan terhadap presiden, pembatasan kebebasan pers, masih adanya hukuman mati sebagai bentuk hukuman, kriminalisasi LGBT, penistaan agama dan sejumlah permasalahan lainnya.
Selain itu pelaksanaan sejumlah Undang-undang seperti ITE, Ormas dan penangaanan tindak pidana terorisme masih rentan menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan tumpang tindih kewenangan institusi negara.
Berkenaan dengan persoalan perlindungan hak-hak fundamental, sepanjang 2014-2018, Kontras mencatat terdapat sebanyak 152 kasus pidana dengan vonis hukuman mati, 870 orang menjadi korban penyiksaan.
Pada pemerintahan Jokowi, kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi dan pelarangan atas kebebasan berkumpul juga masih terus terjadi. Kasus-kasus tersebut seringkali dihadapi kelompok yang distigma seperti pembubaran 17 diskusi mahasiswa Papua, diskusi mengenai peristiwa 65 atau kegiatan yang dianggap mengganggu ketertiban keamanan.
Kontras juga mencatat selama 2014-2018, setidaknya ada 926 peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi, 71 kasus kriminalisasi. Dalam hak kebebasan beragama beribadah dan berkeyakinan, lembaga hak asasi manusia tersebut mencatat bahwa terjadi 488 peristiwa.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim menegaskanpenyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan menjadi prioritas presiden Jokowi pada periode yang akan datang.
Makanya, lanjut Iqbal dalam memilih Jaksa Agung , jokowi nanti akan melihat konsep dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Nah, dia harus berani. Berani menyidik kasus itu,” ujar Ifdal.
Tak hanya berani menyelidiki kasus, Ifdal bilang, Jaksa Agung terpilih juga harus berani mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan atau SP3, jika tak ada barang bukti yang cukup.
“Sampai sekarang tidak berani. Dia hanya mengatakan ke media kasus ini kurang “ lanjut Ifdal.
Menurut Ifdal, Presiden Jokowi sangat menjunjung hak asasi manusia termasuk kebebasan berekpresi.[fw/ft]