Estonia adalah salah satu negara pertama yang dilanda serangan dunia maya berskala besar dan sebagian besar ahli mengatakan Rusia berada di belakang serangan 2007 itu. Negara Baltik tersebut menjadi tuan rumah Cooperative Cyber Defence Centre of Excellence NATO yang tujuannya berbagi praktik terbaik mengenai keamanan dunia maya di antara anggota dan sekutu.
Jepang baru saja bergabung dengan pusat itu karena takut Olimpiade 2020 di Tokyo bisa menjadi sasaran. Sementara anggota NATO mencerna hasil pertemuan puncak pekan lalu di Brussels, beberapa ahli mengatakan ancaman yang semakin besar ini harus lebih diperhatikan. Serangkaian serangan siber tingkat tinggi terhadap infrastruktur penting - termasuk jaringan listrik dan instalasi pemurnian air, menjadi skenario fiktif dalam latihan perang dunia maya yang disebut Operation Locked Shields, yang dijalankan oleh Cooperative Cyber Defence Center of Excellence yang dibentuk NATO di Estonia.
Siim Alatalu dari pusat kerja sama pertahanan dunia maya NATO itu mengatakan, “Ini tentang persaingan yang bersahabat. Tetapi yang menjadikannya terbesar di dunia adalah jumlah negara yang berkontribusi. Kami kemudian mengumpulkan yang terbaik dari semua negara untuk dicocokkan satu sama lain dan juga belajar untuk bekerja sama satu sama lain.”
Walaupun Operation Locked Shields itu hanya latihan semata, ancaman yang dihadapi sangat nyata.
“Semuanya bergantung pada teknologi. Dan karena itu semuanya bisa diretas,” tambahnya.
Pada musim dingin 2015 dan 2016, jaringan listrik Ukraina diserang peretas sehingga padam selama beberapa jam. Ukraina menyalahkan Rusia - salah satu sumber utama serangan dunia maya secara global.
Disinformasi menggunakan internet dan media sosial adalah masalah lain yang sedang dihadapi pemerintah.
Analis Ben Nimmo dari Atlantic Council Digital Forensic Research Lab mengatakan, "Jika kita melihat operasi campur tangan Rusia di AS, sejauh yang kita tahu itu dimulai bulan April 2014 dan sampai dihentikan bulan Oktober 2017 . Jadi mereka sudah beroperasi tiga setengah tahun yang katanya dilakukan oleh 100 orang, beberapa ribu akun di media sosial, diperkuat oleh lebih dari 50 ribu akun bot. Ini adalah operasi sangat besar yang kemudian diperkuat oleh mesin propaganda negara seperti jaringan televisi Russia Today dan kantor berita Sputnik."
Apakah tindakan para pemimpin NATO pada KTT yang baru saja selesai sudah cukup untuk melawan ancaman-ancaman ini?
“Mereka menilainya lebih dari yang mereka lakukan dua tahun yang lalu dan kita dapat melihatnya dari deklarasi KTT itu sendiri - yang pertama kalinya menyebut disinformasi sebagai ancaman khusus dan merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar tentang perang hibrida (gabungan militer dan non militer),” tukas Nimmo.
Sejak 2014, prinsip inti NATO tentang pertahanan diri kolektif, Pasal 5, dapat diberlakukan jika terjadi serangan siber terhadap satu anggota. Tanggapannya bisa mencakup sanksi, tanggapan dunia maya, atau bahkan penggunaan kekuatan konvensional.
Walaupun kemungkinan itu tampaknya jauh, sekretaris jenderal NATO memperingatkan bahwa serangan dunia maya bisa sama merusaknya dengan serangan militer konvensional. [as/ii]