JAKARTA —
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bejo Untung kepada VOA mengatakan para korban peristiwa 1965–1966 kecewa karena Kejaksaan Agung mengembalikan berkas pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Juli lalu Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kejaksaan Agung mengembalikan berkas itu pekan lalu seraya meminta Komnas HAM melengkapi berkas kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 dan penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto mengatakan mereka kesulitan menyelidiki peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun silam itu.
Bejo mengatakan YPKP sudah memprediksi adanya pengembalian berkas kasus 1965-1966 itu. Menurutnya, hal itu membuktikkan adanya ketidakseriusan dari pemerintah dalam pengungkapan kasus itu.
“Saya khawatir ada intervensi politik dari kekuatan lama dalam kasus ini. Sehingga mereka mengulur-ulur supaya kasus 65-66 tidak tuntas,” ujar Bejo, mantan anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang pernah mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun lamanya semasa rejim Soeharto atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kudeta yang gagal pada 30 September 1965.
Bejo memastikan laporan penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa 1965-1966 sudah sangatlah lengkap, sehingga agak aneh menurutnya jika Kejaksaan Agung menilai ada yang perlu dilengkapi dalam laporan itu.
“Sepanjang yang saya pelajari, laporan Komnas HAMitu sangatlah lengkap, karena sudah mencakup segala persoalan dan kasus kekerasan selama rentang 65-66 mulai dari Sumatra Utara hingga Ambon. Dan itu sampelnya sudah sangat jelas, ada keterlibatan militer di dalam aksi kekerasan,” ujarnya.
“Dan semua kawan-kawan yang diperiksa oleh tim investigasi Komnas HAM, mengemukakan apa adanya. Temasuk komandan Kodam, Kodim, dan Koramil, itu sangat-sangat jelas tertulis dalam surat pembebasan kami, itu kan bisa di lacak. Jadi apa lagi? Apa lagi kelengkapannya? saya khawatir ini hanya akal-akalan Kejaksaan Agung.”
Ketua tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat peristiwa 1965-1966 yang juga anggota Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, kepada VOA mengatakan, tim tersebut akan berupaya melengkapi beberapa catatan perbaikkan dari pihak Kejaksaan.
“Jaksa Agung memberikan catatan dan juga menyampaikan beberapa hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM. Diantaranya adalah kekurangan saksi, pertanyaan terhadap terduga pelaku, kemudian juga kelengkapan teknis yuridis seperti apakah penyelidik dan saksi disumpah. Oleh karena itu tim akan melakukan rapat, kemudian mulai mengerjakan hal-hal yang dianggap kurang dalam 30 hari kedepan,” ujar Nur Kholis.
Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan ada bukti telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan itu diantaranya adalah pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, atau pelanggaran kebebasan fisik berupa, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa itu. Jumlah korban saat itu diperkirakan 500.000 hingga tiga juta jiwa.
Komnas HAM juga merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung atas kasus penembakan misterius yang terjadi tahun 1982-1985 untuk ditindaklanjuti.
Juli lalu Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kejaksaan Agung mengembalikan berkas itu pekan lalu seraya meminta Komnas HAM melengkapi berkas kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 dan penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto mengatakan mereka kesulitan menyelidiki peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun silam itu.
Bejo mengatakan YPKP sudah memprediksi adanya pengembalian berkas kasus 1965-1966 itu. Menurutnya, hal itu membuktikkan adanya ketidakseriusan dari pemerintah dalam pengungkapan kasus itu.
“Saya khawatir ada intervensi politik dari kekuatan lama dalam kasus ini. Sehingga mereka mengulur-ulur supaya kasus 65-66 tidak tuntas,” ujar Bejo, mantan anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang pernah mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun lamanya semasa rejim Soeharto atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kudeta yang gagal pada 30 September 1965.
Bejo memastikan laporan penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa 1965-1966 sudah sangatlah lengkap, sehingga agak aneh menurutnya jika Kejaksaan Agung menilai ada yang perlu dilengkapi dalam laporan itu.
“Sepanjang yang saya pelajari, laporan Komnas HAMitu sangatlah lengkap, karena sudah mencakup segala persoalan dan kasus kekerasan selama rentang 65-66 mulai dari Sumatra Utara hingga Ambon. Dan itu sampelnya sudah sangat jelas, ada keterlibatan militer di dalam aksi kekerasan,” ujarnya.
“Dan semua kawan-kawan yang diperiksa oleh tim investigasi Komnas HAM, mengemukakan apa adanya. Temasuk komandan Kodam, Kodim, dan Koramil, itu sangat-sangat jelas tertulis dalam surat pembebasan kami, itu kan bisa di lacak. Jadi apa lagi? Apa lagi kelengkapannya? saya khawatir ini hanya akal-akalan Kejaksaan Agung.”
Ketua tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat peristiwa 1965-1966 yang juga anggota Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, kepada VOA mengatakan, tim tersebut akan berupaya melengkapi beberapa catatan perbaikkan dari pihak Kejaksaan.
“Jaksa Agung memberikan catatan dan juga menyampaikan beberapa hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM. Diantaranya adalah kekurangan saksi, pertanyaan terhadap terduga pelaku, kemudian juga kelengkapan teknis yuridis seperti apakah penyelidik dan saksi disumpah. Oleh karena itu tim akan melakukan rapat, kemudian mulai mengerjakan hal-hal yang dianggap kurang dalam 30 hari kedepan,” ujar Nur Kholis.
Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan ada bukti telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan itu diantaranya adalah pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, atau pelanggaran kebebasan fisik berupa, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa itu. Jumlah korban saat itu diperkirakan 500.000 hingga tiga juta jiwa.
Komnas HAM juga merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung atas kasus penembakan misterius yang terjadi tahun 1982-1985 untuk ditindaklanjuti.