Tautan-tautan Akses

Korban Terus Bertambah, Aktivis Perempuan Desak DPR Segera Sahkan RUU TPKS


Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)
Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

DPR segera membawa RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ke rapat paripurna, untuk disetujui sebagai RUU inisiatif DPR. Para aktivis perempuan dan HAM berharap semua pihak turut mengawal RUU ini untuk segera disahkan mengingat RUU ini sudah terkatung-katung selama tujuh tahun.

Sebanyak 4.500 laporan kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke Komnas Perempuan selama 2021, serta belasan ribu laporan pada tahun-tahun sebelumnya, nampaknya belum cukup menggerakkan para pengambil kebijakan untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang terkait Kekerasan Seksual. Padahal tidak jarang kekerasan itu berbuah kematian, seperti yang terjadi di Mojokerto, di mana seorang perempuan bunuh diri akibat kekerasan seksual yang dialaminya.

Tim Substansi Advokasi RUU PKS, Forum Pengadaan Layanan (FPL), Nur Laila Hafidhoh, mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sebagai payung hukum terhadap korban kekerasan seksual.

“Kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di perguruan tinggi, kasus kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan, saya kira ini menjadi PR besar bagi Negara ini. Bagaimana agar segera mempercepat pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, agar bisa merespon kasus-kasus yang sebenarnya kalau di laporan itu kan sudah banyak. Tetapi yang tidak terlaporkan, yang sulit untuk diungkap itu lebih banyak lagi,” ujar Nur Laila.

Foto ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Tumisu/Pixabay)
Foto ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Tumisu/Pixabay)

Forum Pengadaan Layanan, beserta jaringan perempuan yang mengadvokasi hak-hak korban kekerasan seksual, mendesak dimasukkannya 11 jenis kekerasan seksual yang harus dipidanakan, dan meminta DPR serius membahas RUU ini. Ayu Oktariani, pendamping kasus HIV/AIDS dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), mengatakan perlunya perlindungan bagi perempuan penyandang HIV, karena sebagai korban seringkali malah distigma negatif dan didiskriminasi oleh lingkungannya.

“Perempuan dengan HIV, setelah dia kena HIV, dia kembali menjadi korban karena status HIV memberikannya kerentanan, pada stigma diskriminasi termasuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan, bahkan keluarga dan layanan kesehatan,” kata Ayu Oktariani.

Pendamping korban kekerasan seksual, Adelia, mengatakan banyak perempuan korban kekerasan seksual enggan melaporkan ke aparat penegak hukum, karena belum adanya kejelasan payung hukum yang melindungi mereka. Adelia menegaskan, banyak kasus yang dilaporkan namun tidak kunjung selesai, menjadi alasan para korban kekerasan menutup diri dan enggan bersuara.

“Korban kekerasan, pemaksaan, itu kadang mereka enggan melaporkan, karena memang saat ini pun kasus-kasus kekerasan pada perempuan banyak sekali yang tidak dapat diselesaikan,” kata Adelia.

Melsia Huliselan (kiri), pendamping dari Yayasan Gasira Maluku (VOA/Petrus Riski).
Melsia Huliselan (kiri), pendamping dari Yayasan Gasira Maluku (VOA/Petrus Riski).

Banyak kasus kekerasan seksual yang dihentikan penyelidikannya atau tidak terungkap karena intimidasi, teror, dan mediasi damai antara pelaku dan keluarga korban.

Melsia Huliselan, pendamping dari Yayasan Gasira Maluku, mengatakan, RUU TPKS ini harus mengatur kemudahan korban untuk melapor. Kasus kekerasan seksual di Maluku misalnya, seringkali tidak berlanjut karena akses untuk melapor yang jauh dan butuh waktu yang lama. Melsia mengusulkan adanya unit pelaporan di Kepolisian tingkat sektor (Polsek) atau di setiap kecamatan untuk memudahkan korban melaporkan kasusnya.

“Karena Unit PPA-nya hanya berada di Kota Ambon, di Polres, alangkah baiknya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) ini harus ada di setiap Polsek-Polsek, sehingga korban tidak perlu lagi harus datang ke Ambon untuk melaporkan kasus. Jadi layanannya semakin dekat dengan korban,” Melsia mengungkapkan.

Retno Ekaresti Permatasari dari Yayasan Embun Pelangi (VOA/Petrus Riski).
Retno Ekaresti Permatasari dari Yayasan Embun Pelangi (VOA/Petrus Riski).

Retno Ekaresti Permatasari dari Yayasan Embun Pelangi, Batam, mengatakan perlindungan yang sama melalui Undang-Undang sangat diperlukan, untuk pendamping korban kekerasan seksual. Hal ini karena ancaman dan risiko yang didapatkan sama dengan korban kekerasan yang didampinginya.

“Kami sebagai pendamping perlu ada perlindungan untuk kami. Kebetulan, kami punya rumah aman, dan beberapa kali menangani kasus yang pelakunya adalah aparat. Dan beberapa kali pula kami didatangi oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang datang menggunakan pakaian kedinasan mereka, dan menanyakan keberadaan saya, keberadaan teman-teman saya,” tandas Retno. [pr/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG