Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari Senin (3/9) menetapkan 22 anggota DPRD Malang sebagai tersangka baru dalam dugaan suap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
41 dari 45 Anggota DPRD Malang Jadi TSK Korupsi
Secara total, ada 41 anggota dewan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka diduga menerima suap dari mantan walikota Malang, Mochamad Anton yang telah dituntut tiga tahun penjara. Setiap anggota diduga menerima suap 12,5 juta hingga 50 juta rupiah untuk menyetujui penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kota Malang tentang Perubahan APBD tahun anggaran 2015. Saat ini hanya tersisa empat orang anggota DPRD Malang yang masih menjalankan fungsi operasional.
Ketua KPK Agus Raharjo menyarankan agar partai politik segera melakukan pergantian antar waktu anggota-anggota DPRD Malang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap itu. Ini penting agar DPRD Malang dapat kembali menjalankan tugasnya.
"Ada yang begitu tersangka, partai langsung memecat, langsung PAW-kan. Harapan saya kalau kemudian partai melakukan itu ya kekosongan kekuasaan itu tidak terjadi. Jadi tetap berjalan dengan baik," ujar Agus.
Kemendagri Siap Keluarkan Diskresi Supaya DPRD Tetap Beroperasi
Secara terpisah Kementerian Dalam Negeri menyatakan siap mengeluarkan kebijakan terobosan atau diskresi untuk menggerakkan pemerintahan di kota Malang yang terancam terhenti karena hampir semua anggota DPRD di kota itu terjerat kasus korupsi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan diskresi ini dibutuhkan karena jumlah anggota dewan yang tersisa tidak memenuhi kuorum untuk menggelar rapat paripurna. Diskresi itu lanjutnya berisi pelibatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam pembahasan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon angaran sementara.
Diskresi itu kata Tjahjo juga menambah peran sekretaris dewan dalam membantu menyusun agenda DPRD karena badan musyawaran sudah tidak aktif. Selain itu, diskresi juga akan memberikan kewenangan kepada pemerintah kota dalam menerbitkan peraturan daerah non APBD yang sedang disusun namun belum selesai.
"Di mana supaya pemerintahan jalan saya mengeluarkan diskresi saja, agar setiap putusan politik pembangunan yang dilakukan Pemda bisa berjalan," tukas Tjahjo.
Korupsi Massal, Cermin Hubungan Eksekutif-Legislatif yang Bermasalah?
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, menilai korupsi massal seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Malang dan Jambi merupakan cerminan hubungan yang bermasalah antara eksekutif dan legislatif di era otonomi daerah.
Robert menyamakan hubungan kolutif itu sebagai hubungan di pasar gelap, yang penuh persekongkolan.
"Kelihatan adem karena cara untuk meredam dinamika dan suara keras DPRD itu dengan membeli DPRD , tinggal belinya di muka atau di belakang . Beli di muka dengan cara dikasih uang pelumas kemudian mau terlibat dalam pengesahan atau persetujuan. Di bayar dibelakang, setuju dulu setelah itu dapat jatah proyek. Itu soal waktu saja," kata Robert.
Robert menambahkan penyebab terjadinya korupsi berjamaah ini adalah karena mahalnya biaya politik yang harus disiapkan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Walhasil banyak anggota DPRD dan kepala daerah melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Proses pembahasan anggaran di banyak daerah yang sangat tidak transparan juga memudahkan terjadinya penyalahgunaan, ujar Robert. Oleh karena itu menteri dalam negeri seharusnya mendorong dan memastikan pembahasan APBD transparan dan dapat diakses publik.
Kasus suap terhadap 41 DPRD Malang terungkap ketika KPK menangkap tangan Ketua DPRD Kota Malang, Muhammad Arief Wicaksono dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan Pemerintah Kota Malang, Jarot Edy Sulistiyono. Arief terbukti menerima suap dari Jarot sebesar Rp700 juta untuk memuluskan pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
Dalam pengembangannya, KPK mensinyalir korupsi ini dilakukan secara massal dengan melibatkan walikota dan anggota DPRD lainnya. [fw/em]