Etika dalam berpolitik itu mutlak. Politik beretika inilah yang ingin dirintis Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem demokrasi di Indonesia meski hal itu menjadi polemik. Ada yang setuju, sebagian menolak.
Salah satu etika yang ingin diberlakukan KPU adalah melarang mantan narapidana kasus korupsi mengikuti pemilihan legislatif pada April 2019.
Larangan itu termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang dipublikasikan dalam situs resmi KPU.
Ketua KPU Arief Budiman menekankan lembaganya berkukuh menetapkan larangan itu setelah melalui serangkaian uji publik. Rancangan peraturan KPU melarang mantan koruptor menjadi anggota dewan Ini juga telah dibahas dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, yang dihadiri pula oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum pada 22-23 Mei lalu.
Arief menegaskan larangan itu penting untuk menghadirkan calon wakil rakyat yang tidak pernah terlibat kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Karena itulah, pencegahan sudah dilakukan sejak dari poses pencalonan anggota legislatif.
“Pasal yang mengatur tentang syarat menjadi calon (anggota dewan) salah satunya bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Apa rinciannya? Salah satunya tidak korupsi. Tidak melakukan perbuatan tercela. Apa rinciannya? Salah satunya tidak melakukan tindakankorupsi,” kata Arief.
Lebih lanjut Arief mengatakan KPU siap menghadapi gugatan dari pihak-pihak yang tidak senang terhadap larangan tersebut.
KPU, ujar Arief, siap menjelaskan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 itu sangat beralasan. Aturan tersebut merupakan bagian dari partisipasi KPU dalam kampanye pemberantasan korupsi.
Peraturan KPU yang melarang bekas koruptor menjadi legislator ini menuai polemik.
Sejumlah pihak, terutama anggota DPR, menolak. Bahkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ikut mempersoalkan. Alasannya, pelarangan tersebut berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai larangan itu tidak perlu ada karena seleksi calon anggota legislatif bisa dilakukan melalui mekanisme partai.
“Karena soal mantan narapidana boleh atau tidak ikut kegiatan politik, atau mengisi jabatan publik, itu sudah diatur dalam undang-undang dan biasanya juga sudah diputuskan dalam putusan hakim,” kata Bambang Soesatyo.
Bambang menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum tidak adalarangan untuk mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif. Aturan KPU menurutnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Pasal 240 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi (perludem), Titi Anggraeni, memuji larangan KPU itu sebagai langkah konkret dan sangat positif untuk memberantas korupsi.
Menurut data Indonesia Corruption Watch, lebih dari 59 anggota DPR dan DPRD hasil Pemilihan Umum 2014 telah menjadi tersangka, terdakwa, dan narapidana kasus korupsi.
Karena itu, Titi menilai aturan KPU ini penting untuk mencegah mantan koruptor yang telah terbukti tidak kredibel, berpeluang terpilih kembali menjadi anggota dewan. Apalagi, lanjutnya semua partai mengklaim mereka tidak pernah mencalonkan bekas koruptor menjadi legislator.
“Tetapi partai politik, kan, semua mengaku merekatidak pernah menominasikan mantan napi. Peraturan internal mereka itu tidak pernah menominasikan mantan napi , AD/ART nya juga begitu. Yang dilakukan KPU dengan PKPU adalah melegitimasi praktek-praktek internal partai politik,” papar Titi.
Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar menegaskan larangan itu mestinya diatur dalam undang-undang atau putusan pengadilan, bukan oleh aturan KPU.