Pilkada serentak yang diselenggarakan hari Rabu (27/6) di 171 daerah di Indonesia dinilai berbeda dengan pilkada sebelumnya karena selain untuk memilih kepala daerah yang baru, pilkada ini hanya berselang beberapa bulan dari pemilu presiden 2019. Arya Budi, analis Politik dari Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM mengatakan pilkada kali ini juga luar biasa karena diikut oleh 17 propinsi yang memiliki penduduk dengan jumlah besar, yang mencapai 60 persen dari sekitar 190 juta pemilih di Indonesia yang tercatat di KPU.
Melalui pilkada serentak 2018, menurut Arya, para elit politik di tingkat pusat dapat mulai memetakan para pemilih pada pemilu 2019. Apalagi bulan Agustus 2018 mereka sudah harus menentukan calon presiden dan wakil presiden.
“Ini bukan sekedar persoalan kompetisi para tokoh lokal untuk memenangkan kursi daerah tetapi bagaimana tokoh-tokoh (politik) nasional berusaha mengamankan basis-basis pemilihan mereka. Karena kontestasi yang kuat ini tentu akan menciptakan konsentrasi isu yang cukup tinggi, melibatkan propinsi-propinsi besar dan kunci,” ujar Arya Budi.
Kuatnya kontestasi pada pilkada serentak kali ini bisa menimbulkan kerawanan dan konflik antar pendukung para pasangan calon. Terlebih menurut Arya, belajar dari pilkada tahun sebelumnya, ada sebagian wilayah – terutama di luar Pulau Jawa – yang rawan konflik.
“Kerawanan ditentukan sejauh mana, ada berapa kandidat yang berkontestasi secara ketat. Di Jawa Timur ada dua pasangan kandidat yang berkontestasi sangat sengit, semua orang belum tahu siapa yang akan menang. Di Jawa Barat, meskipun ada empat pasang kandidat ada dua pasang kandidat yang berkontestasi ketat dan tentu mereka akan menggunakan banyak isu-isu misalnya isu identitas. Di Jawa Timur pun demikian, ada dua pasang kandidat yang berebut massa Nahdliyin dan massa Abangan, dan tentu semua isu akan digunakan termasuk isu sosial dan pesantren,” papar Arya Budi.
Arya memuji kampanye literasi dan kemudahan mengakses informasi lewat media, sehingga meningkatkan jumlah angka pemilih independen yang tidak berasosiasi dengan tokoh atau kelompok tertentu ketika menentukan pilihan mereka.
PP Muhammadiyah Serukan Warga Gunakan Hak Pilih Secara Cerdas dan Bijaksana
Dalam perkembangan lainnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menginstruksikan warganya untuk menggunakan haknya secara cerdas dan bijaksana pada pilkada hari Rabu sebagai proses politik untuk menentukan pemimpin daerah yang diharapkan bisa memakmurkan rakyat.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah mendorong warganya untuk memilih calon pemimpin yang memiliki kemampuan, integritas dan bebas korupsi. Warga Muhammadiyah juga diminta menghindari kandidat yang menggunakan isu agama karena tindakan itu justru merendahkan nilai-nilai agama.
“Muhammadiyah menekankan pentingnya pemimpin yang memiliki kemampuan dan integritas dan kemampuan didalam mereka membangun sinergi dan kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat. Justru kita mendorong warga Muhammadiyah memilih pemimpin dengan pertimbangan rasional dan cerdas serta memilih pemimpin yang juga bisa merangkul seluruh elemen masyarakat. (Kandidat) Yang membawa elemen agama itu justru mereduksi ajaran serta nilai-nilai dari agama itu sendiri,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.
Gerakan Perempuan Minta Warga Tidak Pilih Kandidat Korup
Gerakan “Saya Perempuan Anti Korupsi” (SPAK) secara khusus mendorong pemilih – terutama pemilih perempuan – untuk tidak memilih kandidat yang terindikasi korupsi, dan berperilaku merendahkan kaum perempuan. Ema Husain, koordinator SPAK untuk Indonesia Timur mengatakan, para agen SPAK di daerah menemukan sejumlah kandidat yang terindikasi korupsi dan melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
“Banyak calon-calon kepala daerah yang maju dan sebenarnya mereka berhubungan dengan kasus-kasus korupsi. Dan ada beberapa calon yang ditemukan teman-teman agen di tingkat lapangan itu kerap melakukan perilakku koruptif. Banyak arang yang karena posisinya, menggunakan fasilitas pemerintah. Dan kita juga menyerukan agar pemilih tidak memilih calon yang mengedepankan SARA. Ini kan politik identitas digunakan untuk merebut suara,” pungkas Ema Husain, Koordinator SPAK Indonesia Timur. [ms/em]