Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta mengalami krisis oksigen parah pada Sabtu, 3 Juli 2021. Sejumlah keluarga pasien yang meninggal pada malam itu berbagi kisah dengan balutan kesedihan dan pertanyaan. Mereka ingin, tragedi ini tidak terulang dan menimpa keluarga lain di tengah pandemi.
Nasib Baryanto bisa dikatakan kurang beruntung, tetapi di saat bersamaan dia juga beruntung. Kurang beruntung karena dia dinyatakan positif COVID-19. Namun dia juga beruntung karena status itu memberinya kesempatan menemani ibunya, yang juga dinyatakan positif COVID-19, di hari-hari terakhirnya di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta.
Baryanto ingat betul, bagaimana situasi ruangan tempat ibunya dirawat pada malam ketika krisis oksigen melanda. Sekitar pukul 21.00 WIB, tiba-tiba mesin High Flow Nasal Cannula (HFNC) yang dipakai untuk merawat ibunya, mengeluarkan bunyi keras.
“Setelah mesin ibu bunyi, selang beberapa menit, antara 10-15 menit, mesin yang lain juga mengalami respon yang sama, bunyi juga. Kedengeran that-thit-that-thit dengan nada yang sama. Ada beberapa karena bunyinya saling bersautan, saya tidak bisa memperkirakan berapa jumlahnya,” kata Baryanto.
Ibu dari Baryanto adalah satu dari 63 pasien di RSUP Dr.Sardjito yang meninggal dalam periode 24 jam, antara Sabtu (3/7) pagi hingga Minggu (4/7) pagi. Rumah sakit tersebut mengalami krisis oksigen dan telah mengupayakan pemenuhan kebutuhan sejak 29 Juni 2021.
Puncak krisis terjadi, menurut keterangan resmi rumah sakit, terjadi karena lonjakan kedatangan pasien pada Jumat (2/7). Dari 63 pasien meninggal periode itu, menurut data rumah sakit, 33 pasien meninggal usai sistem oksigen sentral mati pukul 20.00 hari Sabtu. Namun, direktur rumah sakit ketika itu berpendapat, kematian itu tidak terkait langsung krisis oksigen. Komite medis RSUP Dr.Sardjito saat ini tengah bekerja untuk menyelidiki kasus tersebut.
Sangat Tergantung Oksigen
Baryanto, warga Klaten, Jawa Tengah, awalnya merawat sang ibu di rumah. Namun saturasi oksigen yang terus turun hingga kisaran 60 memaksanya mencari rumah sakit di Yogyakarta. Beberapa yang dia datangi penuh, hingga dia memutuskan menuju ke RSUP Dr.Sardjito, yang ternyata sedang mengalami tren kenaikan kedatangan pasien. Waktu mereka tiba, hanya ada satu tenda di halaman IGD, sehari kemudian ada tambahan dua tenda lagi.
Awalnya, sang ibu dirawat di poli COVID-19, RSUP Dr.Sardjito. Karena saturasi terus turun, pada Sabtu 3 Juli, Baryanto meminta ibunya dirawat di IGD. Kesempatan datang sekitar pukul 17.00 WIB. Dia bersyukur akhirnya sang ibu bisa dirawat dengan mesin HFNC. Pasokan dari mesin beraliran tinggi itu membuat saturasi naik, hingga mendekati 90. Baru sekitar lima jam di ruang IGD, masalah muncul. Bunyi mesin HFNC di sisi ranjang ibunya, terekam betul dalam ingatannya.
“Yang pertama kalau enggak salah, yang bunyi itu mesinnya ibu. Saya coba konfirmasi ke dokter. Kata dokter, ini mesin bunyi enggak masalah. Selang beberapa menit, dokter menaikkan pasokan oksigen, yang pertama di angka 30 lalu dinaikkan 50, kalau enggak salah. Tapi mesin tetap bunyi terus. Pada saat dinaikkan, informasi dari dokter mesin ada gangguan dari pusat,” papar Baryanto.
Karena HFNC tidak bisa berfungsi maksimal, menurut Baryanto dokter mengganti asupan oksigen ibunya dengan tabung dan memakai masker oksigen (oxygen mask). Saturasi ibunya langsung turun ke angka 60, 50 hingga pelan-pelan drop ke angka 20. Dokter memindahkan pasien ke ruangan lain, tetapi tindakan itu tidak cukup menolong.
Dokter menerangkan ke Baryanto, bahwa kondisi ini akan membuat ibunya kelelahan nafas, yang bisa mengakibatkan henti nafas atau gagal jantung. Dia akhirnya kehilangan sang ibu sekitar pukul 01.00 WIB, Minggu (4/7), sekitar empat jam setelah oksigen sentral di RSUP Dr.Sardjito mati.
Sekitar pukul 16.30, atau lima belas jam sesudahnya, jenazah sang ibu baru bisa dibawa pulang Baryanto. Dia mengatakan, ibunya ada di nomor antrian 48 hari itu di ruang jenazah. Baru pada siang hari itulah, berkat informasi sesama keluarga pasien, dan penuturan seorang dokter, dia tahu bahwa semalam, ketika ibunya berjuang untuk bertahan, rumah sakit mengalami krisis oksigen.
Kekagetan Keluarga Pasien dan Dokter
Kisah lain dipaparkan Johny, yang mertuanya dinyatakan positif COVID-19. Tanggal 25 Juni, sang ibu mertua merasakan demam, mereka melakukan swab PCR, cek darah dan rontgen di RSUD Dr. Sardjito. Ada dugaan COVID-19, tetapi hasil tes harus ditunggu beberapa hari dari mereka isoman. Dokter juga mengatakan tidak menemukan penyakit penyerta.
Di tengah isoman, saturasi mertua Johny turun hingga 80 pada 30 Juni 2021. Mereka memutuskan untuk kembali ke Sardjito.
“Sewaktu cek di Sardjito, saturasi 70, langsung direkomendasikan masuk IGD, ditangani disana. Oleh dokter dipasang alat-alat untuk suplai oksigen. HFNC ya. Saturasi kembali normal, bisa sampai 90, 96 bahkan sampai 99 waktu itu,” papar Johny.
Sejauh ini, ibu mertua Johny hanya mengalami masalah pernafasan, dia dinyatakan tidak memiliki komorbid. Sehari berada di IGD, dia kemudian dipindah ke bangsa GK 1 pada 1 Juli 2021.
“Saya koordinasi dengan dokter. Kondisinya baik, tidak ada masalah apa-apa,” kata Johny.
Hari Jumat, Johny menitipkan telepon genggam untuk ibunya, Sabtu pagi sang ibu menelepon meminta kiriman selimut. Sorenya, kata Johny, ibu mertuanya juga menelepon. Kabar dari dokter mengatakan kondisinya masih tidak ada masalah, saturasi 90 dengan HFNC terpasang. Namun pukul 21.00, Johny menerima kabar berubah, ibu mertuanya dinyatakan meninggal dunia. Johny langsung menelepon dokter yang merawat ibu mertuanya.
“Saya tanya, Pak ini ibu saya bagaimana, kok tahu-tahu bisa innalillahi (wafat-red) begini. Dokter enggak percaya, saya dikira guyon. Dokter bilang, enggaklah Pak, tadi sore saya di sana memeriksa kondisinya, juga tidak mengkhawatirkan, saturasi masih di atas 90,” kata Johny mengutip dokter.
Johny tidak paham tentang krisis oksigen yang terjadi, karena itulah dia heran dengan kepergian ibu mertuanya, seperti juga dokter yang merawatnya. Baru pada Minggu siang 4 Juli, seorang kawannya menelepon dan menginformasikan apa yang terjadi.
“Waktu itu, ibu saya meninggal urutan yang ke-36 dari keterangan rumah sakit,” tambahnya.
Dia tidak mempertanyakan lebih dalam. Johny hanya mengaku, mencoba menghubungkan semua yang terjadi, terkait krisis oksigen dan kematian ibunya pada pukul 21.00, atau sekitar 1 jam setelah sistem oksigen sentral mati.
“Apakah karena jam delapan itu oksigen mulai habis? Saya kurang tahu. Tapi saya korelasikan kok jam 9 itu ibu saya sudah tidak ada, meninggal. Jadi kemungkinkan, ya penyebabnya itu. Meskipun memang positif COVID-19,” paparnya.
Beban Berlipat Seketika
Bagi mayoritas keluarga pasien, krisis oksigen yang melanda RSUP Dr.Sardjito hanya bisa dirasakan di area sekitar ruang forensik. Pasien COVID-19 tidak mungkin dijaga oleh keluarga, kecuali jika mereka juga terkonfirmasi positif.
Indri, keluarga salah pasien bercerita bagaimana dia harus menjalani malam itu untuk memastikan jenazah Pakde-nya terurus dengan baik.
“Sabtu malam kami dikabari kalau Bapak itu keadaannya memburuk, terus disuruh ke Sardjito. Kita sampai sana jam 12 lebih (Minggu dini hari-red), dikasih tahu disana kalau Bapak sudah tidak ada jam 11.30, dan diminta menunggu saja di ruang forensik,” ujar Indri.
Indri menanyakan ke staf rumah sakit, pukul berapa dia bisa menerima jenazah Pakde-nya. Namun semua tidak jelas, begitu banyak yang harus ditangani. Dari bangsal tempat Pakde-nya dirawat saja, ada antrian empat jenazah. Belum dari bangsal-bangsal yang lain. Dia akhirnya hanya bisa menunggu di depan ruang forensik, dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana kondisi rumah sakit yang ternyata mengalami krisis oksigen.
“Pas itu ada Brimob mengantar oksigen. Itu sekitar jam 1 kurang, itu oksigennya pada datang. Terus yang di sana, sudah banyak, yang mau ambil jenazah sudah banyak. Sampai Minggu subuh itu masih belum ada kabar,” ujar Indri.
Sampai saat itu, Indri belum tahu bahwa terjadi krisis oksigen di Sardjito. Dia hanya mengaku, di depannya hilir mudik staf rumah sakit sambil sibuk menelepon dan membawa tabung-tabung oksigen. Selain itu, dia juga melihat bagaimana perawat naik turun mengantar jenazah ke ruang forensik setiap saat.
Awalnya, kata Indri, jenazah diambil berdasar nomor urut kematian. Namun karena terlalu banyak, petugas akhirnya mengambil jenazah berbarengan sesuai bangsal di mana dia dirawat sebelumnya, agar tidak menguras tenaga. Kondisi menimbulkan protes keluarga pasien, karena belum tentu yang memiliki nomor urut kecil, jenazah tiba terlebih dahulu.
“Kebetulan Pakde saya nomor 61, tapi sudah turun. Ada keluarga pasien nomor 44, belum turun. Tapi karena dia ada di bangsa bougenvil. Kan agak jauh, jadi itu membuat heboh, terjadi selisih paham di sana di ruang forensik itu,” kata Indri.
Jenazah Pakde Indri sendiri tiba di ruang jenazah pukul 14.00 hari Minggu.
Tertinggal Pemakaman
Begitu banyak yang harus diurus di ruang jenazah, bahkan ada keluarga pasien yang tertinggal proses pemakaman, seperti yang terjadi pada Pak Amarzoni. Dia yang kelelahan menunggu antrian jenazah, harus rela tidak menyaksikan penguburan sang istri.
“Saya di depan ruang forensik, di bangku, sambil menunggu itu saya tertidur kelelahan. Lalu ambulans yang menjemput jenazah istri saya jam 05.00 pagi sudah berangkat ke pemakaman. Lalu saya tersentak sekitar jam 08.00 pagi, lalu saya menanyakan di ruangan jenazah, bahwa istri saya sudah dibawa oleh pengangkat jenazah. Lalu saya kejar ke pemakaman, ternyata sudah dimakamkan,” papar Zoni.
Zoni mengantar istrinya pada Sabtu, berboncengan sepeda motor. Setelah proses pemeriksaan, Zoni pulang untuk mengambil baju ganti dan membeli sejumlah barang. Sayang, begitu sampai kembali ke rumah sakit, istrinya sudah masuk bangsal isolasi. Melalui telepon, dia menanyakan kondisi istrinya yang ketika itu, dari nada suaranya, disimpulkan istri Zoni masih mengalami sesak.
Setelah dirawat beberapa jam, istri Zoni dinyatakan meninggal pada Minggu pukul 00.30 WIB. Zoni sendiri baru menerima kabar, ketika dia datang kembali ke rumah sakit pukul 14.00 WIB. “Saya kaget. Saya mau marah-marah. Mau gimana. Rasanya mau menjerit. Tapi gimana,” tambahnya.
Setelah itu, dia mengurus surat-surat yang diperlukan dan menunggu di depan ruang forensik. Minggu dini hari, di tengah hilir mudik jenazah pasien lain, dia kelelahan dan tertidur di bangku depan ruang forensik. Telepon genggamnya mati kehabisan daya. Petugas membawa jenazah ke pemakaman pukul 05.00 hari Senin, dan Zoni baru terbangun empat jam setelah keberangkatan itu.
Dia akhirnya menyusul ke makam, tetapi hanya mendapati gundukan tanah tempat istrinya terbaring selamanya. [ns/ab]
Tulisan ini merupakan kolaborasi jurnalis tujuh media terkait pandemi, yaitu: Kompas, Gatra, IDN Times, Tirto.id, Harian Jogja, CNN INdonesia TV, dan VOA Indonesia