Komisariat PBB ini melaporkan 17.000 pengungsi berada di kamp transit Tunisia menunggu dipulangkan, mereka berasal dari 25 negara, kebanyakan dari Bangladesh.
UNHCR mengatakan ada sekitar 800 orang yang tidak bisa dipulangkan karena berasal dari negara terlibat konflik seperti Somalia. Komisariat tersebut menjanjikan solusi lain bagi mereka.
Baik UNHCR maupun International Organization for Migration (IOM) mengupayakan penerbangan jarak jauh dengan tujuan negara Asia lainnya dan sub-sahara Afrika untuk mengatasi penumpukan pengungsi.
Juru Bicara UNHCR, Melissa Fleming mengatakan pengungsi yang baru datang harus melewati lebih dari 100 pos pemeriksaan antara ibukota Libya, Tripoli dan Ras Adjir yang berbatasan dengan Tunisia.
“Kita telah mendengar laporan yang terpercaya, lagi dan lagi, bahwa telepon, kartu SIM, dan uang tunai telah diambil di pos pemeriksaan itu. Telah terjadi juga ancaman dan diskriminasi berdasar warna kulit di seluruh negeri. Meningkatnya pertempuran di wilayah barat menyebabkan gangguan pelayanan rumah sakit dan banyak pengungsi yang baru tiba mengatakan mereka takut keluar rumah untuk mencari makanan” ujar Flemming.
Fleming mengatakan beberapa pengungsi Eritrea dan Somalia yang baru saja tiba di Tunisia memeberitahu pekerja kemanusiaan mengenai teman dan keluarga mereka di Tripoli yang terlalu takut untuk keluar rumah, tempat penampungan atau persembunyian untuk bepergian ke daerah perbatasan.
Lebih lanjut Fleming mengatakan UNHCR dan badan kemanusiaan lainnya di Tripoli sejauh ini telah menerima hampir 800 permintaan bantuan dari pengungsi dan pencari suaka pada hotline 24 jam Komisariat tersebut. Para pengungsi meminta Komisariat tersebut mencarikan mereka dokumen yang dibutuhkan untuk meninggalkan Libya. Banyak yang mengungkapkan kekuatiran bahwa mereka akan terjebak dalam pertempuran.
Fleming mengatakan diperkirakan 4.500 orang terkatung-katung di perbatasan Mesir, dan kebanyakan berasal dari Bangladesh. Ia mengatakan kebanyakan pengungsi itu tidur di alam terbuka dibawah cuaca dingin.
UNHCR melaporkan lebih dari 230.000 orang telah melarikan diri dari Libya sejak pemberontakan dimulai di pertengahan Januari.