Kalau orang bicara tentang Majelis Umum PBB mereka menghubungkannya dengan sidang tahunan, yaitu pertemuan para pemimpin dunia di podium marmer hijau dan bicara tentang keprihatinan utama negara mereka masing-masing.
Meski perhatian tahun ini tampaknya akan terpusat pada pidato negara-negara yang terlibat dalam kebangkitan di Timur Tengah, atau biasa disebut “Arab Spring,” dan krisis keuangan zona Euro, tindakan nyata sesungguhnya akan terjadi jauh dari podium dalam perundingan-perundingan tertutup antar para pemimpin dan acara di sela-sela perundingan yang dihadiri para menteri dan bahkan kadangkala presiden dan perdana menteri negara bersangkutan.
Krisis Afrika jelas ada dalam daftar ini, di mana pertemuan tingkat tinggi terpisah dijadwalkan akan membahas masalah kelaparan dan aksi kekerasan di Sahel, sengketa antara Sudan dan Sudan Selatan, serta transisi di Somalia.
Tetapi, tampaknya pertemuan ini akan dibayang-bayangi oleh konflik di Suriah yang telah berlangsung selama satu setengah tahun ini, di mana lebih dari 20.000 orang tewas dan jutaan lainnya membutuhkan bantuan kemanusiaan segera.
Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mengatakan kepada wartawan, Suriah merupakan prioritas utamanya.
“Saya akan mengadakan pertemuan bilateral dengan lebih dari 120 kepala negara saat ini. Suriah akan menjadi agenda utama saya. Saya yakin Suriah juga menjadi agenda utama setiap kepala negara. Jadi, kami akan menghadapi masalah ini sebagai yang paling penting,” ujar Ban.
Dewan Keamanan PBB terpecah dalam menangani masalah Suriah, karena Rusia dan Tiongkok menggunakan hak veto mereka sebanyak tiga kali untuk memblokir tindakan Dewan Keamanan. Terlepas dari kebuntuan itu, Dewan Keamanan PBB hari Rabu akan tetap menyelenggarakan pertemuan dengan para menteri Liga Arab guna membahas hubungan mereka yang juga akan menjadi forum untuk membahas tentang Suriah.
Tetapi, peneliti senior Century Foundation, Jeffrey Laurenti, mengatakan, kecil kemungkinan Dewan Keamanan PBB akan bisa menyudahi kebuntuan yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan melakukan hal berarti untuk mengakhiri krisis di Suriah.
“Ini karena Rusia dan Tiongkok, serta negara-negara lain, termasuk Pakistan, sangat keberatan untuk memaksa pemerintah yang berdaulat dan diakui dunia agar menyerahkan kekuasaan, dan sekarang Amerika, negara-negara Eropa Barat, dan banyak negara Arab di sekitar Arab Saudi, dan kini Mesir, yang percaya bahwa Presiden Bashar al Assad harus mengundurkan diri,” paparnya.
Potensi krisis lain yang akan menjadi perhatian negara-negara adidaya adalah program nuklir Iran. Amerika dan beberapa negara lain khawatir Iran ingin membangun bom nuklir, tetapi Iran mengatakan program nuklirnya bertujuan damai. Laporan terbaru dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyatakan, Iran tidak melakukan cukup hal untuk meredakan kekhawatiran bahwa tujuan program nuklirnya tidak berdimensi militer.
Meski perhatian tahun ini tampaknya akan terpusat pada pidato negara-negara yang terlibat dalam kebangkitan di Timur Tengah, atau biasa disebut “Arab Spring,” dan krisis keuangan zona Euro, tindakan nyata sesungguhnya akan terjadi jauh dari podium dalam perundingan-perundingan tertutup antar para pemimpin dan acara di sela-sela perundingan yang dihadiri para menteri dan bahkan kadangkala presiden dan perdana menteri negara bersangkutan.
Krisis Afrika jelas ada dalam daftar ini, di mana pertemuan tingkat tinggi terpisah dijadwalkan akan membahas masalah kelaparan dan aksi kekerasan di Sahel, sengketa antara Sudan dan Sudan Selatan, serta transisi di Somalia.
Tetapi, tampaknya pertemuan ini akan dibayang-bayangi oleh konflik di Suriah yang telah berlangsung selama satu setengah tahun ini, di mana lebih dari 20.000 orang tewas dan jutaan lainnya membutuhkan bantuan kemanusiaan segera.
Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mengatakan kepada wartawan, Suriah merupakan prioritas utamanya.
“Saya akan mengadakan pertemuan bilateral dengan lebih dari 120 kepala negara saat ini. Suriah akan menjadi agenda utama saya. Saya yakin Suriah juga menjadi agenda utama setiap kepala negara. Jadi, kami akan menghadapi masalah ini sebagai yang paling penting,” ujar Ban.
Dewan Keamanan PBB terpecah dalam menangani masalah Suriah, karena Rusia dan Tiongkok menggunakan hak veto mereka sebanyak tiga kali untuk memblokir tindakan Dewan Keamanan. Terlepas dari kebuntuan itu, Dewan Keamanan PBB hari Rabu akan tetap menyelenggarakan pertemuan dengan para menteri Liga Arab guna membahas hubungan mereka yang juga akan menjadi forum untuk membahas tentang Suriah.
Tetapi, peneliti senior Century Foundation, Jeffrey Laurenti, mengatakan, kecil kemungkinan Dewan Keamanan PBB akan bisa menyudahi kebuntuan yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan melakukan hal berarti untuk mengakhiri krisis di Suriah.
“Ini karena Rusia dan Tiongkok, serta negara-negara lain, termasuk Pakistan, sangat keberatan untuk memaksa pemerintah yang berdaulat dan diakui dunia agar menyerahkan kekuasaan, dan sekarang Amerika, negara-negara Eropa Barat, dan banyak negara Arab di sekitar Arab Saudi, dan kini Mesir, yang percaya bahwa Presiden Bashar al Assad harus mengundurkan diri,” paparnya.
Potensi krisis lain yang akan menjadi perhatian negara-negara adidaya adalah program nuklir Iran. Amerika dan beberapa negara lain khawatir Iran ingin membangun bom nuklir, tetapi Iran mengatakan program nuklirnya bertujuan damai. Laporan terbaru dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyatakan, Iran tidak melakukan cukup hal untuk meredakan kekhawatiran bahwa tujuan program nuklirnya tidak berdimensi militer.