Para kelompok pembela kebebasan pers meminta dunia untuk melihat catatan kriminalisasi terhadap para jurnalis yang terjadi di China menyusul akan dimulainya Olimpiade Musim Dingin Beijing dalam dua pekan mendatang.
Dalam daftar terbaru jurnalis yang terancam bahaya yang dirilis setiap bulan, kelompok advokasi One Free Press Coalition mengalokasikan sepuluh spot yang tersedia dalam daftar tersebut bagi jurnalis yang bertugas di China dan Hong Kong. Kelompok advokasi tersebut terdiri dari lebih 30 perusahaan media dan kelompok pembela hak asasi manusia.
Jimmy La, pendiri surat kabar prodemokrasi di Hong Kong -Apple Daily- dan Zhang Zhan, seorang pengacara yang beralih profesi menjadi jurnalis, berada di urutan teratas. Zhang telah dipenjara sejak Mei 2020 karena reportasenya mengenai pandemi di Wuhan yang ia luncurkan lewat kanal YouTube.
China berada dalam peringkat teratas dalam daftar negara yang memenjarakan para jurnalis selama tiga tahun berturut-turut, demikian menurut data milik organisasi Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York. Hingga Desember 2021, setidaknya 50 jurnalis telah dipenjara karena hasil reportase mereka, termasuk di antaranya reportase soal pandemi COVID-19.
“Apakah itu situasi yang Komite Olimpiade Internasional (IOC) anggap sebagai situasi di mana pertandingan dapat berjalan secara bebas dan terbuka? Di mana para atlet dapat berkompetisi dan merayakan sesuai standar Olimpiade?” kata Steven Butler, program kordinator CPJ untuk wilayah Asia. CPJ adalah bagian dari One Free Press Coalition.
Ketika Beijing menggelar Olimpiade pada 2008, “China membuat komitmen yang tidak bisa dipegang,” ujar Butler kepada VOA. “Untuk kebaikan semangat Olimpiade, (IOC) haruslah lebih berhati-hati dalam memilih tempat seperti China.”
Amerika Serikat (AS), Kanada, dan beberapa negara lainnya telah mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing karena catatan buruk mengenai hak asasi manusia yang dimiliki oleh China. Pemerintah China lalu merespons langkah tersebut dengan mengatakan bahwa Washington harus “berhenti mempolitisasi olahraga.”
Dalam email yang dikirim kepada VOA, tim relasi media IOC mengatakan bahwa pihaknya “Mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Asas Fundamental Piagam Olimpiade dan kode etik organisasinya.”
Namun, IOC juga mengatakan bahwa mereka “tidak memiliki mandat ataupun kapasitas untuk mengubah hukum atau sistem politik dari sebuah negara yang berdaulat.”
Email tersebut juga menyebutkan bahwa IOC sedang berusaha untuk meningkatkan bidang hak asasi manusianya, dan organisasi tersebut tengah bekerja sama dengan panitia pelaksana dari setiap perhelatan Olimpiade mengenai isu seperti kondisi tenaga kerja, keberagaman, lingkungan, liputan media, dan juga hak untuk protes.
“Melihat itu semua, kami merasa (Olimpiade) Beijing 2022 telah memperhatikan semua kewajibannya, dan kami tidak memiliki alasan tertentu untuk meragukan pelaksanaan mereka (terhadap kewajiban tersebut),” tulis IOC dalam email tersebut.
IOC juga menambahkan bahwa “Karena beragamnya negara yang berpartisipasi dalam Olimpiade, IOC harus tetap berada dalam posisi netral mengenai semua isu politik global.”
Kelompok Hak Asasi Manusia Internasional mengatakan bahwa secara global, pandemi COVID-19 telah membuat pemerintah memiliki kontrol yang lebih banyak mengenai informasi yang beredar, dan China tidak sendirian dalam memenjarakan para jurnalis atas reportase-reportase penting yang beredar. Fakta yang menunjukkan bahwa virus cepat dapat menular di ruangan tertutup membuat risiko bagi mereka yang terpenjara menjadi semakin besar.
Jurnalis yang kondisi kesehatannya tidak baik, seperti Zhang, memiliki risiko yang tinggi.
Kondisi kesehatan dari jurnalis yang pernah mendapatkan penghargaan RSF Courage in Journalism telah memburuk setelah ia melakukan aksi mogok makan di dalam penjara. Jurnalis berusia 38 tahun itu sempat dirawat di rumah sakit selama 11 hari pada Agustus lalu.
Walaupun keluarga Zhang telah melaporkan berbagai masalah kesehatan yang dideritanya, ia tetap harus kembali ke penjara. Kelompok pembela hak asasi manusia mengatakan bahwa Zhang memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan atau asupan nutrisi yang cukup.
Saudara Zhang, Ju, telah mengatakan bahwa berat badan Zhang telah merosot di bawah 40 kilogram.
“Dokter telah memperingatkan saya Agustus lalu bahwa Zhang dapat meninggal jika ia terus melakukan aksi mogok makan,” Zhang Ju mengatakan kepada VOA pada November. “Otoritas penjara telah menahan Zhang dan memaksanya makan dengan menggunakan selang.”
Departemen Luar Negeri AS dan kelompok pembela hak asasi, termasuk di antaranya PEN, telah meminta Beijing untuk membebaskan Zhang.
“Zhang tidak seharusnya dipenjara. Kejahatan yang dimaksud hanyalah mendokumentasikan apa yang terjadi di Wuhan di awal pandemi COVID-19 terjadi,” kata James Tager, Direktur Riset PEN AS kepada VOA.
“Saat ini di tengah kekhawatiran akan kondisi kesehatannya yang memburuk, kita menghadapi kenyataan yang mengerikan bahwa hidup Zhang saat ini berada dalam risiko besar, dan itu semua terjadi akibat pemerintah China yang menganggap laporan yang ia buat sebagai kejahatan yang harus diganjar hukuman penjara selama bertahun-tahun," tukasnya.
Ketika ia didakwa telah “menyebabkan pertengkaran dan memicu masalah” pada Desember 2020, proses pengadilan tersebut hanya berjalan selama tiga jam. PEN International mengatakan bahwa pengadilan tersebut tidak memenuhi standar internasional.
Pada saat itu, Zhang telah berada di dalam penjara setidaknya selama tujuh bulan dan kondisi kesehatannya telah memburuk. Ia hadir dalam persidangan dengan menggunakan kursi roda, menurut keterangan PEN.
Pihak berwenang China mencabut izin Ren Quanniu, pengacara Zhang, sebagai kuasa hukum. Ren sebelumnya juga dikenal memberikan bantuan hukum untuk kasus-kasus sensitif di ranah politik.
Zhang telah dipenjara lebih dari 18 bulan, tetapi jurnalis lainnya yang berada dalam daftar yang dirilis One Free Press Coalition telah dipenjara lebih lama dari itu. Mereka di antaranya adalah blogger asal Uyghur Ilham Tohti, yang ditahan pada 2014, dan jurnalis Uyghur Gulmire Imin, yang telah dipenjara sejak 2009 setelah melaporkan pemberontakan dan protes yang terjadi di wilayah Xinjiang.
Dalam daftar tersebut, terdapat juga nama Haze Fan, seorang reporter untuk media Bloomberg yang telah ditahan lebih dari setahun dan kasusnya belum juga disidangkan. Jurnalis Hong Kong lainnya juga berada dalam daftar tersebut.
Selain Lai, yang didakwa atas keterlibatannya dalam aksi protes prodemokrasi dan tengah menunggu persidangan atas kasus terpisah berkaitan dengan Undang-undang Keamanan Nasional Hong Kong, One Free Press Coalition juga memasukan nama jurnalis radio, Wan Yiu-sing. Ia ditahan kepolisian Kota Hong Kong pada Februari 2021. [rs/ah]