Sebuah editorial surat kabar China yang mengeluhkan campur tangan pemerintah di media dan “meningkatkan restriksi” terhadap wartawan China telah dihapus dari situs web harian itu.
Komentar dalam bahasa Inggris itu diterbitkan pada Senin (8/11) di Global Times, surat kabar nasionalis yang dikontrol Partai Komunis China.
“Saya sangat merasa bahwa semakin sulit untuk menjalankan media,” kata Hu Xijin, pemimpin redaksi Global Times dalam editorial itu.
Hu lebih dikenal karena kecaman-kecamannya terhadap AS, khususnya ketika hubungan AS-China memburuk. Namun, dalam editorial Senin itu, ia malah mengkritik Beijing.
“Terus terang, praktisi media telah mengalami restriksi yang meningkat selama beberapa waktu,” kata Hu. Campur tangan itu, lanjutnya, dapat “berdampak pada fungsi media sebagai sumber berita” dan menyebabkan hilangnya “kredibilitas dan efektivitas juang.”
“Sebagai garda terdepan, mereka harusnya dipercaya dan memiliki ruang independen untuk melakukan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman,” lanjutnya.
Pada hari Kamis, editorial itu tidak dapat ditemukan di situs berbahasa Inggris Global Times. Editorial ini diganti dengan pernyataan 404 “laman tidak ditemukan.” Akun Twitter Global Times menghapus cuitan sebelumnya yang mengaitkannya dengan tulisan itu. Editorial tersebut juga tidak dapat ditemukan di situs web bahasa Mandarin surat kabar itu.
Hu tidak segera menanggapi pertanyaan VOA mengenai mengapa artikel itu tidak dapat diakses.
Hu memiliki riwayat yang rumit. Meskipun ia dianggap sebagai sosok penyerang dari Partai Komunis, Hu mengklaim dirinya sebagai mahasiswa pengunjuk rasa dalam demonstrasi prodemokrasi 1989 di Lapangan Tiananmen, China. Ia kemudian berpaling dari gerakan itu, menyatakan dirinya naif. Ia kini membela tindakan keras China di Tiananmen, yang menewaskan ratusan atau bahkan ribuan demonstran.
Baru-baru ini, Hu mendapat perhatian di media Barat karena serangan lisannya yang tajam terhadap AS dan pembelaannya yang hampir tiada henti mengenai kebijakan China. Hu menyampaikan sebagian besar serangan paling tajamnya di Twitter, yang diblokir di China daratan bersama dengan hampir semua situs media sosial Barat besar lainnya. Kadang-kadang, ia dikritik karena berbicara secara gegabah mengenai kemungkinan perang antara AS dan China.
Dalam artikelnya yang ditulis secara hati-hati pekan ini, Hu tidak menyebut tentang seruan bagi media China untuk beroperasi dengan independensi penuh. Tujuannya, ujar Hu, bukanlah menjadikan media China seperti New York Times atau BBC, tetapi menjadi “media dengan karakteristik China” yang dapat “menggali sendiri cara-cara yang mendukung kebijakan negara.”
Hu tidak menyebutkan jenis campur tangan pemerintah yang ia tentang, tetapi pada beberapa hal ia tampak mengkritik campur tangan oleh “departemen pemerintah dan pemerintah lokal.”
China sedang berada di tengah kampanye luas yang tampaknya dimaksudkan untuk mendorong kemurnian ideologi dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat China. Sebagian dari kampanye itu telah menarget media, meskipun berbagai pembatasan semacam itu bukan hal baru.
Pemerintah China berusaha mempertahankan kontrol ketat atas semua diskusi di Internet dan media massa, terutama pada saat-saat sensitif seperti wabah virus corona. Dalam beberapa tahun ini, Beijing juga telah mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk organ-organ media pemerintahnya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Media pemerintah China secara khusus memuji-muji presiden Xi Jinping menjelang pertemuan penting Partai Komunis pekan ini, yang disiapkan untuk memuluskan jalan bagi perpanjangan kekuasaannya. [uh/ab]