Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan 75 pegawainya tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri. Pelaksanaan ujian itu memicu polemik karena mereka yang disebut-sebut tidak lulus termasuk para penyidik senior yang telah dan tengah mengusut kasus korupsi kakap, meski KPK belum merinci siapa yang lulus dan tidak lulus ujian tersebut.
Selain itu soal-soal yang ditanyakan dalam tes wawasan kebangsaan itu dinilai banyak yang tidak relevan.
Mengkritisi hal itu mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas dalam konferensi pers hari Jumat (7/5) mengajak para publik untuk menyelamatkan KPK.
"Kita dorong jangan sampai 75 pegawai KPK itu dipaksa mundur dengan dalih apapun juga. Karena tes wawasan kebangsaan itu tidak memiliki legitimasi moral, legitimasi akademis, maupun metodologi," kata Busyro.
Ditambahkannya, nilai-nilai kebangsaan sekarang bukan saja terancam tapi terus digerus oleh mesin korupsi yang semakin canggih dengan menggunakan kekuatan imperium buzzer-buzzer politik.
Busyro mengakui gerakan politik untuk memutilasi KPK sudah berlangsung lama, sejak 2010 hingga 2015. Namun, upaya tersebut tidak berhasil karena KPK waktu itu masih independen dan kekuatan masyarakat sipil sangat solid melakukan perlawanan sehingga gerakan politik untuk melemahkan KPK di periode itu kandas.
Gerakan politik untuk melemahkan KPK tidak terus berlanjut hingga akhirnya pada 2019 berhasil melahirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi yang merupakan hasil revisi dari beleid sebelumnya.
Menurut Busyro, revisi Undang-undang KPK itu menjadi bukti nyata upaya melumpuhkan lembaga pemberantasan korupsi, yang dalam undang-undang lama bersifat independen dan mampu membuktikan independensinya.
Busyro menambahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan sengaja menghapus kata dan karakter independen dari KPK. Selain itu, menjadi kejanggalan karena seleksi pimpinan KPK yang baru melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan tidak ada keterbukaan informasi.
Aturan hukum yang baru itu juga mensyaratkan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri. Namun, tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK malah memicu kehebohan karena banyak pertanyaan dalam ujian itu tidak relevan.
Pada kesempatan yang sama, penggiat antikorupsi dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang dirilis Selasa (4/5) merupakan sentuhan akhir dari sebuah kejahatan sempurna untuk melumpuhkan KPK. Putusan itu menolak gugatan yang diajukan sejumlah mantan pimpinan KPK dan aktivis antikorupsi untuk membatalkan undang-undang KPK yang baru.
"Memang ada upaya kriminalitas yang dirancang, disusun sedemikian rupa, dikontrol oleh kekuasaan besar, manajemen kejahatan yang luar biasa, serta permainan politik tingkat tinggi. MK (Mahkamah Konstitusi) kemudian menyempurnakan itu semua melampaui nalar-nalar hukum, moralitas, maupun akal sehat, serta nilai-nilai budaya yang sebenarnya kita yakini harusnya ada dalam konstitusi republik ini," ujar Zainal.
Zainal meyakini ada semacam orkestrasi untuk membunuh KPK secara terencana dan Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari itu ketika Mahkamah Konstitusi membacakan putusan yang menolak gugatan untuk membatalkan Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ini mencakup perubahan Undang-Undang KPK, seleksi komisioner yang bermasalah, pengisian jabatan melalui penunjukan, dan kini proses alih fungsi pegawai KPK menjadi paratur sipil negara.
Zainal mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan untuk membatalkan revisi Undang-undang KPK merupakan kejahatan yang menyebabkan dua kematian, yakni mengancam kehidupan KPK sehingga sekarang ini sekarat dan kematian moralitas hakim-hakim di mahkamah Konstitusi.
KPK: 75 dari 1.274 Pegawai KPK Tak Lulus
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Rabu 5/5), menjelaskan selama 8 Maret hingga 9 April 2021, KPK bekerjasama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah melakukan uji wawasan kebangsaan terhadap 1.351 pegawai KPK. Ujian ini merupakan syarat peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri. Dari 1.351 peserta tes, terdapat dua orang tidak hadir pada tahap wawancara.
Nurul mengungkapkan pegawai yang lolos tes wawasan kebangsaan sebanyak 1.274, pegawai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 75 orang, dan pegawai yang tidak hadir wawancara sebanyak dua orang.
Ketua KPK Firli Bahuri tidak mau memberitahu apakah Novel Baswedan termasuk ke dalam 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Dia menambahkan siapa saja yang lolos dan tidak lulus akan diumumkan setelah ada keputusan dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi serta BKN.
Firli menegaskan pula sampai saat ini tidak ada proses untuk memecat pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. [fw/em]