Rencana pemekaran daerah di Papua terus menjadi polemik. Sejumlah pakar menilai, alasan kucuran anggaran melalui daerah pemekaran, tidak otomatis memberi dampak positif bagi tanah Papua.
Pendapat itu, antara lain disampaikan Bernarda Meterey, pengajar di Universitas Cenderawasih, Papua. Bernarda berbicara dalam media briefing, yang diselenggarakan Public Virtue Institute, Rabu (27/4).
Pengalaman 20 tahun penerapan otonomi khusus Papua, dijadikan pijakan penilaian Bernarda. Tidak banyak perubahan signifikan bagi orang asli Papua (OAP). Kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, juga belum bisa memberikan kesejahteraan.
“Dana yang besar, belum mampu meningkatkan akselerasi sumber daya orang asli Papua. IPM Papua, terendah di Indonesia. Peningkatan ekonomi, ketrampilan dan daya beli orang Papua belum optimal. Di Jayapura, tukang sepatu itu non-Papua, tukang jahit non-Papua, sudah sekian puluh tahun,” kata Bernarda.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, juga bersuara sama. Dia membeberkan, data hasil penelitian LIPI dan Asia Foundation pada 2018 yang mencatat, di kabupaten atau kota yang penduduknya didominasi oleh orang non-Papua, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata tinggi, pada kisaran 70. Daerah itu misalnya, kata Cahyo, adalah Kota Sorong, Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Merauke.
“Tetapi kalau kita melihat kabupaten yang penduduknya didominasi oleh OAP, baik di Papua maupun Papua Barat, maka tingkat IPM-nya cukup rendah, ada yang mencapai 46, 50 paling tinggi 60,” ujarnya.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa pembangunan yang selama ini dilaksanakan, justru menimbulkan kesenjangan antara kabupaten didominiasi penduduk OAP dan yang didominasi penduduk non-Papua.
“Apakah pemekaran merupakan solusi? Saya kira, belum tentu. Tidak secara otomatis, karena pemekaran itu dilakukan atas cara pandang Jakarta. Jadi, orang melihat Papua dari Monas, atau melihat Papua dari Senayan. Tidak melihat Papua dari dalam Papua itu sendiri,” lanjut Cahyo.
Pemekaran dinilai Cahyo, didasarkan pada premis bahwa uang adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik Papua. Padahal, semakin banyak uang beredar dan investasi berjalan, masyarakat adat kehilangan daya otonom mereka. Uang, kata Cahyo, juga akan melumpuhkan sendi-sendi dasar kebudayaan orang Papua.
“Pemekaran juga teknologi kekerasan, karena akan dikhawatirkan terjadi re-militerasi. Pembentukan Kodam baru, pembentukan lembaga keamanan baru dan lain-lain,” tambahnya.
Potensi Problem Keamanan
Kekhawatiran yang disampaikan Cahyo itu juga dimiliki peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani.
“Jika terdapat provinsi baru, secara struktural militer, setidaknya dia akan menjadi jalan untuk pembuatan sebuah Komando Daerah Militer baru,” kata Fitriani.
Dari sisi pemerintah, langkah ini tentu sebagai bagian dari upaya membantu menciptakan ketertiban dan keamanan. Namun, harus juga disasari peningkatan kehadiran militer, selama ini tidak atau belum diterima dengan baik oleh masyarakat yang memiliki konflik dan belum selesai.
Pemekaran yang berlangsung terlalu cepat tanpa konsultasi dan kesiapan di daerah, kata Fitriani, dapat meningkatkan rasa ketidakamanan, keresahan, serta kemungkinan kekerasan dan konflik baru.
Pertemuan dengan Presiden
Tokoh Papua yang berada dalam Majelis Rakyat Papua (MPR) telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada Senin (25/4). Mereka didampingi Direktur Esekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid. Selain itu, rombongan ini juga menemui Pimpinan DPR dan petinggi sejumlah partai politik.
Dalam pertemuan dengan media pada Rabu, Usman Hamid membeberkan sejumlah hal yang mereka sampaikan ke Jokowi. Antara lain kenyataan bahwa perubahan UU Otsus dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi dan konsultasi yang bermakna dengan rakyar Papua.
Selain itu, Amnesty International, Public Virtue Institute, dan Koalisi untuk Kemanusiaan di Papua menyatakan, pemerintah seharusnya menjalankan tiga kewajiban mereka. Ketiganya adalah kewajiban memberikan informasi, kewajiban berkonsultasi, dan kewajiban untuk memperoleh persetujuan dengan informasi di awal yang tanpa paksaan.
Ketiga tugas itu dinilai lalai ditunaikan terkait UU Otsus Papua dan rencana pemekaran.
“Tampaknya sebagian pimpinan partai politik mengakui bahwa proses pembuatan itu dibuat secara tergeda-gesa. Karena itu kami ingin mendorong bahwa pelaksanaan UU baru tentang otonomi khusus, setidak-tidaknya ditangguhkan terlebih dahulu pelaksanaannya,” kata Usman.
Selain itu, MRP dan AII juga meminta pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Setidak-tidaknya aspirasi yang disampaikan melalui DPR Papua dan MRP.
Kemampuan Daerah Diragukan
Sementara Ketua MRP Timotius Murib juga menyinggung tidak adanya konsultasi dengan rakyat Papua, dalam proses perubahan UU Otsus dan rencana pemekaran. Penolakan yang dilakukan saat ini, sebenarnya juga memiliki sejumlah alasan masuk akal, misalnya terkait kemampuan daerah sendiri dalam pembangunan nantinya.
“Dari 28 kabupaten dan kota di Papua itu tidak ada Pendapatan Asli Daerah (PAD), kecuali Mimika karena ada Freeport. Tetapi sisanya tidak ada PAD, ketergantungan ke pusat. Terus setelah diberikan provinsi, ini akan seperti apa? Tentu akan membebani APBD. Ini konsekuensi sangat berat,” kata Murib.
Papua juga masih mengalami kekurangan sumber daya manusia asli Papua. Dalam struktur pemerintah provinsi saat ini saja, aparatur pemerintahannya didominasi non-Papua. Jika dilakukan pemekaran, pengisian jabatan tentu akan memperburuk kondisi ini. Seperti disampaikan Wakil ketua MRP, Yoel Luiz Mulait.
“Ini satu problem yang kami lihat agak serius, kalau tiap daerah ini dimekarkan, untuk mengisi pos-pos pemerintahan itu. Saat ini di provinsi Papua, kita bisa lihat dominasinya. Kesiapan SDM ini yang sejak awal tidak dilihat oleh DPR dan pemerintah pusat,” kata Mulait. [ns/ab]