Deradikalisasi, atau upaya mengikis paham radikal di lingkaran pelaku terorisme tidak bisa maksimal hingga saat ini. Pasalnya, sebagai sebuah program, deradikalisasi harus diikuti secara sukarela oleh pelaku teror, misalnya narapidana terorisme. Jika mereka menolak, kata Rahmat Sori Simbolon, negara tidak bisa menindak. Rahmat adalah Koordinator Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
“Itu, konteksnya adalah sebuah tawaran kepada mereka. Kami tetap melakukan itu. Tetapi pertanyaannya adalah, apabila mereka tidak mau mengikuti, hukum kita kan enggak menjangkau sampai ke situ. Ini yang menjadi titik masalah, terhadap mereka-mereka, pelaku yang tidak mau,” kata Rahmat.
Rahmat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia Menurut KUHP Baru." Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, serta Djokosoetono Research Center, FH UI.
Karena itulah, pekan lalu terjadi pengeboman oleh mantan narapidana terorisme di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat.
“Apakah karena deradikaliasi tidak berjalan? Berjalan. Petugas pamong, petugas rutan, Lapas, Densus, BNPT, semua bekerja sama, keroyokan melakukan deradikalisasi. Yang menjadi pertanyaan, bagaimaan kalau dia menutup telinga terhadap apa yang kita perdengarkan, menutup mata terhadap apa yang kita tunjukkan,” tambah Rahmat.
Ade Pasar alias Ade Toha, pelaku peledakan bom di Bandung, adalah contoh narapidana terorisme, yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi. Dalam kasus semacam inilah, kata Rahmat, hukum di Indonesia belum mampu menangani mereka.
“Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang pemerintah atau negara bisa lakukan kepada mereka? Apakah KUHP atau pasal-pasal itu bisa membuat dia takut untuk melakukan tindak pidana selanjutnya? Ternyata enggak,” ujar Rahmat.
Dalam gambaran sederhana, Rahmat mengambil perumpamaan dengan mencontohkan perawat di rumah sakit yang bisa memasang infus, ketika pasien menolak makan. Dalam program deradikalisasi, upaya sejenis tidak bisa diterapkan.
Belum Tentu Berperan Besar
Apakah KUHP baru akan mampu menekan aksi terorisme? Menjawab pertanyaan itu, guru besar hukum UI, Prof Harkristuti Harkrisnowo yang juga menjadi anggota tim perumus KUHP baru, menjawabnya dengan diplomatis.
“Saya bukan peramal juga, ya. Dan yang kami rumuskan dalam KUHP adalah apa yang sudah dirumuskan dalam Undang-Undang Terorisme,” kata dia.
Selama ini, pidana yang diterapkan dalam undang-undang untuk tindak terorisme sudah menerapkan pidana yang berat. Namun, kata Harkristuti, tindak terorisme tetap terjadi.
“Saya tidak berani mengatakan, bahwa KUHP baru akan mengubah. Saya kira itu karena kita tetap memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini. Banyak sekali upaya-upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan di dalam Undang-Undang 5/2018, tapi memang belum semuanya itu dapat terlaksana dengan baik,” tambahnya.
UU 5/2018 adalah UU tentang tindak pidana terorisme, yang menjadi aturan hukum khusus, dan selama ini dipakai dalam kasus-kasus terorisme.
Salah satu yang cukup berbeda dalam KUHP baru, adalah bahwa tindak pidana terorisme dan tindak pidanan pendanaan terorisme tidak dipisahkan.
Penegak Hukum Sambut Positif
Terkait pendanaan ini, menurut Fithriadi Muslim, Direktur Hukum dan Regulasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memang tidak sederhana. Dana bisa datang dari luar negeri untuk aksi teror di Indonesia, atau bisa juga dikumpulkan di Indonesia untuk aksi di luar negeri.
Dalam persoalan ini, kata Muslim, fokus lembaga tersebut ada pada dananya.
“Pendanaan terorisme ini agak unik. Dia itu bermasalah karena penggunaan ataupun tujuan, daripada pemanfataan dana tersebut. Jadi pendanaan terorisme itu, bisa bersumber dari aktivitas yang ilegal bisa juga bersumber dari aktivitas yang sah,” kata Muslim.
Karena itu, tidak mudah menyentuh sisi pendanaan terorisme dari sisi pendanaan. Muslim berharap, KUHP yang baru lebih baik dalam upaya ini.
Dalam sejumlah kasus, dana teroris bisa saja datang dari sumber yang legal.
“Dia dagang misalnya, ada usaha, tetapi jadi masalah ketika uang itu ternyata digunakan untuk mendanai aksi terorisme. Atau diberikan kepada individu teroris, atau organisasi teroris. Ini baru masalahnya,” tambah Muslim.
Sementara Kombes Pol Imam Subandi, dari Densus 88 Antiteror berharap seluruh penegak hukum, mulai polisi hingga hakim, memiliki perspektif yang sama terkait upaya menekan tindak terorisme, kaitannya dengan kehadiran KUHP yang baru.
“UU hanya salah satu elemen dari bentuk crime control and crime prevention, atau crime elimination, yang mungkin tidak akan terwujud elimination itu. Tetapi hanya sebagai kontrol saja,” tegasnya.
“Saya sangat positive thinking sekali, bahwa Undang-Undang KUHP yang baru ini akan sangat kontribusi. Karena kita tidak harus capek-capek membuktikan unsur kesengajaan, dan niat sebenarnya,” tambah Imam.
Dalam KUHP baru memang diatur, bahwa jika tindakan itu sudah dilakukan, maka dipastikan ada niatnya dan ada kesengajaan di dalamnya.
“Semoga ini semakin baik bagi pemberantasan terorisme dan bagi penegakan hukum tindak pidana terorisme, sekaligus juga melindungi hak asasi manusia kita semua,” ujar Imam lagi. [ns/ab]
Forum