Peristiwa bom bunuh diri di Markas Kepolisian Sektor Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu, (7/12), membuat banyak pihak menyoroti soal seberapa jauh keberhasilan program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, pelaku pengeboman, Agus Sujarno, adalah mantan terpidana kasus terorisme.
Agus bebas tahun lalu setelah mendekam dalam penjara di Nusakambangan selama empat tahun karena terlibat Bom Cicendo pada 2017.
Pengamat sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail kepada VOA, Sabtu (10/12), menjelaskan sekitar 8 hingga 10 persen dari jumlah mantan narapidana kasus terorisme terlibat kembali baik secara langsung atau tidak langsung dalam tindak pidana terorisme.
Noor Huda mengakui program deradikalisasi tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian, dan badan intelijen yang memiliki personel terbatas.
Keterbatasan sumber daya tambahnya juga dianggap menjadi kendala besar untuk mengawasi secara saksama para mantan terorisme yang sudah kembali ke masyarakat.
Selain itu, Noor Huda juga mengatakan negara tidak bisa memaksa narapidana kasus terorisme mengikuti program deradikalisasi atau bersifat sukarela. Hal inilah juga, tambahnya, yang membuat program deradikalisasi tidak berjalan ideal.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyebutkan Agus menolak mengikuti program deradikalisasi selama di penjara.
Sigit mengatakan Agus masuk ke dalam kelompok merah karena dia sulit untuk diajak bicara dan masih cenderung menghindar.
Hukuman Napiter Lebih Singkat
Faktor lain yang membuat program deradikalisasi tidak optimal adalah hukuman penjara yang lebih pendek daripada masa keterlibatan pelaku dalam jaringan terorisme.
“Hukumannya terlalu pendek. Di dalam jaringan, dia ikut mungkin 20, 15 tahun. Dipenjaranya cuma dua atau tiga tahun. Bagaimana mungkin dia berubah pemikirannya cuma waktu segitu,” ujar Noor Huda.
Hal lainnya adalah intensitas aktor negara dalam bergaul dengan narapidana kasus terorisme atau eks narapidana kasus terorisme kalah dibandingkan kelompok lama mereka.
Karena itu, dia menyarankan BNPT dan Detasemen Khusus 88 Antiteror perlu menggandeng sebanyak-banyaknya aktor untuk ikut dalam program deradikalisasi, seperti kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).
Menurutnya, perlu penguatan kembali desentralisasi penanganan isu terorisme, sehingga tidak berpusat pada Jakarta.
Noor Huda mengatakan isu terorisme juga terkait masalah generasi. Kebanyakan orang yang terlibat jaringan terorisme, ayahnya dulu bagian dari aktivis pejuang, seperti Komando Jihad, Darul Islam, atau Hizbullah.
Pendampingan di Masa Transisi
Direktur Eksekutif SeRVE Indonesia Dete Aliah menjelaskan lembaganya memang menangani rehabilitasi sekaligus reintegrasi narapidana kasus terorisme. Namun dia mengakui pihaknya belum sampai pada tahap mempersiapkan masyarakat untuk menerima kembali kehadiran mantan narapidana kasus terorisme.
"Kami cuma membantu proses ketika dia mencoba untuk membangun kehidupannya kembali. karena biasanya narapidana teroris ketika dia pulang (bebas), nggak punya pekerjaan. Mereka itu pasti mengalami transisi," ujar Dete.
Oleh sebab itu, Dete menilai Agus juga mengalami proses transisi yang tidak bisa berlangsung cepat. Apalagi ketika dibebaskan dari penjara, eks narapidana kasus terorisme tidak memiliki pekerjaan atau uang sehingga terjadi keributan di keluarga.
Kejadian semacam ini, lanjut Dete, dapat membuat mantan narapidana kasus terorisme menjadi kecewa dan bingung sehingga mudah lagi kembali ke jaringan terorisme. Secara kejiwaan, eks narapidana terorisme membutuhkan waktu cukup lama untuk menata lagi kehidupannya di masyarakat.
Dia mengakui semua mantan narapidana kasus terorisme tetap dipantau oleh intelijen. Namun, apa yang dilakukan Agus di dalam rumahnya sulit diketahui.
Jika eks narapidana kasus terorisme ini tidak ditangani dengan baik, keinginannya untuk bertobat bisa gagal. Dete menekankan ini merupakan bentuk dukungan moral terhadap mereka.
Menurutnya, ikut atau tidak, seorang mantan narapidana kasus terorisme dalam program deradikalisasi tidak berpengaruh. Yang terpenting, ada orang yang dapat diajak berkomunikasi atau curahan hati untuk menguatkan keinginannya meninggalkan paham terorisme.
Menurut Dete, ada sejumlah mantan narapidana kasus terorisme yang menolak program deradikalisasi karena tidak ingin diekspose atau terus dikaitkan dengan isu terorisme. Dia tidak berbicara soal uang dalam memberikan bantuan kepada mantan narapidana kasus terorisme.
BNPT, tambahnya, memberikan bantuan modal untuk membuka usaha bagi mantan narapidana kasus terorisme. Namun, sebagian dari mereka gagal dalam bisnisnya karena tidak adanya pendampingan.
Dete menyarankan sebelum narapidana kasus terorisme keluar dari penjara, pemerintah harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah tempat tinggal narapidana tersebut, agar pemerintah daerah menangani eks narapidana kasus terorisme untuk mempersiapkan masyarakat agar mau menerima mereka kembali.
Sehingga proses reintegrasi eks narapidana kasus terorisme di masyarakat dapat berlangsung mulus. Jangan sampai ada stigma di masyarakat yang dapat membuat mereka kembali lagi ke jaringan terorisme.
BNPT menyebut tantangan terbesar yang mereka hadapi dalam menjalankan program deradikalisasi adalah koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak terkait.
Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan upaya meredam penyebaran paham terorisme tidak hanya bisa dilakukan oleh lembaganya saja dan aparat penegak hukum.
Masyarakat, lanjutnya, juga harus membantu untuk saling menjaga wilayahnya dan orang di sekitarnya dari ideologi itu. [fw/ft]
Forum