Pendidikan adalah dasar bagi sebuah masyarakat agar bisa berfungsi dengan baik, menciptakan warga yang hidup dalam harmoni, berpartisipasi dalam politik dan menyumbang pada ekonomi.
Apa lagi ketika dunia dihadapkan pada perubahan sosial, teknologi dan ekonomi yang sangat cepat, pendidikan penting untuk membangun ketahanan sebuah negara. Pendidikan yang berkualitas menjadi landasan harmonisasi kehidupan masyarakat, partisipasi dalam politik, dan tentunya peningkatan laju ekonomi.
Ironisnya tidak semua negara memberikan prioritas pada dunia pendidikan. Anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan seringkali harus bersaing dengan bidang lain, seperti pertahanan dan keamanan. Kebijakan pendidikan pun kerap berganti. Akibatnya, ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti pandemi COVID-19, perubahan iklim, inflasi tinggi atau perang, warga terkena dampaknya secara cepat.
Berbicara dalam diskusi tentang kemunduran investasi pendidikan yang digelar oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, pekan lalu, CEO Global Partnership for Education Laura Frigenti memaparkan hasil menarik dari kajian oleh Australia Institute for Economic and Peace.
Frigenti menjelaskan kajian itu meninjau ekonometrik korelasi antara investasi dan tahun-tahun stabilitas.
"Anda saksikan negara-negara yang melakukan investasi besar dalam pendidikan, saya beri contoh Finlandia, negara yang berada dalam situasi geo politik sangat sulit tetapi memutuskan pasca Perang Dunia Kedua untuk tetap melakukan investasi besar sehingga mereka menikmati kurun waktu stabilitas yang lama," kata Frigenti.
Global Partnership for Education adalah sebuah cabang kajian di CSIS,
Frigenti menyebut Jepang sebagai contoh lain yang menjadi bukti keampuhan investasi dalam pendidikan. Namun banyak penyusun kebijakan tidak menyadari kaitan ini.
“Sehingga investasi untuk pendidikan menurun secara konstan sayangnya. Jadi, itu alasan mengapa sangat penting untuk mengusahakan perhatian yang terfokus seperti sinar laser pada naratif ini," jelas Frigenti.
Dia menambahkan bahwa ada persepsi yang salah bahwa sarana pendidikan yang buruk di suatu negara merupakan masalah yang harus diselesaikan sendiri oleh negara yang bersangkutan. Ini karena investasi pendidikan di manapun di dunia memberi manfaat yang berdampak global.
Kesenjangan Investasi Pendidikan
Senada dengan ini Dawn Liberi, seorang pakar pembangunan internasional di CSIS mengatakan ada bukti statistik yang tak terbantahkan bahwa investasi dalam pendidikan menghasilkan dividen luar biasa. Bahkan hal ini memiliki korelasi erat dengan perdamaian, keamanan, pencapaian kesetaraan dan pemberantasan kemiskinan.
“Jadi unsur struktural dari sebuah masyarakat sering mendikte apa yang terjadi dengan investasi dan keluaran pendidikan," kata Liberi.
Liberi menjelaskan investasi pendidikan di dunia berkisar $5 triliun. Dari jumlah investasi tersebut, sekitar 63 persen dikucurkan untuk pendidikan 10 persen siswa yang kaya di dunia. Hanya 8 persen dari uang itu digunakan untuk mendidik 75 persen siswa yang berasal dari keluarga miskin dan di negara berkembang, tuturnya.
"Perhatikan kesenjangan itu! Apa akibatnya, kira-kira sekitar $8.000 untuk per kapita per tahun untuk siswa di negara kaya, $50 per tahun untuk siswa di negara miskin, jadi $1 per minggu per siswa. Jadi jelas sekali, disparitas dalam hal investasi sangat besa," imbuhnya.
Lalu bagaimana dengan kondisi pendidikan di Indonesia? Dihubungi VOA melalui telepon, Ketua Yayasan Cahaya Guru dan pengamat pendidikan di Indonesia, Henny Supolo Sitepu, menyampaikan keprihatinannya dengan penyusunan kebijakan yang satu arah dan senantiasa berubah.
“Intinya adalah dalam kebijakan pendidikan saat ini kami tidak mendapat satu ketetapan apa yang menjadi prioritas karena terlalu banyak yang diinginkan. Pada saat yang sama partisipasi bermakna dari para pegiat pendidikan itu tidak didapatkan sehingga kebijakan-kebijakan sering membingungkan," kata Henny.
Saat ini, Indonesia dihadapkan pada masalah-masalah serius terkait pendidikan, seperti misalnya perkawinan anak yang kerap memaksa anak – terutama anak perempuan – tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Selain itu pihak berwenang justru lebih tertarik pada isu artifisial seperti keharusan mengenakan seragam, atau bahkan mengenakan pakaian daerah.
Henny menilai situasi ini tercipta akibat penyusun kebijakan yang memandang arena pendidikan ini dari sebuah menara gading.
“Tetapi mengapa tidak menukik ke dalam masalah lain yang kita hadapi sangat jelas yaitu menemani para guru untuk betul-betul mengembangkan potensi yang mereka miliki, untuk betul-betul memperlihatkan, memberikan inspirasi bahwa di sekitar mereka ada potensi lain yang bisa digunakan, dan dengan potensi-potensi tersebut memperbaiki apa yang ada lingkungannya," ujarnya.
Itulah sebabnya ia mendorong masyarakat sipil menjadi ujung tombak untuk mendorong dunia pendidikan.
Yayasan Cahaya Guru misalnya menyediakan sesi pelatihan untuk guru, dan menanamkan nilai-nilai seperti kebhinekaan, nasionalisme, dan kemanusiaan di diri masing-masing pengajar.
Sementara itu pada tingkat internasional, pakar pendidikan di CSIS menyerukan agar diciptakan minat lebih besar dan melibatkan konstituen pendidikan yang lebih luas sehingga kebutuhan pendidikan diikut sertakan dalam diskusi kebijakan dan keputusan terkait penciptaan perdamaian, penyertaan perempuan, dan ketahanan bangsa. [jm/em]
Forum