Puluhan orang dilaporkan tewas dalam serangan semalaman di Jalur Gaza pada Minggu (4/2), setelah Hamas mengatakan mereka memerlukan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan proposal yang akan menghentikan perangnya dengan Israel di wilayah Palestina.
Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas mengatakan pada Minggu (4/2) pagi bahwa sedikitnya 92 orang tewas semalam, termasuk dalam apa yang menurut kantor media kelompok itu sebagai pengeboman Israel terhadap sebuah taman kanak-kanak di Rafah tempat para pengungsi berlindung.
Kekhawatiran atas potensi serangan darat Israel ke kota perbatasan selatan meningkat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan ribu pengungsi mencari perlindungan dari pertempuran di tempat penampungan dan perkemahan sementara.
Banyak dari mereka yang melakukan perjalanan dari daerah yang terkena dampak lebih parah setelah diberi tahu bahwa kota tersebut adalah zona aman. Namun serangan juga terus berlanjut di sana.
"Anak-anak baru saja tidur dan tiba-tiba pengeboman terjadi. Kamar tidur menimpa anak-anak saya. Tuhan mengambil satu anak saya dan tiga anak lolos dari kematian," kata Ahmad Bassam al-Jamal kepada AFP, suaranya parau. “Anakku sekarang adalah seorang syahid di surga.”
Kota yang pernah menjadi rumah bagi 200.000 orang kini menampung lebih dari separuh penduduk Gaza, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Seorang perwakilan dari badan kemanusiaan PBB, OCHA, menyebut Rafah sebagai “tempat yang menimbulkan keputusasaan”, dan menyatakan keprihatinan atas apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memperingatkan pada Kamis bahwa militer – yang memulai invasi darat di utara wilayah tersebut dan secara bertahap maju ke selatan – “juga akan mencapai Rafah”.
Warga sipil yang melarikan diri ke kota tersebut didorong ke perbatasan dengan Mesir, berusaha menghindari daerah yang terkena pengeboman dan pertempuran di dekat Khan Yunis.
“Kami kelelahan,” kata pengungsi Gaza Mahmud Abu al-Shaar, dan mendesak “gencatan senjata sehingga kami dapat kembali ke rumah kami”.
Dorong Kesepakatan
Para mediator internasional melakukan sidang di pengadilan penuh untuk menyetujui usulan kesepakatan gencatan senjata yang disepakati pekan lalu di Paris.
Namun pejabat tinggi Hamas di Lebanon, Osama Hamdan, mengatakan pada Sabtu (3/2) bahwa kerangka kerja yang diusulkan tidak memiliki beberapa rincian.
Hamas membutuhkan lebih banyak waktu untuk "mengumumkan posisi kami", kata Hamdan, "berdasarkan... keinginan kami untuk mengakhiri agresi yang diderita rakyat kami secepat mungkin".
Perang di Gaza dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel. Serangan itu mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi.
Militan juga menyandera sekitar 250 orang, dan Israel mengatakan 132 orang masih berada di Gaza, termasuk sedikitnya 27 orang yang diyakini tewas.
Bertekad untuk melenyapkan Hamas, Israel melancarkan serangan militer besar-besaran yang telah menewaskan sedikitnya 27.238 orang di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken akan melakukan kunjungan krisisnya yang kelima ke Timur Tengah dalam beberapa hari mendatang untuk mendorong proposal gencatan senjata, kata Departemen Luar Negeri, dan Menteri Luar Negeri Prancis Stephane Sejourne juga mengunjungi wilayah tersebut, menurut seorang juru bicara.
Sumber Hamas mengatakan usulan tersebut melibatkan jeda awal selama enam minggu yang akan menyebabkan lebih banyak bantuan dikirim ke Gaza dan pertukaran beberapa sandera Israel dengan tahanan Palestina yang ditahan di Israel.
Pemimpin Hamas yang berbasis di Qatar, Ismail Haniyeh, mengatakan gencatan senjata apa pun harus mengarah pada “penarikan penuh” pasukan Israel dari Gaza.
Tekanan Dalam Negeri
Ketidakmampuan Pemerintah Israel untuk menjamin pembebasan para sandera, serta kegagalan intelijen yang memungkinkan terjadinya serangan 7 Oktober, menimbulkan kritik keras terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Ratusan orang berunjuk rasa pada Sabtu (3/2) malam di Tel Aviv dalam protes yang menyerukan pemilihan umum dini dan menuntut tindakan untuk membebaskan sandera yang tersisa.
Demonstrasi juga terjadi di Pelabuhan Haifa di Israel utara dan dekat kediaman Netanyahu di Yerusalem.
Di Tel Aviv, pengunjuk rasa anti-pemerintah Michal Hadas mengatakan kepada AFP bahwa berlarut-larutnya konflik hanya akan menguntungkan kepentingan para pejabat pemerintah, "karena selama perang terus berlanjut maka tidak akan ada pemilu". [ah/ft]
Forum