Suatu sore di desa Lolu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sejumlah orang terlihat asyik mengamati foto-foto yang terpasang di batang-batang pohon jati yang telah mati dan mengering. Foto-foto itu memuat gambar-gambar dampak bencana alam dua tahun silam. Sejumlah lainnya sibuk berfoto-foto atau sekedar duduk mengobrol bersama teman atau anggota keluarga sambil menunggu matahari terbenam di balik pegunungan bagian barat.
Mereka sebetulnya berada di lokasi bekas likuefaksi yang kini diubah menjadi taman wisata.“Yang menarik ini pohon-pohon jati yang mengering dengan latar sunset. Tetap dijaga saja terutama untuk pengunjung tetap kebersihan Yah semoga tempat ini terus dijaga kebersihan dan kerapihan tempat sih supaya lebih nyaman. ” kata Eneke, pengunjung asal kota Palu mengomentari taman itu, yang keberadaannya diketahui melalui media sosial.
Sebelum menjadi taman wisata, lokasi tersebut, merupakan bekas kebun jati yang mengalami pergeseran sejauh 10 meter akibat pergerakan tanah. Butuh waktu sebulan untuk membersihkan tempat tersebut dari semak belukar dan menatanya kembali menjadi taman yang indah. Semuanya dikerjakan secara bergotong royong oleh kelompok pemuda. Untuk biaya pengerjaan dan penataan taman itu,para pemuda berpatungan 10 ribu rupiah per orang sehingga terkumpul dana awal sebesar 500 ribu rupiah.
Kepada VOA, Kiki Palurante (32) menceritakan sejak dibuka pada 28 September 2020, tempat itu ramai dikunjungi warga baik yang berasal dari sekitar desa mereka hingga mereka yang tinggal di di kota Palu.
Setiap sore, ada sekitar 50 pengunjung datang untuk mengisi waktu sambil menyaksikan matahari terbenam di balik pegunungan. Pada Sabtu dan Minggu, jumlah pengunjung bisa mencapai 100 orang.
Pengunjung diminta membayar lima ribu rupiah per orang sebagai harga tiket masuk. Pengelola taman mengharuskan pengunjung mematuhi protokol kesehatan, yaitu mengenakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak. Pengelola juga menyediakan sejumlah tenda yang dapat disewa seharga 25 ribu rupiah per malam bagi mereka yang ingin bermalam di alam terbuka.
“Tujuannya supaya pemuda yang kesehariannya tidak tahu ke mana, atau yang cuma ngumpul tidak tahu mau bikin apa, nah adanya tempat ini menjadi wadah untuk pemuda, sudah terkumpul di sini. Jadi saya bilang di sini kamu lebih berguna, di sini bisa dapat uang, mungkin ada modal apa saja bikin di sini, entah jual kaos, cinderamata, gantungan kunci bisa semua di sini,” ujar Kiki Palurante penuh semangat.
Diakuinya ide mengemas lokasi bekas bencana menjadi tempat wisata tersebut berangkat dari kegelisahan yang dirasakan mereka karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Dia menceritakan, karena gempa bumi 2018, warga desa tidak lagi dapat mengolah lahan pertanian yang rusak. Kondisi itu diperparah dengan pandemi COVID-19 yang semakin menekan perekonomian warga.
“Kita kemarin kena gempa terus masuk lagi corona nah jadi itu yang membuat saya ayo kita bangkit, masak dari gempa terus ini masuk lagi corona kita cuma diam terus, disamping itu kita terkenal dengan pertaniannya sekitar 70 persen tapi semua mati akibat gempa,” ujar Kiki.
Taman tersebut juga membuka peluang bagi pedagang kecil untuk berjualan makanan dan minuman kepada pengunjung yang datang di tempat tersebut. Ademega Valendian (21) mengungkapkan rata-rata dalam sehari dia bisa mendapatkan pendapatan antara 100 hingga 200 ribu rupiah.
“Karena saat gempa kemarin, mata pencaharian hilang, jadi ada tempat ini, jadi bangun tempat jualan di sini. Jadi itu sudah pemasukan yang ada. Kalau di sini lumayan dari sore sampai malam itu saya saya dapat seratus sampai dua ratus ribu,” ungkap Ademega.
Kurniadin Latjedi, Kepala Desa Lolu memuji inisiatif para pemuda desa setempat yang memanfaatkan peluang menciptakan lokasi wisata baru di lahan bekas likuefaksi sekaligus untuk memperoleh pendapatan. Dia mengakui dampak gempa bumi dua tahun silam menyebabkan 170 hektar areal persawahan di desa itu belum dapat diolah warga yang berprofesi sebagai petani. Kegiatan pertanian juga terkendala dengan masih rusaknya saluran irigasi.
Selain itu lahan-lahan sawah dan kebun masyarakat umumnya dalam kondisi bergelombang oleh pergerakan tanah yang dipicu gempa bumi berkekuatan 7,4 pada 28 September 2018 silam.
“Tentunya destinasi wisata baru di desa Lolu pasca bencana berdampak positif bagi para pemuda. Selain membuka lapangan pekerjaan, tempat ini bosa menjadi sarana untuk menyalurkan bakat dan minat berkesenian” kata Kurniadin.
Di kabupaten Sigi, masih terdapat sekitar 7 ribu hektar areal persawahan yang belum dapat diolah petani. Saluran irigasi Gumbasa masih dipulihkan secara bertahap dan diperkirakan rampung pada 2022. [yl/ab]